Novel

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian I)


Kisah Pembangun Jiwa…
Tentang masa-masa kecil Yusril Ihza Mahendra
Bintang itu bersinar dari negeri nun jauh disana..Manggar Beltim


Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Syahdan menurut ibu saya, saya dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 5 Pebruari 1956 di Kampung Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tanggal kelahiran itu pasti, bukan rekaan, karena saya melihat buku harian ayah saya, yang mencatat dengan teliti berbagai peristiwa penting dalam keluarga dan kehidupannya. Saya dilahirkan di rumah kakek saya dari pihak ibu dalam sebuah kamar, yang dapat saya saksikan sampai tahun yang lalu, sebelum rumah tua terbuat dari kayu itu dirubuhkan karena sudah dimakan rayap. Ibu saya sebenarnya ingin melahirkan saya di rumah sakit. Namun ambulan yang dipanggil, rupanya sedang menjemput orang lain yang juga ingin melahirkan. Saya sudah lahir lebih dahulu, ketika ambulan tiba ke rumah. Hanya kakek dan nenek saya yang membantu ibu saya melahirkan. Setelah itu barulah bidan dan jururawat datang ke rumah dan membantu, ketika bayi sudah dimandikan dan diberi baju .

Saya lahir sebagai anak yang ke enam.Sesudah saya masih ada lima lagi anak-anak yang lahir dari orang tua saya. Seluruhnya ada sebelas orang. Dengan posisi anak keenam, saya berada di urutan tengah. Punya lima kakak dan punya lima adik. Keluarga kami hidup dengan sederhana dan bersahaja. Rumah keluarga kami, terbuat dari kayu menggunakan dinding dari kulit kayu pula. Atapnya sebagian terbuat dari sirap kayu bulian, dan sebagiannya lagi terbuat dari daun nipah. Rumah itu terletak di belakang pekarangan rumah kakek saya dari pihak ibu. Saya tidak dapat lagi mengingat rumah itu. Namun foto rumah itu masih ada. Tidak lama sesudah saya lahir, keluarga kami pindah ke rumah yang dibuat oleh ayah saya sendiri. Rumah itu terletak di Kampung Sekip. Rumah inipun terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu juga, dan beratapkan daun nipah. Foto rumah inipun masih ada, yang dibuat ayah saya di tahun 1958. Ayah saya banyak menyimpan foto-foto lama berwarna hitam puith yang sampai sekarang masih disimpan ibu saya dengan baik. Ketika usia saya dua tahun, keluarga kami pindah ke Tanjung Pandan. Ayah saya, yang semula menjadi penghulu mengurus hal-ikhwal perkawinan, rupanya diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di kota itu.

Saya mulai ingat sedikit-sedikit ketika kami tinggal di Tanjung Pandan. Ayah saya menyewa sebuah rumah, yang juga terbuat dari kayu, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Rumah itu tidak ada penerangan listriknya, sehingga saya melihat kakak-kakak saya belajar dengan penerangan lampu minyak tanah. Saya masih ingat, peralatan rumah itu hanya ala kadarnya. Hanya ada empat kursi terbuat dari rotan, sebuah tempat tidur dan peralatan dapur yang sangat sederhana. Saya dan kakak-kakak saya tidur di lantai menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan. Kendaraan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, hanyalah sebuah sepeda, yang selalu digunakan ayah saya untuk pergi bekerja, ke pasar atau mengajar di sebuah madrasah, dan pergi berdakwah di berbagai mesjid dan musholla di kota itu. Saya sering dibonceng ayah saya pergi berdakwah dan saya bermain-main di mesjid dengan anak-anak yang lain.

Saya masih ingat juga, suatu ketika ayah saya mengajar agama kepada narapidana di Penjara Tanjung Pandan. Saya ikut masuk ke dalam penjara, dan menyaksikan orang-orang berada dalam jeruji besi. Waktu kecil itu saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya bertanya kepada ayah saya mengapa orang itu dikurung. Ayah bilang, mereka dihukum karena melakukan kejahatan. Ayah saya juga mengajar agama kepada polisi. Saya masih ingat kepala polisi di sana, namanya Abdullah Paloh. Beliau itu orang tua dari Pak Brewok, Surya Paloh, yang belakangan hari tersohor namanya sebagai raja dunia media massa. Kepala polisi yang lain, namanya Mohammad Said, yang begitu dekat persahabatannya dengan ayah saya.Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Said di Tanjung Karang, Lampung. Beliau sangat senang dan bahagia, dan bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya di masa lalu.

Saya masih ingat juga, yang menjadi bupati di Belitung waktu itu ialah Zainal Abidin Pagar Alam, yang kemudian menjadi Gubernur Lampung. Anaknya saya kenal namanya Syahruddin Pagar Alam, yang sekarang menjadi Gubernur Lampung sepeti ayahnya dahulu. Saya masih ingat, Zainal Abidin Pagar Alam itu tokoh PNI. Ayah saya aktivis Masyumi. Namun kedua orang itu bersahabat dan sering bertukar-pikiran. Saya sering mendengarkan ayah saya berbicara dengan tokoh-tokoh itu. Karena masih kecil, tentu saya tidak mengerti. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang mereka bicarakan.Tetapi saya masih ingat orang-orang itu.

Saya juga masih ingat dengan Pak Djarot, ayah Eros dan Slamet Rahardjo. Mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami. Pak Djarot waktu itu menjadi komandan Pangkalan Udara Tanjung Pandan. Saya sering bermain-main di halaman rumah Pak Djarot yang ukurannya besar dan terbuat dari beton. Rumah itu nampaknya peninggalan zaman Belanda. Saya masih ingat Slamet Rahardjo pakai baju Pramuka – waktu itu disebut Pandu — dan terlihat gagah. Dia sering naik sepeda dengan teman-temannya. Di belakang hari Eros menjadi terkenal sebagai musisi dan sutradara film. Slamet juga menjadi aktor besar dalam perfileman Indonesia. Kalau pagi hari saya melihat mereka pegi sekolah naik jeep Angkatan Udara. Mungkin jeep itu buatan Rusia, saya ingat warnanya biru. Waktu itu saya belum sekolah. Kakak-kakak saya pergi sekolah berjalan kaki. Kalau pagi mereka sekolah di Sekolah Rakyat (atau sekolah dasar sekarang). Kalau sore mereka sekolah lagi di madrasah. Ibu saya menyebut madrasah itu Sekolah Arab.

Tidak jauh di depan rumah kami itu ada keluarga Pak Sulaiman Talib. Beliau sebenarnya berasal dari Manggar juga, namun nampaknya sudah lama menetap di Tanjung Pandan. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga beliau, sehingga sudah seperti keluarga sendiri. Di dekat rumah Pak Sulaiman Talib itu, di pertigaan jalan, hampir berdekatan dengan rumah Pak Djarot, tinggal keluarga Pak Ahmad. Beliau itu memiliki bengkel reparasi radio di rumahnya. Zaman itu belum ada televisi. Orang yang memiliki kulkas pun sangat jarang. Di rumah beliau itu ada peralatan bermain musik. Anak-anaknya pandai bermain gitar dan sering bertlatih musik di rumahnya. Saya selalu bermain-main di rumah itu dan melihat banyak sekali radio rusak yang sedang diperbaiki. Ayah saya tidak punya radio. Di zaman itu radio adalah barang mewah yang tak semua orang sanggup membelinya. Jadi kami mendengar radio di rumah Pak Ahmad. Saya juga senang menonton mereka latihan musik. Saya mencoba mengingat nama anak-anak Pak Ahmad, tetapi hanya satu yang saya ingat, panggilannya Yar. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Walaupun keluarga kami hidup miskin dan bersahaja, saya merasakan orang tua kami begitu sayang kepada anak-anaknya. Mereka tidak pernah mampu membelikan mainan seperti anak-anak zaman sekarang. Jangankan untuk membeli mainan, untuk makan saja sudah sangat susah. Gaji ayah saya sebagai pegawai negeri sangat kecil. Kami makan dengan lauk-pauk seadanya. Yang penting kata ibu saya, ada beras di rumah. Membeli gula pasir saja, orang tua saya tidak mampu. Saya sering melihat ayah saya minum kopi dengan gula aren yang murah harganya. Dalam keadaan miskin seperti itu, saya dan kakak-kakak saya bermain apa adanya. Karena kakak di atas saya perempuan, maka saya sering main masak-masakan menggunakan kulit timung. Kulit timung itu diletakkan di atas tungku yang apinya kami nyalakan dari kayu. Yang dimasak hanya tanah dan daun-daunan. Saya juga membuat kuda-kudaan dari pelepah pisang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Mobil-mobilan itu ditarik ke sana kemari menggunakan tali terbuat dari daun purun atau pelepah pisang.

Rumah sewaan ayah saya di Kampung Parit itu sering tergenang air kalau musim hujan tiba. Di belakang rumah memang ada sungai, tempat ibu saya mencuci pakaian. Saya dan kakak-kakak saya sering mandi di sungai itu. Kadang-kadang kami memancing atau menyerok ikan. Genangan air kadang-kadang sampai ke jalan raya, sehingga jalan yang menghubungkan Kampung Parit dengan Kampung Amau di sebelahnya terputus. Namun kalau air meluap, saya dan kakak-kakak justru saya merasa senang. Kami dapat bermain rakit yang terbuat dari kayu atau pohon pisang dengan teman-teman tetangga. Anak-anak di sekitar rumah saya itu terdiri dari berbagai suku. Di samping orang Belitung, ada juga suku Bugis, Bawean, Madura, Palembang, Jawa dan Batak. Ada juga anak-anak keturunan Cina yang menjadi tetangga kami.

Suatu ketika, tatkala air mulai surut dan tanah terkena erosi, saya sedang bermain dengan kakak perempuan saya. Kami melihat ada bekas pecahan-pecahan keramik di permukaan tanah. Saya mendapat sebuah mangkok Cina yang masih utuh bentuknya. Mangkok itu saya bawa pulang. Ibu saya menggunakan mangkok itu sebagai tempat sabun untuk mencucui piring. Saya sangat senang dengan mangkok itu. Suatu ketika ketika saya sudah menjadi Menteri, saya bertanya kepada ibu saya tentang mangkok yang saya dapatkan ketika saya masih kecil. Ibu saya bilang, mangkok itu masih ada. Saya membawa mangkok itu ke Jakarta dan menyimpannya di antara koleksi keramik yang saya miliki. Mangkok itu saya tandai sebagai koleksi keramik pertama yang saya miliki. Setelah usia saya agak tua, saya mulai studi tentang keramik dan mengkoleksi keramik dari berbagai tempat. Saya baru mengerti keramik yang saya dapat di masa kecil itu berasal dari Dinasti Ching, di buat pada abad ke 18. Ketika keramik itu saya dapatkan, usia saya baru sekitar empat tahun.

Tidak jauh dari rumah sewaan ayah saya di Kampung Parit itu, ada sebuah surau yang terletak dekat jembatan di tepi jalan. Setiap magrib, ayah saya selalu sembahyang di surau itu. Semua anak-anak ikut sembahyang sambil bermain dengan teman-teman. Kadang-kadang saya menyaksikan kakak saya yang paling tua, namanya Yuslim, melantunkan azan magrib di surau itu setelah beduk magrib ditabuh. Ayah saya selalu menjadi imam. Saya tidak dapat lagi mengingat nama teman-teman sebaya saya bermain di surau itu. Saya hanya mengingat tiga nama yang usianya lebih tua dari usia saya. Pertama Sulaiman, dia sebenarnya masih keluarga dari pihak ibu saya. Kedua Said, dia anak Pak Sulaiman Talib, tetangga dan sahabat baik ayah saya. Ketiga namanya Jusuf, dia anak orang India Muslim. Saya masih bertemu dengan ketiga orang ini sampai jauh di kemudian hari. Suatu ketika saya bertemu Jusuf, sedang berjualan bahan pakaian di sebuah kios di pasar Tanjung Pandan.

Karena keluarga kami miskin dan bersahaja, ayah saya tak pernah sanggup mengajak anak-anaknya pergi berjalan-jalan ke tempat hiburan. Dua hal yang masih saya ingat dengan jelas ketika berusia empat tahun, ialah ayah saya mengajak kami sekeluarga naik perahu pergi ke sebuah tempat, namanya Juru Seberang. Di tempat itu ada Penghulu Asir, seorang keturunan suku Laut yang telah memeluk agama Islam dan menjadi penghulu agama. Saya ingat anak Penghulu Asir yang bernama Salam. Dia cekatan mendayung perahu dari Pelabuhan Tanjung Pandan ke Juru Seberang. Sampai hari ini, saya tidak pernah bertemu lagi dengan Salam, entah dia masih hidup atau sudah wafat. Di Juru Seberang, kami nginap semalam. Ayah saya memberikan pengajian agama di sebuah mesjid di kampung itu. Kami bermain-main di halaman mesjid. Banyak sekali anak-anak datang bermain, sementara orang tua mereka mendengarkan ceramah ayah saya.

Hal kedua yang saya ingat ialah, saya ikut ayah saya menyaksikan perayaan “Hantu Besar” di sebuah kelenteng Cina di Pasar Tanjung Pandan. Dalam bahasa Cina hantu besar itu disebut Thai Si A. Saya tidak tahu persis riwayat perayaan ini. Apa yang saya lihat ialah ada makhluk besar dibuat seperti hantu. Kerangkanya dibuat dari bambu dan dibungkus kertas berwarna meraha. Kepalanya berwarna hitam agak menyeramkan dan diikat dengan sehelai kain merah pula. Siang hari aneka kesenian Cina seperti barongsai dipertunjukkan, dengan tabuhan genderang, terompet dan gong kecil yang memekakkan telinga. Kami menonton sampai malam, saat hantu besar dibakar. Sekelompok orang memperebutkan kain merah pengikat hantu besar, di tengah kobaran api. Saya bertanya kepada ayah saya untuk apa kain merah itu diperbutkan. Beliau bilang, ada kepercayaan bahwa kain merah itu membawa berkah. Tetapi ayah saya bilang, beliau tidak percaya.

Lebih dari dua hal yang saya ceritakan di atas, saya tidak ingat lagi ketika ayah saya mengajak saya menonton hiburan. Sekali dua kali, saya ikut kakak saya pergi menonton film kartun atau film “Gelora Indonesia”, yakni film penerangan Pemerintah, yang masih berwarna hitam-putih. Film itu diputar di bioskop PN Timah. Di sini orang nonton gratis saja. Ada bioskop kepunyaan Pak Rachman – ayah bintang film Jenny Rachman — di Tanjung Pandan. Tapi seingat saya, saya tidak pernah nonton di situ, maklum harus bayar. Sedang kami tak punya uang untuk membeli karcis. Kadang-kadang, saya ikut kakak saya pegi memancing ikan di jembatan Tanjung Kubu. Kadang-kadang kami dapat ikan baronang– orang Belitung menyebutnya ikan libam. Lumayan untuk makan sekeluarga. Jarak dari rumah kami ke Tanjung Kubu, kira-kira lima kilometer. Kami menempuhnya berjalan kaki, sambil membawa pancing. Seingat saya keluarga kami pernah sekali pergi ke Tanjung Kelayang, daerah tempat wisata yang sangat indah pemandangan lautnya. Waktu itu pengelola tempat itu adalah seorang wanita Belanda, namun suaminya orang Belitung, namanya Junus. Keluarga mereka cukup dekat dengan keluarga kami.

Satu hal yang tak dapat saya lupakan ketika tinggal di Kampung Parit, ialah kedatangan nenek saya dari Manggar, kota kelahiran saya. Jarak antara Manggar dan Tanjung Pandan, sekitar 90 kilometer. Kalau nenek datang, beliau selalu membawa pisang dan buah-buahan lainnya. Kami sungguh sukacita dengan buah-buahan itu. Nenek juga mengajak kami ke pasar dan membelikan kami baju baru. Satu hal yang tetap saya ingat sampai sekarang, ialah ketika nenek membawa dua ekor anak kucing untuk saya dan kakak saya yang perempuan. Anak kucing itu dibawa dalam karung terbuat dari daun lais. Saya sungguh suka cita dengan anak kucing itu. Kucing itu saya pelihara sampai besar. Sejak itu, saya sangat suka dengan kucing, sampai sekarang. Tapi sayangnya, ketika keluarga kami pindah rumah, kucing itu hilang. Saya sangat sedih setelah mencari kucing itu ke sana ke mari, namun tidak bertemu. Sejak itu saya mengerti kucing sebenarnya mencintai rumah. Ketika pindah rumah, kucing menjadi bingung, dan pergi meninggalkan rumah yang baru ditempati itu.

Seingat saya ada sekitar dua tahun kami tinggal di Kampung Parit itu. Keluarga kami kemudian pindah ke jalan Sijuk di Tanjung Pandan. Rumah yang kami tempati agak besar ukurannya. Terbuat dari kayu juga dan lantainya agak tinggi. Halamannya luas dan banyak pohon buah-buahan. Berbeda dengan rumah di Kampung Parit, rumah ini ada penerangan lsitriknya. Tetapi listriknya hanya nyala tiga kali seminggu, selebihnya padam karena bergiliran. Ayah saya pindah ke rumah ini karena tidak perlu membayar sewa. Rumah itu milik paman beliau, namanya Moestar. Anak Pak Moestar, namanya Ismail, menempati sebuah rumah terbuat dari beton di samping rumah yang kami tempati. Saya mulai banyak mengingat rumah itu, karena usia saya sudah lima tahun.

Karena rumah itu cukup besar, kami dapat tidur di kamar, walau tetap saja beralaskan tikar. Ada sebuah ruangan yang terletak di depan rumah, yang dijadikan musholla. Kami selalu sembahyang magrib berjamaah di ruangan itu. Ayah juga mengajari anak-anaknya membaca al-Qur’an di tempat itu. Ayah saya bilang kamar itu kamar suci. Anak-anak tidak boleh bermain-main di situ, tidak boleh berbicara tak tentu arah, dan juga tidak boleh buang angin. Namun dasar anak-anak, tatkala ayah tidak ada di ruang itu, mereka saling beradu bunyi buang angin. Suatu ketika kami ketahuan, dan ayah nampak marah. Kami semua diam. Karena rumah itu besar, maka anak-anak berbagi tugas untuk membersihkan rumah. Makum seumur hidup keluarga saya tak punya pembantu seperti keluarga orang di kota besar. Jangankan menggaji pembantu, untuk makan saja keluarga kami sudah sulit.

Saya kebagian tugas menyapu halaman rumah dan membakar daun-daunan. Bagi saya yang berusia lima tahun, menyapu halaman yang begitu luas, terasa sangat melelahkan. Namun saya melakukannya dengan senang hati sambil bermain. Saya masih ingat, pada dahan sebuah pohon, kami menyebutnya pohon rambai, saya membuat ayunan dari tali untuk bermain. Hampir setiap hari saya bergantung di dahan pohon itu. Inilah yang barangkali yang menyebabkan badan saya paling tinggi di antara semua kakak-beradik. Ketika tamat SMA tinggi saya 175 cm. Untuk ukuran generasi di zaman saya, jarang-jarang ada orang Belitung setinggi itu. Di belakang rumah kami, ada lapangan badminton. Pada malam-malam tertentu banyak orang bermain badminton, di bawah penerangan lampu listrik. Di antara mereka yang sering bermain badminton itu, saya ingat dua orang yang lebih tua usianya dari saya. Namanya Samad dan Ishak. Jauh di kemudian hari, Ishak menjadi Bupati di Belitung. Ketika kami bertemu, dan saya telah menjadi menteri, Ishak bercerita dia suka main badminton di belakang rumah kami. Saya masih ingat dengan jelas, walau peritsiwa itu sudah lama sekali, di tahun 1961, ketika saya masih kecil.

Di rumah kami itu tidak ada kamar mandi. Kami harus mandi ke sumur yang terletak di belakang rumah. Suatu hari, saya sungguh terkejut, karena melihat ada ular di kamar mandi. Saya berteriak ketakutan. Paman saya, Ismail, yang tinggal di sebelah rumah datang membantu. Beliau berhasil menemukan ular itu dan membunuhnya. Beliau bilang, ular itu ular tanah dan sangat berbisa, orang bisa mati kalau dipatuk ular itu. Saya lega. Namun sejak itu, saya merasa trauma. Ada perasaan takut kalau-kalau bertemu ular lagi di kamar mandi. Suatu ketika saya sungguh merasa senang ketika pohon-pohon mulai berbuah. Banyak sekali buah musiman, seperti durian, cempedak, rambutan, rambai dan langsat di halaman rumah kami. Anak-anak tetangga berdatangan untuk sama-sama memetik dan menikmati buah-buhan itu. Suatu hari, saya dan kakak saya yang perempuan lari ketakutan, karena ada beberapa orang laki-laki berseragam warna biru, yang wajahnya menakutkan, datang untuk ikut memetik buah.

Kami memberitahu ibu tentang kedatangan beberapa laki-laki itu. Ibu kami keluar dan melihat ke arah mereka. Ibu bilang, tidak usah takut. Orang-orang itu adalah “orang hukuman” yang sedang membersihkan halaman rumah tetangga kami. Ibu saya bilang, tetangga kita itu jaksa. Tentu saja saya tidak mengerti apa artinya jaksa. Saya menyangka tetangga kami itu polisi, karena setiap hari beliau memakai pakaian seragam. Saya tidak mengerti beda jaksa dengan polisi. Kami keluar rumah lagi. Ternyata benar, orang hukuman itu– mereka narapidana dari lembaga pemasyarakatan – ternyata bersikap ramah dan baik. Ibu mempersilahkan mereka memanjat pohon nangka dan memetik buahnya yang masak. Saya melihat mereka makan nangka dengan lahap. Ibu saya bilang, kasihan mereka itu. Mereka tinggal di “rumah tutupan”, istilah ibu saya untuk menyebut penjara. Mereka lapar dan ingin makan. Saya melihat ibu saya memberi minum kepada narapidana itu. Mereka nampak sangat hormat kepada ibu saya.

Tidak jauh dari rumah kami itu, ada rumah seorang kakak kandung ayah saya. Namanya Abdul Kadir. Saya masih ingat wajah beliau yang terlihat ramah dan selalu bercerita hal yang lucu-lucu. Agak beda dengan ayah saya yang wajahnya serius dan kurang suka dengan guyonan. Paman saya itu bekerja di rumah sakit Pemda, yang letaknya di Jalan Rahat, tidak jauh dari rumah kami. Berbeda dengan rumah yang kami tempati, rumah paman saya itu ukurannya kecil dan terletak di sebuah gang, di belakang rumah seorang Cina yang nampaknya sangat kaya. Saya masih ingat, orang menyebut nama orang Cina itu A Tuan. Dia nampaknya salah seorang pemilik perusahaan keramik yang cukup besar di Tanjung Pandan, yang belakangan saya ketahui bernama PT Keramika Indonesia (KIA). Saya sendiri tidak pernah melihat wajah A Tuan itu. Rumahnya dikelilingi tembok dan ada pohon-pohon cemara yang bagus dan terlihat jelas dari rumah kami.

Paman saya itu mempunyai dua anak perempuan. Tidak ada anak laki-laki. Karena itu beliau nampak senang kalau kami datang bermain-main ke rumahnya, karena kami anak laki-laki. Satu hal yang agak mengherankan saya ialah, paman saya itu selalu sakit-sakitan, padahal beliau bekerja di rumah sakit. Dalam pikiran anak kecil seperti saya, kalau orang bekerja di rumah sakit, tentulah tidak bisa sakit. Tetapi mengapa paman saya itu selalu sakit, sedang ayah saya, walaupun tidak kerja di rumah sakit, tetapi selalu sehat. Saya tidak bisa mengerti. Ayah saya menjelaskan bahwa seseorang bisa saja sakit, karena badannya tidak kuat. Jadi, walaupun bekerja di rumah sakit seperti paman saya itu, bisa saja diserang penyakit. Sedikit-sedikit saya bisa mengerti. Memang, di masa kecil saya pun sering menderita sakit. Kakak-kakak saya juga.

Waktu itu saya mulai menyadari, walaupun keluarga ayah saya miskin, tetapi paman saya itu nampak lebih miskin dibanding ayah saya. Peralatan rumahnya sederhana sekali. Di belakang rumahnya, saya melihat ada bengkel kayu dengan peralatan ala kadarnya. Rupanya paman saya itu membuat kursi dari kayu dan rotan untuk menambah penghasilannya sebagai pegawai kecil di rumah sakit. Kami sering juga meminjam peralatan paman saya itu. Kami memanfaatkan limbah kayu untuk membuat mainan. Saya senang dengan paman saya itu. Namun sakitnya nampak berterusan, sehingga suatu saat beliau meninggal dunia. Saya tidakingat lagi peristiwa wafatnya beliau. Saya hanya ingat beliau dimakamkan di pekuburan di belakang Rumah Sakit Pemda di Tanjung Pandan. Beberapa kali saya datang menziarahi pemakaman itu bersama ayah saya ketika saya masih kecil. Wafatnya paman saya itu, membuat derita isteri dan kedua anaknya nampak berkepanjangan. Ayah saya ingin membantu, namun hidup keluarga kamipun miskin pula.

Saya masih ingat juga, ayah saya membuka ladang di sebuah kampung tidak terlalu jauh dari rumah kami. Kampung itu namanya Aik Merebau. Tidak banyak yang saya ingat tentang kebun itu. Saya hanya ingat saya dibonceng naik sepeda ke ladang itu. Ayah saya nampaknya tidak serius membuka ladang. Beliau lebih sibuk bekerja sebagai Kepala Kantor Urusan Agama dan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Boleh dikata setiap minggu beliau selalu menjadi khatib Jum’at berpindah-pindah dari satu mesjid ke mesjid lain. Kadang-kadang saya ikut beliau pergi sembahyang Jum’at itu. Sehabis menjadi khatib, beliau biasanya tidak langsung pulang. Pengurus mesjid atau tokoh masyarakat setempat mengajak beliau makan siang. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Kadang-kadang saya bosan menunggu waktu untuk pulang. Tidak jarang saya tertidur di kursi menunggu beliau berbincang-bincang. Kegiatan dakwah beliau itu membuat beliau dikenal hampir semua orang di Tanjung Pandan, bahkan sampai ke desa-desa yang letaknya berjauhan.

Dalam usia lima tahun itu, saya selalu menyaksikan ayah saya membaca buku, koran dan majalah. Suatu hal yang menurut saya waktu itu terlihat aneh pada beliau, ialah kebiasaanya membeli buku, dan berlanggaan koran dan majalah. Sering saya menerima paket kiriman dari Jakarta, yang isinya ternyata buku pesanan ayah, atau majalah yang dikirim melalui pos. Berbagai macam buku yang beliau beli itu disusun rapi dalam sebuah lemari. Saya yang belum sekolah, senang juga melihat gambar-gambar yang ada di buku, koran dan majalah. Sesekali saya bertanya kepada beliau tentang gambar yang saya lihat, dan beliau menerangkannya. Dari kebiasaan saya menemani beliau membaca itu, pelan-pelan akhirnya membuat saya mengenal huruf. Saya akhirnya bisa membaca, walau saya belum masuk sekolah. Dari situlah saya dapat membedakan buku yang dibaca ayah saya ternyata tidak hanya dalam bahasa Indonesia. Beliau juga membaca buku berhasa Belanda dan Inggris. Kalau buku berbahasa Arab, dari hurufnya saja saya sudah dapat membedakan. Apalagi, ketika itu saya iku kakak-kakak saya belajar mengaji membaca al-Qur’an.

Di antara buku-buku dan majalah yang dibaca ayah saya itu, ada buku-buku yang tidak beliau izinkan untuk dibaca anak-anaknya. Belakangan, ketika saya sudah agak besar sedikit, saya baru mengerti kalau bacaan itu ternyata publikasi Partai Komunis Indonesia. Saya masih ingat ada buku-buku yang ada gambar palu arit, simbol PKI. Saya sedikit-sedikit mulai menyadari, maskipun ayah saya seorang Muslim yang agak keras dalam menjalankan agama, dan seorang aktivis Partai Masyumi pula, namun beliau mengikuti dan menelaah literatur-literatur Komunis dengan seksama. Saya juga akhirnya mengerti bahwa ayah saya juga membaca buku-buku kalangan nasionalis, terutama tulisan-tulisan Sukarno. Tulisan Sjahrir dan Tan Malaka, juga dikoleksi oleh beliau. Selain itu, saya juga melihat setumpukan koleksi naskah kesusasteraan Melayu lama, berisi berbagai syair dan hikayat, yang ditulis menggunakan huruf Arab Melayu. Beliau membaca syair itu seperti orang menyanyi. Suara beliau melantunkan berbagai syair itu terkadang membuat saya merasa sedih dan pilu. Saya masih ingat beliau membaca syair Burung Bayang, Syair Siti Zubaidah dan syair Singapura di makan api. Yang terakhir ini, mungkin ditulis oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kebiasaan ayah saya membaca buku itu tidak berubah, sampai beliau wafat.

Tentu saja hoby ayah saya membaca buku, koran dan majalah itu membuat ibu saya tidak selalu merasa senang. Beliau nampak kesal juga karena uang belanja keluarga yang sangat minim itu, ternyata masih dibelanjakan ayah saya untuk membeli buku. Kebiasaan beliau membaca buku berlama-lama itu juga membuah ibu saya jengkel. Saya mengerti, karena ibu saya setiap hari sibuk mengurusi anak-anak, yang ketika kami tinggal di Jalan Sijuk itu sudah delapan orang jumlahnya. Ibu saya hanya berpikir bagaimana memasak, memandikan anak-anak dan mencuci pakaian. Tetapi saya melihat ayah saya membantu mencuci pakaian. Beliau selalu mengisi air di dalam rumah dari sumur yang terletak di belakang, untuk keperluan minum dan mencuci piring dan. Saya juga menyaksikan beliau membelah kayu menggunakan sebilah kampak untuk keperluan memasak. Adakalanya beliau mengerjakan semua itu setelah ibu saya ngomel di dapur.

Saya sering juga dibonceng ayah saya naik sepeda pergi ke pasar membeli ikan dan sayur mayur. Satu hal yang membuat saya merasa aneh, ialah banyak pedagang ikan itu yang tidak mau menerima uang ayah saya ketika beliau membayar. Belakangan saya tahu kalau pedagang ikan itu selalu mengikuti pengajian beliau di sebuah langgar, tak jauh dari Pasar Ikan itu. Di antara orang-orang yang datang dan pergi bertamu ke rumah kami, seringkali pula saya melihat mereka membawa kelapa, ubi kayu atau ikan asin. Itulah kebiasaan orang di kampung. Ayah saya tak henti-hentinya menerima tamu dengan berbagai keperluan. Beliau nampaknya tempat orang bertanya segala macam persoalan. Kebanyakan datang meminta nasehat sekitar perkawinan, maklum beliau Kepala Kantor Urusan Agama. Ada pula yang datang membawa masalah warisan keluarga mereka.

Anehnya, apa yang dikatakan beliau dituruti orang dan nampak sebagai kata putus. Hampir tak ada perkara waris yang diajukan ke pengadilan agama, karena biasanya bila beliau telah memberi nasehat, orang yang datang merasa puas dan menerimanya. Saya baru tahu belakang hari tentang hal ini, ketika beliau telah diangkat menjadi hakim Mahkamah Syari’ah. Pernah pula satu kali saya melihat ada orang dari suku Bugis datang ke rumah kami membawa parang. Orang itu datang nampak seperti orang mau mengamuk. Saya tidak tahu ada masalah apa. Saya dan kakak saya hanya bersembunyi dan mengintip melihat orang Bugis itu berbincang dengan ayah saya. Tetapi setelah bertemu ayah saya, orang Bugis itu pulang sambil menangis. Parang yang dibawanya ditinggal di rumah kami.

Di waktu kecil itu saya heran melihat ayah saya itu. Teman-teman saya sepermainan, ada yang bilang ayah saya itu punya ilmu, yang membuat orang takut kepada beliau. Saya hanya setengah percaya setengah tidak. Baru jauh di belakang hari saya menyadari, bahwa bagi orang-orang yang hidup sederhana di kampung, manusia seperti ayah saya itu sungguh merupakan sosok yang disegani dan berwibawa di mata mereka. Ketika saya SMP saya baru menyadari ayah saya itu orang yang rasional. Pandangan keagamaannya sungguh modern. Beliau sungguh tidak percaya dengan hal-hal berbau mistik. Sungguhpun demikian, beliau sangat toleran. Beliau mau menghadiri upacara selamatan laut, yang merupakan upacara kegamaan pra-Islam. Beliau bersedia pula membaca doa menurut agama Islam pada upacara itu, sehingga hal-hal yang semula bersifat “animistik” secara berangsur mendapatkan warna keislaman.

Sewaktu tinggal di Jalan Sijuk itu saya baru mengetahui kantor ayah saya terletak di depan Mesjid Raya Tanjung Pandan. Bangunan Kantor Urusan Agama itu nampak sederhana saja, terbuat dari kayu, berdinding papan dan beratap seng. Sesekali saya diajak ayah saya ke kantor naik sepeda. Di sebelah kantor itu ada sebuah sekolah, yangberasal dari abad ke 19. Sebab kakek saya dari pihak ibu pernah bersekolah di situ. Beliau tamat tidak lama sesudah gunung Krakatau meletus, mungkin sekitar tahun 1885. Kakek saya menyebut sekolah itu “Sekolah Raja”. Saya tidak tahu, mengapa sekolah itu dinamakan sekolah raja. Di abad 19 barangkali sekolah itu adalah satu-satunya sekolah untuk kaum pribumi yang ada di Belitung. Di masa merdeka, sekolah itu diubah menjadi sekolah rakyat, atau sekolah dasar sekarang. Kakak-kakak saya bersekolah ditempat itu. Suatu hari saya masih ingat kakak saya terlambat masuk ke kelas. Dia nampak sangat takut, kalau-kalau dimarahi gurunya. Tetapi ayah saya, dan saya ikut mengantarnya ke sekolah. Ayah menjelaskan sebab-sebab keterlambatannya. Ternyata guru kelas itu adalah saudara sepupu ayah saya sendiri. Guru itu perempuan, saya sudah lupa namanya. Kami hanya memanggilnya “Mak Mok”. Kesan saya, guru perempuan itu nampak sangat ramah.

Di masa kecil saya ingat sekali bahwa saya sering menderita sakit. Ayah saya selalu membawa saya ke rumah sakit di Jalan Rahat. Karena ayah saya pegawai negeri, kami tidak perlu membayar biaya berobat. Termasuk pula obat-obatannya. Saya ingat betul, saya selalu minum obat batuk yang berwarna hitam dan dikemas dalam botol. Kalau sesudah minum obat batuk itu, rasanya selalu ingin muntah. Tetapi, apa boleh buat saya harus meminumnya. Ketika kecil di Tanjung Pandan itu, saya ingin sekali sekolah taman kanak-kanak. Saya senang sekali melihat murid-murid sekolah taman kanak-kanak. Mereka kelihatannya senang, karena selalu bernyanyi. Tetapi satu-satunya sekolah taman kanak-kanak yang ada, hanya diperuntukkan bagi anak pegawai PN Tambang Timah dari kalangan pimpinan saja. Karena ayah saya bukan pegawai timah, saya tidak dapat bersekolah. Anak-anak pegawai PN Timah dari kelas rendahan juga tidak dapat masuk ke sekolah taman kanan-kanak itu.

Ketika tinggal di Jalan Sijuk itu, saya ingat ketika bulan puasa tiba. Saya mulai belajar berpuasa, kadang-kadang sehari penuh, kadang-kadang tidak sanggup. Saya masih ingat ibu saya menyiapkan makanan sahur dan berbuka puasa ala kadarnya. Malam hari saya ikut ayah saya dan kakak-kakak yang lain pergi melaksanakan solat tarawih. Suatu hal yang menarik bagi saya di waktu kecil ialah kami membuat lampu likuran dan bermain bedil. Lampu likuran itu kami buat menggunakan bohlam bekas, yang dibuat sumbunya dari bekas tutup botol limun, seperti tutup botol coca cola sekarang ini. Bohlam itu diisi minyak tanah atau solar dan sumbunya dinyalakan. Ada juga lampu likuran yang dibuat dari bambu, dan sumbunya bisa lebih banyak lagi. Lampu likuran itu dinyalakan pada malam ke 21 bulan Ramadhan. Orang-orang kampung mengatakan, lampu itu dinyalakan untuk menyambut kedatangan malaikat pada malam Lailatul Qadar. Lampu likuran itu bisa belasan, bahkan puluhan jumlahnya di setiap rumah. Kami memasangnya bukan hanya di pagar halaman, tetapi juga di dahan-dahan pohon, sehingga nampak indah kelihatannya.

Bunyi bedil juga saling bersahut-sahutan selama bulan puasa. Ada bedil yang terbuat dari bambu diisi minyak tanah. Ada pula bedil dari pipa besi yang diisi karbit. Bunyinya luar biasa kencangnya. Saya suka menyaksikan anak-anak yang lebih tua usianya bermain bedil. Suatu ketika saya menyaksikan bedil dari bambu ditiup dan apinya keluar. Seorang anak, hangus bulu matanya terjilat api. Sebab itu saya tidak suka membuat bedil dari bambu, saya lebih suka bermain bedil dari besi, atau dengan cara menyambung kaleng susu manis dan menanamnya di dalam tanah dan di isi karbit.Bunyi meriam karbit lebih keras dibandingkan dengan bedil bambu, dan juga lebih aman. Di zaman itu, polisi tidak melarang rakyat bermain bedil, walau kadang-kadang diprotes oleh tetangga yang merasa waktu istirahatnya terusik oleh kerasnya bunyi meriam.

Menjelang lebaran ibu saya sibuk menjahit baju untuk anak-anaknya. Beliau pergi ke pasar membeli bahan baju yang murah harganya. Saya masih ingat ada baju yang beliau buat dari bahan yang dinamakan “belacu”. Warnanya kream. Betapapun sederhana, namun memakai baju baru pada saat lebaran adalah suatu kegembiraan yang luar biasa. Seperti anak-anak yang lain, kami berlebaran dengan tetangga. Kepada anak-anak disediakan minuman dari sirup dan diberi uang. Walaupun uangnya sedikit, tetapi bagi anak-anak sungguh menyenangkan. Ayah saya dan keluarga juga mengunjungi sanak famili atau kenalannya. Kami pergi berjalan kaki. Rumah yang dikunjungi sebenarnya dekat saja, walau di masa kecil sayamerasa sangat jauh. Salah satu rumah yang dikunjungi itu ialah rumah Pak Haji Saad. Beliau itu paman ibu saya. Rumahnya terletak di Kampung Pangkal Lalang. Beliau banyak bercerita pengalamannya di masa lalu.

Di masa muda Pak Haji Saad pernah menjadi marinir Belanda, tetapi kemudian berhenti dan menjadi nakhoda kapal. Karena itu beliau mengunjungi banyak negeri sampai ke Singapura dan Malaysia. Beliau juga sering bercerita pengalamannya naik haji menggunakan kapal KPM (kapal Pelni sekarang). Cerita-cerita beliau itu, dengan disertai guyon-guyon, membuat saya tertarik mendengarnya. Di masa tua, Haji Saad itu nampak sebagai orang tua yang taat menjalankan ibadah agama. Namun suatu hari ibu saya sambil tertawa mengatakan kepada saya, bahwa paman beliau itu di masa muda, termasuk “kelompok begajul” atau kelompok preman istilah sekarang ini. Bagi saya tidak mengapa, itu adalah masa lalu beliau. Namun begitu, gaya premannya itu masih terasa, walau beliau ketika itu sudah tergolong lanjut usianya. Maklumlah di masa muda, beliau seorang anggota marinir. Jarang-jarang saya mendengar orang Belitung jadi marinir, apalagi di zaman Belanda.

Keluarga lain, yang sering juga dikunjungi ayah saya ialah keluarga Pak Haji Itam. Rumah beliau terletak di sisi lapangan bola di Kampung Amau. Di dekat rumah beliau itu ada sebuah masjid yang ayah saya sering memberikan pengajian di tempat itu. Saya hanya kadang-kadang saja menyaksikan pertandingan sepak bola di lapangan itu. Saya ingat ada cucu beliau namanya Bukhori. Dia senang bermain musik. Di usia sekitar lima tahun itu, saya sangat tertarik pada musik. Saya ingin belajar main gitar, tetapi keluarga kami tak mampu membelinya. Di mata saya, gitar sungguh merupakan benda yang mahal, yang tak mungkin terjangkau untuk dibeli. Saya juga pernah menyaksikan orang bermain atraksi di lapangan bola itu, yang disebut “radar”. Mereka nampak seperti orang dihipnotis, namun dapat mengendarai sepeda motor dan jeep. Mereka juga mampu menembak balon dengan senapang angin, walau matanya ditutup. Orang yang dihipnotis itu juga digilas roda jeep, tanpa membawa akibat apa-apa. Ada juga yang ditanam di dalam tanah sampai sehari, namun ketika digali lagi ternyata masih hidup. Bagi saya yang masih kecil, atraksi itu sungguh menakjubkan.

Itulah hal-hal yang masih saya ingat dengan jelas, ketika saya kecil dan tinggal di Tanjung Pandan. Akhir tahun 1961, keluarga kami pindah lagi ke Manggar. Ayah saya dipindahkan menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di tempat kelahiran saya. Saya sungguh merasa senang akan kembali ke Manggar. Kami akan menempati kembali rumah kami di Kampung Sekip. Ibu saya juga nampak senang, karena beliau akan tinggal lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Saya ingat ketika kami pindah kembali ke Manggar. Kami berangkat malam-malam menggunakan mobil besar seperti bis, yang biasa digunakan untuk mengangkut pegawai PN Timah pergi bekarja. Belakangan ada truk milik Pemerintah Daerah yang membawa berbagai peralatan rumah kami yang sederhana dari Tanjung Pandan ke Manggar. Saya kembali ke Manggar, dan mulai masuk sekolah dua tahun kemudian di tahun 1963. Saya menetap di kota ini sampai remaja dan menamatkan SMA. Tamat SMA saya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Saya masih akan melanjutkan cerita kenang-kenangan ini, pada bagian selanjutnya. Ketika itu saya sudah agak besar, sehingga lebih banyak hal yang saya ingat. Dengan demikian, Insya Allah, akan lebih banyak lagi hal yang dapat saya tuliskan sebagai kenang-kenangan masa kecil di kampung.

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian II)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Sebelum saya melanjutkan kenang-kenangan hidup saya di masa kecil, saya ingin menjelaskan serba sedikit tentang asal-usul keluarga saya. Latar belakang asal-usul keluarga itu sangat penting untuk memahami perjalanan hidup saya selanjutnya, baik ketika masih kecil hingga remaja, maupun ketika saya mulai masuk ke alam dewasa. Menjelaskan asal usul keluarga, bagi orang Belitung haruslah menjelaskan kedua keluarga orang tua, ayah dan ibu. Orang Belitung menganut sistem kekeluargaan bilateral, artinya anak akan menarik garis keturunan kepada keluarga ayah dan sekaligus kepada keluarga ibu. Oleh sebab itu Hukum Adat Belitung membolehkan dua saudara sepupu untuk menikah. Laki-laki boleh melamar perempuan menjadi isterinya. Sebaliknya juga perempuan boleh melamar laki-laki menjadi suaminya. Jadi berbeda dengan orang Batak yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan ke garis ayah, tidak ke garis ibu. Laki-laki Batak harus melamar perempuan yang akan jadi istrinya. Mustahil ada perempuan Batak melamar seorang laki-laki menjadi suaminya. Hukum Adat Batak melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ayah mereka bersaudara kandung. Berbeda pula dengan orang Minangkabau yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan kepada garis ibu, tetapi tidak ke garis ayah. Hukum Adat Minangkabau melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ibu mereka bersaudara kandung.  Perempuan Minangkabau, menurut adat, akan melamar laki-laki jadi bakal suaminya. Mustahil laki-laki Minang melamar perempuan jadi istrinya. Menurut Professor Hazairin, sistem kekeluargaan bilateral lebih sesuai dengan Hukum Islam, walau orang Arab menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Baiklah, tanpa berpanjang kalam soal sistem kekerabatan ini, saya akan memulakan kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah lebih dahulu.

Ayah saya bernama Idris. Nama ini diambil dari nama seorang nabi setelah Nabi Adam a.s, sebagaimana dikisahkan di dalam Kitab Taurat dan al-Qur’an. Beliau anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad (lihat foto) dengan Aminah, yang setelah tua dipanggil Nek Kuset. Saudara-saudara kandung ayah saya yang lainnya bernama Baziek, Baharum, Baksin, Abdul Kadir, Adam, Zauna dan Arba’ie. Saya IMGmengenal seluruh saudara kandung ayah saya itu, kecuali Baziek yang sudah meninggal di Pontianak, Kalimantan Barat, sebelum saya lahir. Ketika saya lahir nenek saya juga sudah meninggal dunia, sehingga saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Namun ayah saya menyimpan selembar foto nenek saya itu yang dibuat sekitar tahun 1938, sehingga saya dapat melihat wajahnya. Haji Zainal, kakek saya itu adalah anak satu-satunya dari perkawinan antara Haji Ahmad bin Haji Taib dengan Raisah alias Nek Penyok. Setelah berpisah dengan Raisah, Haji Ahmad menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nek Rambai dan mendapat seorang putra bernama Hamzah. Setelah Nek Rambai wafat, Haji Ahmad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan setempat, namanya Nyi Ayu Mastura. Dari perkawinan kedua ini beliau mempunyai beberapa anak, masing-masing bernama Moestar, Jusuf, Abdullah, Hawa, Aisyah dan Ya’kub. Haji Ahmad adalah putra dari Haji Taib. Daftar silsilah yang tertulis pada lembaran kertas yang sangat panjang yang dimiliki ayah dan paman saya, berhenti sampai Haji Taib. Keluarga di atasnya tidak tercatat dalam urutan silsilah mereka. Kalau saya bertanya, di mana catatan silsilah di atas Haji Taib, mereka selalu mengatakan “ada di Johor”. Saya tidak tahu dengan siapa saya akan mendapatkan silsilah itu di Negeri Johor.
Haji Taib bukan orang asli Pulau Belitung. Ayah dan paman-paman saya mengatakan Haji Taib sebenarnya adalah seorang bangsawan bergelar tengku yang berasal dari Negeri Johor. Ibu kota Kesultanan Johor di masa itu mungkin masih berada di Pulau Lingga, Kepulauan Riau sekarang, sebelum ada Johor Bahru di Semenanjung Malaya. Mungkin karena sebab-sebab keluarga dan politik, beliau beserta keluarganya hijrah ke Belitung pada awal abad ke 19. Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hidup sebagai layaknya orang kebanyakan serta menjadi ulama. Kecintaannya kepada agama itu mendorongnya untuk berlayar ke Mekkah dengan perahu yang dibuatnya sendiri. Anaknya Haji Ahmad juga mengikuti beliau berlayar menunaikan ibadah haji. Menurut kebiasaan masyarakat di awal abad ke 19, ketika perahu akan berlayar meninggalkan dermaga, orang sekampung berduyun-duyun mengantarkan perahu yang akan berlayar ke Jeddah, sambi membaca doa dan melantunkan shalawat. Ketika layar perahu menghilang dari pandangan, orang di kampung membaca talqin dan bersedekah setiap habis magrib sampai hari ke tujuh. Tradisi seperti itu lazimnya dilakukan ketika ada keluarga yang meninggal.

Mereka menganggap orang yang berlayar naik perahu ke Jeddah itu sama dengan orang mati. Betapa tidak. Di zaman itu, perahu tidak bermesin, hanya berlayar dan berdayung belaka. Tidak ada alat telekomunikasi seperti zaman sekarang untuk berhubungan. Kalau ingin menulis suratpun seandainya telah sampai ke Jeddah, siapa pula gerangan tukang pos yang akan mengantarkan surat itu ke kampung halaman. Dalam perahu yang tak seberapa besar itu, Haji Taib dan Haji Ahmad – tentu saja mereka belum haji ketika itu — berbekal beras, jagung, ikan asin, terasi dan daging kering sebagai bekal makanan. Mereka juga membawa emas dan perak sebagai bekal belanja. Pelayaran mereka menyusuri Selat Melaka dan menyusun pantai Asia Selatan untuk sampai ke negeri Jeddah. Merekapun singgah di negeri-negeri yang tak mereka kenal, sekedar untuk mengambil air dan menambal layar yang koyak tertiup angin. Konon lebih tiga tahun kemudian baru mereka pulang ke Belitung. Dapat dibayangkan betapa bersykur dan sukacitanya sanak keluarga dan orang sekampung menyambut kedatangan mereka. Orang pulang haji dengan naik perahu layar bisa pulang kembali dengan selamat adalah suatu peristiwa yang menakjubkan. Konon tidak sedikit mereka yang pergi haji dengan cara yang sama, tak pernah kembali lagi ke kampung halaman. Mungkin perahu mereka telah ditenggelamkan ombak dan badai yang ganas di Lautan Hindia.

Saya tidak dapat membayangkan generasi di atas saya pergi haji naik perahu layar itu. Suatu ketika saya membaca Hikayat Pelayaran Abdullah dari Kelantan ke Negeri Jeddah, yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang pujangga besar dunia Melayu. Hikayat itu mengisahkan secara rinci semua peristiwa yang terjadi dan dialami, ketika Abdullah berangkat menunaikan ibadah haji menggunakan perahu layar, bertolak dari pelabuhan Kelantan di Malaysia sekarang ini. Abdullah mengisahkan secara rinci pula setiap peristiwa di negeri Arabia sampai dia selesai menunaikan ibadah haji. Abdullah rencananya ingin kuliah kesusasteraan di Universitas Istambul di Turki, usai menunaikan ibadah haji itu. Namun Allah Ta’ala ternyata menghendaki lain. Abdullahwafat di Jeddah karena terserang penyakit kolera. Hikayat yang ditulis Abdullah dititipkannya kepada seorang teman ketika dia sakit parah. Naskah itu kemudian diterbitkan di Singapura tahun 1852. Buku ini adalah catatan dokumenter yang sangat berharga, untuk mengetahui betapa sukarnya orang pergi haji dari Asia Tenggara pada pertengahan abad 19. Haji Taib dan Haji Ahmad, empat generasi di atas saya, pergi haji sekitar dua atau dekade sebelum Abdullah.

Mendengar kisah Haji Taib dan Haji Ahmad, serta membaca Hikayat Abdullah, saya mengerti mengapa Inggris dan Belanda sangat khawatir dengan setiap orang yang sudah bergelar haji. Mereka pulang ke kampung dan menjadi orang yang sangat berwibawa dan disegani. Mereka bukan saja memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam, namun keberanian mereka berlayar menunaikan haji, juga menunjukkan mereka bukan orang sembarangan. Dalam posisi sedemikian itu, para haji itu di mata Inggris dan Belanda, potensial untuk menghimpunan kekuatan dalam menentang kekuasaan mereka. Demikian pula dengan Haji Taib dan Haji Ahmad, generasi di atas saya itu. Mereka menjadi orang-orang yang disegani oleh masyarakatnya.

Hanya itu saja riwayat yang saya ketahui mengenai Haji Taib. Nampaknya beliau juga tidak tinggal di Manggar, tempat sebagian besar keluarga ayah saya menetap. Salah seorang paman saya mengatakan Haji Taib menetap di Badau. Namun ada salah seorang paman saya yang mengatakan bahwa makam beliau ada di Kampung Gunung di kota Manggar. Saya tidak terlalu yakin dengan keberadaan makam itu. Paman saya Adam dan ayah saya, yang sering berziarah ke makam Haji Ahmad, tidak pernah menziarahi makam Haji Taib, andaikata makamnya terletak di lokasi yang sama. Di Badau memang pernah ada sebuah kerajaan kecil pada abad ke 18-19. Mungkin kedatangannya ke Belitung dari Negeri Johor, mendapat sambutan yang baik dari keluarga Kerajaan Badau. Kampung Badau merupakan salah satu kampung tertua di Pulau Belitung, di samping Sijuk dan Buding. Konon makam Diah Balitung, seorang putri dari Jawa (mungkin dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur) juga ada di Badau. Apakah nama putri itu yang kemudian dipakai untuk menamai pulau ini Pulau Belitung, saya belum pernah menyelidikinya.

Riwayat Haji Ahmad, kakek ayah saya, dapat saya telusuri. Beliau mula-mula menetap di Manggar Lama, sebuah desa kecil di atas bukit, di sisi Jalan Gajah Mada sekarang ini. Di kawasan itu, juga ada pemukiman orang Belanda yang menambang timah. Bekas-bekas rumah kono Belanda masih dapat saya saksikan sampai awal tahun 1970, ketika saya sering pergi ke bukit itu dan berziarah ke makam tua di atas bukit itu. Di atas bukit itu juga ada pemakaman tua orang Belanda dari abad 18. Saya dapat memastikan hal itu karena saya membaca prasasti terbuat dari batu marmer dan menyebutkan nama-nama orang Belanda yang dimakamkan di situ. Salah satu makam yang menarik perhatian saya ialah makam serorang gadis. Saya masih ingat namanya tertulis Amelia Paulina, wafat dalam usia 17 tahun. Dia lahir di Amsterdam dan wafat di Manggar pada tahun 1862. Saya tertarik dengan makam itu, karena nampak lebih bagus bentuknya dibanding makam yang lain. Saya membayangkan gadis itu mungkin sangat cantik dan orang tuanya nampaknya sangat menyayanginya.

Ketika suatu hari saya datang lagi ke pemakaman tua orang Belanda itu, saya bersama paman saya, Adam. Saya katakan kepada beliau saya tertarik dengan makam ini, karena nama gadis yang meninggal itu bagus sekali, dan mungkin di sangat cantik. Paman saya bilang, memang dia sangat cantik. Saya agak heran, bagaimana paman saya saya bisa tahu. Sambil ketawa beliau mengatakan bahwa di masa beliau muda, juga sering bermain di kuburan itu. Suatu malam beliau dan teman-temannya masih berada di sana. Apa yang terjadi, menurut beliau, di atas makam Amelia Paulina itu ada asap tebal. Tiba-tiba terlihat seorang gadis Belanda yang amat canti memakai baju putih. Mendengar cerita paman saya itu, bulu tengkuk saya agak begidik. Walau saya tak begitu percaya pada hantu, namun ceritanya menakutkan juga. Saya tidak tahu apakah paman saya itu bercerita sungguh-sungguh, atau hanya bergurau saja. Prilaku beliau itu memang nampak eksentrik. Bicaranya kadang-kadang ngelantur tidak karuan.

Saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya Haji Ahmad sampai tinggal di Manggar Lama dan berdekatan dengan pemukiman orang Belanda. Namun di kampung orang pribumi di Manggar Lama itu, nampaknya beliau menjadi ulama dan pemuka masyarakat. Beliau menjadi imam masjid dan menangani urusan-urusan keagamaan. Masjid di Manggar Lama itu konon terbuat dari kayu. Tetapi suatu ketika di awal abad 20, Belanda ingin menggali lahan di Manggar Lama karena menurut mereka banyak timahnya. Rupanya terjadi negosiasi antara Belanda dengan beliau. Orang Belanda itu adalah seorang arsitek, namanya Ir. van Basten. Beliau ini jugalah yang menjadi arsitek pembangunan pemukiman Belanda yang baru di atas bukit Samak dan menghadap ke laut. Rumah-rumah di situ sangat bagus dan tertata rapi.

Jauh di kemudian hari, saya mendapatkan sebuah buku di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, yang di dalamnya menceritakan kota baru di Bukit Samak itu, disertai dengan foto pemandangan dan bangunan-bangunan yang telah berdiri. Ir. Van Basten rupanya membangun kawasan itu mengcopy pembangunan kota Wasenaar, yang terletak antara Amsterdam dengan Den Haag. Beberapa kali saya datang ke Wasenaar, dan saya merasakan ada kesamaan antara Wasenaar dengan Samak. Rumah-rumah di bangun dikitari oleh taman-taman yang luas. Rumah-rumah itu terbuka dan tidak diberi pagar pemisah antara satu dengan lainnya. Di bukit Samak itu terdapat sebuah bangunan tempat rekreasi, yang dinamakan Societeit Manggar. Di tempat itu ada teater, bioskop, tempat dansa dan meja-meja bilyard serta tempat bermain kehel (bowling). Tidak jauh dari societet itu juga terdapat lapangan tenis. Tidak jauh dari soieteit itu ada sekolah ELS, yakni sekolah khusus untuk anak Belanda. Satu-satunya anak pribumi yang sekolah di situ ialah Ibu Herawati Diah, isteri BM Diah, karena beliau anak seorang dokter yang bekerja di perusahaan timah Belanda.

Di awal tahun 2000 saya mengunjungi orang Belanda yang tinggal di Wasenaar, dan lahir di Manggar sekitar tahun 1930. Orang itu selalu bilang kepada staf KBRI, dia ingin sekali bertemu dengan orang asal Pulau Belitung, karena dia lahir di sana, tetapi tidak pernah lagi kembali ke pulau itu. Dia meninggalkan Belitung menjelang pecahnya Perang Dunia II. Saya mengunjungi orang itu, yang nampak sudah agak tua. Dia senang sekali saya datang. Dia bilang, dia tidak menyangka akan ada orang Manggar menjadi Minister van Justitie (Menteri Kehakiman) ketika Indonesia sudah merdeka. Sebelum saya datang rupanya beliau menonton TV Belanda yang mewawancarai saya, dan juga membaca berita kedatangan saya ke Belanda di koran De Telegraaf. Orang Belanda itu memberi saya sebuah foto yang dibuat ayahnya di tahun 1932. Di balik foto itu ada tulisan tangan bapaknya “Festivaal van Billitonieren op de Samak”. Foto itu berisi gambar orang-orangsedang berpawai mengusung aneka hasil bumi. Ketika saya tanya ibu saya gambar apa itu. Ibu saya mengatakan itu adalah “Pesta Maras Taun”, yakni perayaan tahunan sesudah masyarakat serentak memanen padi di ladang.

masjidKita kembali lagi ke kisah Haji Ahmad bernegosiasi dengan van Basten. Haji Ahmad rupanya setuju Manggar Lama dibongkar, asal penduduknya dibantu untuk pindah ke pemukiman baru. Haji Ahmad juga meminta mesjid yang beliau menjadi imamnya diganti dengan mesjid yang lebih bagus di pemukiman baru. Kawasan yang baru itu ternyata bersebelahan juga dengan kawasan orang Belanda di Bukit Samak. Pemukiman baru itu dikenal dengan nama Kampung Lalang. Di perempatan sebuah jalan di Kampung Lalang, dibangun mesjid jamik dari beton yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Haji Ahmad. Ir. Van Basten menggambar mesjid itu dan menggunakan kompas untuk memastikan arah kiblat. Iseng-iseng saya pernah mengajak seorang teman untuk menguji kembali posisi kiblat yang dibuat van Basten dengan peralatan yang lebih canggih. Ternyata arah kiblat yang diukur van Basten itu memang tepat. Masjid itu didirikan tahun 1916 dan masih ada sampai sekarang dalam bentuk aslinya. Bentuk mesjid itu bergaya mideteranian dan mirip-mirip bangunan gereja di desa-desa Negeri Belanda.

Orang Belanda juga membangun sebuah gereja Protestan di kaki Bukit Samak, tidak jauh dari rumah sakit mengarah ke sebuah kampung yang namanya Ban Motor. Berbeda dengan mesjid yang mereka bikin dari beton, gereja itu terbuat dari kayu. Ukurannya tidak seberapa besar. Maklum di zaman itu, hanya orang Belanda yang beragama Kristen di Pulau Belitung. Saya masih menyaksikan gereja itu di awal tahun 1970. Tetapi kini gereja itu sudah hancur. Mungkin tidak ada jemaah Kristen yang menggunakan gereja itu lagi. Saya mengenal orang Belanda yang sudah lama sekali menetap di Belitung, namanya Huijsman, yang sering memimpin upacara keagamaan di gereja itu. Dia mengatakan dia sendiri bukan pendeta. Karena itu, katanya sambil tertawa, apa boleh buat, dia yang memimpin upacara keagamaan sejumlah kecil orang Kristen di kota Manggar.

Meskipun Mesjid Kampung Lalang sudah berdiri kokoh di tahun 1916 itu dan Haji Ahmad yang tetap menjadi imam masjid, beliau memilih tidak tinggal berdekatan dengan mesjid. Rumah beliau terletak di pinggir pantai di kaki Bukit Samak. Pantai itu bernama Pantai Pengempangan yang pemandangannya lumayan bagus. Beliau tinggal di tepi pantai rupanya berkaitan dengan mata pencariannya. Pekerjaan beliau itu berkebun kelapa dan menangkap ikan.Kebun kelapanya cukup luas di sepanjang pantai. Beliau juga membuat kebun kelapa di sebuah pulau kecil, ke arah selat Karimata. Beliau mengunjungi pulau itu ketika pergi memancng ikan menggunakan perahu layar yang kecil ukurannya. Orang Belitung menyebutnya Kater, yakni sejenis sampan, tetapi ada tangannya di sisi kiri dan kanan yang biasanya dibuat dari bambu panjang berukuran besar. Maksudnya supaya sampan itu tidak oleh ketika terkena ombak. Di zaman dahulu, menurut hukum adat, siapa yang membuka kebun kelapa di sebuah pulau, maka pulau itu otomatis menjadi “miliknya”. Pulau itu bernama Pulau Siadong, dan sampai sekarang “dimiliki” secara turun-temurun.

Selain memancing menggunakan perahu, Haji Ahmad juga menangkap ikan menggunakan “sero”. Sero itu dibuat dari anyaman bambu atau sejenis pepohonan hutan yang dalam Bahasa Belitung disebut “Resaman”. Anyaman bambu itu dipancangkan ke tanah ke arah laut dan berhenti pada sebuah alur, yang tetap ada airnya ketika air laut surut. Di alur itu anyaman bambu atau resaman di buat dalam bentuk segi tiga yang ada pintunya. Ketika air pasang, ikan masuk ke ruang segi tiga itu. Ketika air surut ikan tidak bisa keluar lagi. Itulah saat Haji Ahmad dan anak-anaknya berjalan kaki ke arah alur dan menangkapi ikan yang terperangkap di sana, menggunakan peralatan yang disebut “tanggok”, atau “serok”. Sebagaimana orang Belitung lainnya, selain bersero, Haji Ahmad juga menangkap udang menggunakan sungkor, yakni sejenis jala yang diberi tangan dari bambu. Alat itu didorong di dalam air dan digunakan ketika air surut.

Dengan berkebun kelapa dan menangkap ikan itu, Haji Ahmad sudah hidup berkecukupan. Rumah beliau yang terbuat dari kayu bulian, dengan bentuk khas Melayu yang ukurannya cukup besar, masih berdiri sampai sekarang di dekat Pantai Pengempangan itu. Semua anak-anak beliau nampaknya menempuh pendidikan formal. Moestar dan Abdullah, kedua anak Haji Ahmad, bekerja di perusaan timah sejak zaman Belanda, dan nampaknya mendapat kedudukan yang lumayan tinggi. Kehidupan mereka nampak berkecukupan, walau tidak dapat dikatakan kaya. Tetapi anak beliau yang paling tua, yang menjadi kakek saya, Haji Zainal Abidin, nampaknya tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ketika Haji Ahmad wafat di tahun 1936, rumah itu diberikan kepada anaknya yang paling bungsu bernama Yakub. Kebun kelapa beliau yang cukup luas itu juga dibagikan kepada semua anak-anaknya. Sampai sekarang, keturanan Haji Ahmad masih ada yang menempati lahan itu. Antara lain Muhammad, anak dari Jusuf, Hamdani Halil, anak dari Aisyah, Rusli anak dari Yakub, dan Murad, cucu dari Haji Zainal Abidin dari anaknya yang bernama Adam, paman saya. Sampai sekarang saya masih sering datang ke tempat itu sambil menikmati pemandangan laut yang indah.

Kakek saya dari pihak ayah, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad, diperkirakan lahir tahun 1865 dan wafat pada tahun 1971 dalam usia 106 tahun. Usia itu cukup panjang menurut ukuran manusia zaman sekarang. Beliau mengatakan telah berusia belasan tahun ketika Gunung Krakatau meletus (1883). Beliau ikut menyaksikan gelombang besar dan awan hitam yang membawa abu letusan Krakatau. Jarak dari Pulau Belitung ke Selat Sunda tempat Gunung Krakatau berada memang tidak terlampau jauh. Kita mengetahui dari catatan sejarah, bahwa abu letusan Krakatau sampai ke daratan Eropa. Belitung nampaknya jelas terkena dampak letusan gunung itu. Sayang saya tak sempat bertanya kepada kakek saya, adakah korban yang meninggal di Belitung ketika gelombang pasang tiba dan abu letusan berjatuhan di pulau itu.

Saya hanya membayangkan saja dampak letusan Krakataudi Belitung. Ketika saya masih SMP, saya masih menyaksikan sebuah batu sebesar kerbau yang tersangkut di dahan pohon yang menjulang tinggi di sisi jalan. Batu itu mungkin terbawa gelombang pasang akibat letusan Krakatau. Sebab, bagaimana mungkin batu sebesar itu akan ada di dahan pohon beringin karet yang begitu tinggi. Di dekat pohon itu tidak ada bukit yang membuat orang dapat berspekulasi, bahwa batu itu meluncur ketika tergelincir dari lereng bukit. Sebagian orang mengkait-kaitkan batu itu dengan mistik. Namun ketika saya SMP, saya mulai berpikir secara rasional. Saya tidak mudah menerima penjelasan yang bersifat mistik. Namun demikian, saya tetap toleran dengan mereka yang mempercayai penjelasan seperti itu. Saya belajar dari ayah saya yang tetap toleran dengan hal-hal yang dipercayai orang lain, meskipun beliau sendiri tidak percaya.

Seperti telah saya katakan, kakek saya itu nampaknya tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah formal. Ini berbeda dengan adik-adiknya seperti Moestar dan Abdullah. Saya dapat menyimpulkan hal ini, karena kakek saya itu tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf Latin. Beliau menulis dengan huruf Arab dan tulisannya sangat bagus. Saya membaca beberapa tulisannya, yang nampak menggunakan tinta dan penanya adalah lidi dari pohon kabung (atau pohon aren). Menurut ayah saya, kakek saya hanya belajar di rumah di bawah bimbingan ayahnya Haji Ahmad. Beliau juga berguru dengan orang-orang lain tentang agama, bahasa Arab dan kesusasteraan Melayu. Beliau nampaknya tidak mau belajar huruf Latin. Sebab apa susahnya mempelajari huruf itu jika beliau mau, sebab beliau menulis dengan huruf Arab dengan tulisan yang demikian rapi dan kata-katanya tersusun dengan baik. Ketika kecil saya tidak berani menanyakan hal ini kepada kakek saya. Tetapi ayah saya membenarkan bahwa beliau memang tidak mau belajar huruf Latin, karena pandangan keagamaannya yang konservatif dan sikapnya yang agak keras anti Belanda.

Kakek saya itu pergi menunaikan ibadah haji sekitar tahun 1912. Namun beliau berangkat ke Jeddah naik kapal api dari Singapura. Jadi tidak naik perahu layar yang dibuat sendiri seperti kakek dan ayahnya Haji Taib dan Haji Ahmad. Beliau bermukim di Mekkah selama dua tahun sebelum pulang ke tanah air. Ketika kecil, kakek saya bercerita pengalamannya naik haji dan bermukim di negeri Arab. Menurut beliau, sebagian besar jemaah haji berjalan kaki dari Jeddah ke Mekkah dan terus ke Madinah. Hanya sedikit yang mampu menyewa onta. Menurut beliau, di tahun 1900 itu belum ada mobil di negeri Arab, seperti dilihatnya di Singapura. Jalan-jalan pun belum ada. Apa yang nampak hanya padang pasir belaka. Saya tidak tahu apa yang beliau pelajari di Mekkah dan kepada siapa beliau berguru. Beliau hanya mengatakan belajar agama saja kepada beberapa ulama. Ada ulama orang Arab, tetapi ada juga ulama orang Melayu. Beliau pernah menyebut sejumlah nama ulama itu, tetapi sekarang saya sudah lupa.

Kakek saya membangun rumahnya sendiri, tidak jauh dari Mesjid Kampung Lalang. Saya sering bermain-main ke rumah itu. Rumahnya berbentuk panggung, terbuat dari kayu bulian yang kokoh, tetapi alas rumah itu terbuat dari bahan semen setinggi kira-kira satu setengah meter. Saya memperkirakan ukuran itu, karena ketika saya masih sekolah dasar, saya dapat berdiri di bawah rumah itu tanpa kepala saya terantuk lantainya. Rumah itu khas arsitektur Melayu, namun tidak banyak ukirannya, seperti halnya rumah Melayu klasik. Rumah itu memiliki ruang tamu dengan kursi-kursi antik terbuat dari kayu dengan daun meja yang terbuat dari marmer berwarna putih. Ada sepasang kursi goyang yang terbuat dari kayu jati dan diukir. Nampaknya kursi itu berasal dari Jawa. Ketika kecil, saya suka sekali duduk di kursi goyang itu, yang diletakkan di beranda rumah di bagian samping.

Di samping kursi-kursi yang nampak antik, di rumah kakek saya itu juga terdapat tiga lampu gantung yang terbuat dari besi cor. Tempat minyaknya serta kap lampu itu terbuat dari batu juga marmer berwarna putih. Di masa sekarang orang menamakan lampu minyak itu “lampu Betawi”. Di samping lampu gantung, juga terdapat lampu-lampu minyak untuk diletakkan di atas meja, yang dibuat dari kuningan. Semprong lampunya terbuat dari kaca bentuknya bulat dan panjang. Kakek saya mengisi lampu minyak itu denganminyak kelapa yang dibuatnya sendiri. Beliau tidak mau menggunakan minyak tanah karena menimbulkan asap, lagi pula mudah terbakar. Satu hal yang agak aneh dalam pemandangan saya di waktu kecil ialah, di rumah kakek saya itu tidak tersedia sambungan listrik. Padahal listrik di kota Manggar di zaman itu boleh dibilang melimpah ruah. Belanda telah membangun pembangkit listrik tenaga diesel di Manggar pada tahun 1912, dan ketika dibangun PLTD itu konon adalah pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara.

Belanda sengaja membangun PLTD itu untuk penambangan timah, dan industri serta perbengkelan yang mereka bangun secara integratif. Rumah-rumah orang Belanda, masjid dan rumah-rumah orang di kampung Lalang, diberi listrik gratis sama Belanda. Tetapi kakek saya tidak mau. Kata beberapa orang, kakek saya berpendapat listrik itu haram dan bid’ah. Saya tidak berani bertanya kepada kakek saya, apa betul beliau berpandangan demikian. Sebab di mesjid Kampung Lalang, yang beliau menjadi imamnya, telah ada penerangan listrik sejak tahun 1916. Ayah saya hanya mengatakan bahwa hal itu adalah bagian dari sikap non-kooperatifnya dengan Belanda. Namun anehnya, ketika Indonesia sudah merdeka, di rumah itu tetap saja tidak ada lampu listriknya. Saya hanya berpikir, mungkin kakek saya ingin suasana rumahnya tradisional. Lampu minyak kelapa yang dinyalakan di malam hari, memang menciptakan aroma tersendiri di dalam rumah itu.

Di rumah kakek saya itu tidak banyak hiasan dinding. Hanya ada gambar bouraq yang dilukis di atas kaca dan diberi bingkai kayu. Oleh masyarakat tradisional, bouraq dengan gambar seperti itu dipercayasebagai kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad s.a.w ketika melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Dalam lukisan itu, bouraq digambarkan sebagai sejenis binatang mirip kuda namun berwajah seorang wanita dan mempunyai dua sayap sehingga bisa terbang di angkasa. Di bawah bouraq itu tergambar masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha di Jerusalem. Sebuah gambar berwarna hitam putih yang juga ditempelkan di dinding, adalah gambar orang asing yang berkumis dan memakai topi tarbus yang ukurannya panjang. Saya bertanya kepada paman saya gambar siapa gerangan orang itu. Paman menjelaskan, itu adalah gambar Sultan Turki. Kakek saya menegaskan pendiriannya bahwa Sultan Turki itulah “khalifah ikutan kita”. Beliau mengatakan haram hukumnya memasang gambar Ratu Wihelmina, Ratu Belanda di zaman kolonial dahulu. Sampai zaman sudah merdeka, kakek saya tetap tidak mau mengganti gambar Sultan Turki itu dengan foto Presiden Sukarno. Padahal, Sultan Turki pun sudah lama pula dikudeta Kemal Attaturk tahun 1924.

Di halaman samping rumah kakek saya itu, ada pula bangunan rumah panggung yang ukurannya lebih kecil. Rumah kecil itu berfungsi untuk menyimpan barang-barang, yang tersusun dengan rapi. Ada seperangkat gong khas Melayu dan beberapa meriam kuno dari kuningan, serta berbagai jenis pedang kuno dan tombak. Juga tersimpan rebana berbagai ukuran serta gendang yang terbuat dari pohon kelapa dan kulit sapi. Di salah satu ruangan rumah kecil itu saya menyaksikan banyak buku-buku tua menggunakan huruf Arab. Saya pernah membuka gulungan-gulungan kertas berisi hikayat dan syair Melayu yang ditulis dengan tulisan tangan. Saya tidak tahu siapa penulisnya. Mungkin sebagian ditulis oleh kakek saya sendiri. Sebagian konon berasal dari Johor, Lingga dan Riau. Saya masih ingat ada Hikayat Hang Tuah yang juga ditulis dengan huruf Arab Melayu. Ketika kecil, beberapa kali saya membaca hikayat Hang Tuah itu. Ceritanya bagi saya, sangatlah menarik. Di ruang itu, tersimpan pula buku-buku pelajaran dan bahkan buku tulis anak-anak kakek saya ketika mereka bersekolah di zaman Belanda.

Suatu hal yang juga menarik perhatian saya di bagian belakang rumah kecil itu ialah berbagai peralatan yang dalam pandangan saya terlihat aneh. Dua peralatan yang saya anggap aneh itu, pertama ialah perangkap tikus yang terbuat dari bambu yang nampak sangat keras. Dalam tabung bambu itu ada lobang kecil yang dipasang kawat baja untuk meletakkan umpan. Di depan tabung itu ada bambu yang di sayat tipis berbentuk melengkung dan lentur. Apabila tikus masuk memakan umpan di dalam tabung itu, maka bambu tipis yang melengkung itu akan serta-merta menutup tabung itu, sehingga tikus terperangkap di dalamnya. Peralatan lain yang juga terlihat aneh ialah yang dinamakan pulut, yakni peralatan untuk menangkap burung. Ada ratusan lidi kabung yang dimasukkan ke dalam tabung bambu yang di dalamnya ada lem yang sangat kental. Lem itu dibuat dari getah pohon Teruntum, sejenis pohon bakau yang tumbuh di pinggir sungai. Peralatan yang lain, seperti jala untuk menangkap ikan, cangkul, parang dan alat untuk menebas rumput, bagi saya terlihat biasa saja.

Di bagian gudang rumah kecil itu kakek saya masih menyimpan berbagai mainan anak-anak beliau di waktu kecil. Ada papan catur yang dibuat sendiri dari kayu. Ada juga kuda-kudaan yang tempat duduknya dilapisi bahan sejenis terpal dan di dalamnya ada kapuk, bahan orang Belitung membuat kasur dan bantal di zaman dahulu. Juga ada mobil-mobilan dan gerobak kecil yang semua dibuat dari kayu, termasuk rodanya. Kakek saya itu mempunyai sebuah sepeda antik, yang ada giginya. Beliau menyebut gigi sepeda itu persneling. Ketika beliau sudah tua, beliau tak sanggup lagi naik sepeda. Maka sepeda itu digantungdi dalam rumah dan diberi kelambu berwarna putih. Sepeda itu beliau rawat dengan baik dan selalu diberi minyak pada rantai dan onderdilnya yang lain. Ketika saya sudah mahasiswa dan pulang ke kampung, saya bertanya kepada saya sepeda kakek saya yang antik itu. Ayah saya mengatakan sepeda itu ada di rumah kami, beliau simpan di dalam gudang. Tetapi tidak pakai kelambu lagi, seperti dilakukan kakek saya. Saya lantas memperhatikan sepeda antik itu. Pada sadel atau tempat duduknya, masih terbaca dengan jelas sepeda itu mereknya Robinson. “Made in England” dan tertera tahun pembuatannya tahun 1892. Sampai sekarang sepeda antik itu kami simpan baik-baik di rumah ibu saya di Manggar.

Saya banyak bertanya kepada ayah saya riwayat sepeda yang dibeli kakek saya di Singapura. Konon menurut ayah saya, di awal abad ke 20, kakek saya itu adalah manusia satu-satunya yang punya sepeda di kota Manggar. Orang lain berjalan kaki belaka. Di Belitung tidak ada kuda. Orang tempatan juga tidak tahu bagaimana cara mengajari sapi dan kerbau agar pandai menarik gerobak seperti di Jawa dan Madura. Satu-satunya kuda yang pernah ada, konon dimiliki oleh Tuan Dekker — orang Belanda yang memeluk agama Islam di Belitung dan menikah dengan wanita setempat. Beliau adalah pioner membuka pertambangan timah dalam arti modern. Saya memperoleh banyak informasi tentang beliau ini, yang namanya lengkapnya Cornelies Frederijk den Dekker. Nama beliau itu dipahat di prasasti batu pualam di depan Hoofdkantoor NV GMB di Tanjung Pandan. Sayang prasasti dibongkar dan mungkin sudah dihancurkan.

Saya memang sering jengkel dengan orang Belitung, termasuk Pemerintah Daerahnya dan pejabat PT Tambang Timah, yang hoby membongkari situs-situs dan bangunan bersejarah yang ada di pulau itu. Kebanyakan mereka itu bergelat insinyur, namun di mata saya nampak dungu karena tidak mempunyai kesadaran historis, apalagi arkeologis. Namun mereka sering mengatakan bahwa sayalah yang aneh dan eksentrik karena memperhatikan hal-hal seperti itu. Sudahlan.Saya masih memiliki foto prasasti ituyang saya buat copynya di Universitas Leiden. Begitu terkesannya orang Belitung dengan kuda den Dekker,sampai ada pantun orang Belitung yang saya masih ingat sampai sekarang:

Tuan Dekker menunggang kuda,

Dari Sijuk ke Tanjung Pandan,

Pikir-pikir bermain muda,

Buah mabuk jangan dimakan.

Berbeda dengan adik-adiknya seperti Moestar dan Abdullah, kakek saya tidak pernah mau bekerja di perusahaan timah Belanda. Beliau mengikuti jejak ayahnya. Karena beliau haji dan mendalami agama, maka beliau dianggap sebagai ulama dan ditokohkan oleh masyarakat serta sangat disegani. Beliaulah yang meneruskan tugas Haji Ahmad menjadi imam Masjid Kampung Lalang. Beliau tidak pernah mau membaca khutbah Jum’at menggunakan Bahasa Melayu. Khutbahnya selalu dibacakan dalam Bahasa Arab, walaupun tentu hanya sedikit jamaahnya yang mengerti. Namun pengajian yang beliau berikan, menggunakan bahasa Melayu. Konon di masa muda beliau memberikan khutbah dan pengajian sampai ke kampung-kampung yang jauh letaknya. Tidak jarang beliau menginap di kampung-kampung itu mengendarai sepeda melintasi hutan dan jalan setapak. Konon baru di tahun 1916 membangun jalan yang menghubungkan antar kota di Belitung. Baru sedikit yang diaspal, sisanya jalan tanah merah belaka. Saya juga melihat foto-foto mobil dan truk Belanda di Belitung, yang dibuat tahun 1916 itu.

Mata pencarian kakek saya itu sama saja dengan ayahnya Haji Ahmad. Beliau memiliki kebun kelapa di dekat muara Sungai Mirang. Beliau juga memiliki perahu untuk pergi memancing ikan di laut. Sama seperti Haji Ahmad, beliau juga membuat sero di pantai pengempangan. Ketika saya kecil, saya pernah ikut menangkap ikan di dalam sero itu. Pernah pula beberapa kali berjalan kaki dengan beliau pergi ke kebun nanas miliknya. Di kebun nanas yang luas itu, ada sebuah rumah kecil yang dibangunnya di atas air. Saya sering bermain di rumah itu sambil memasang pancing yang dikasi umpan cacing. Pancing umpan cacing itu digunakan untuk mendapatkan ikan Kemuring, untuk umpan memancing ikan yang lebih besar. Kadang-kadang pancing itu dimakan ikan gabus, yang membuat saya sangat gembira. Saya juga belajar membuat bubu untuk menangkap ikan, dan meletakkan bubu itu di antara pematang kolam tempat menanam kangkung dan genjer. Sering saya mendapat ikan yang terperangkap di dalam bubu itu. Namun pernah pula saya kaget setengah mati karena di dalam bubu itu ada ular piton (orang Belitung menyebutnya ular Saba) sepanjang kira-kira satu meter. Seperti saya ceritakan di bagian I, saya sangat sensitif dengan ular. Rasa sensitif itu tetap saya miliki sampai sekarang, kalau sesekali saya masuk hutan atau mendaki gunung.

nipahDi samping kebun nanas itu, kakek saya mempunyai pohon nipah yang banyak sekali jumlahnya. Nipah itu tumbuh di dalam air. Saya sering memetik buah nipah, yang rasanya manis mirip buah siwalan. Ada banyak pohon hutan, orang menyebutnya Daun Iding-Iding, yang pucuknya dapat dimasak, tumbuh disela-sela pohon nipah. Kakek saya memetik daun nipah itu dan menjalinnya menjadi atap untuk rumah. Saya tahu bagaimana caranya membuat atap dari daun nipah, karena saya belajar dengan kakek saya. Di kebun kakek saya juga, saya sering membantu beliau meraut lidi daun kelapa. Meraut lidi itu menggunakan pisau khusus, yang gagangnya panjang dan melengkung, terbuat dari kayu. Kami menyebut pisau itu “pisau raut”. Saya juga belajar membuat simpai, yakni anyaman rotan untuk mengikat lidi itu hingga menjadi kuat ketika dijadikan sapu lidi.Ada sapu lidi yang diberi gagang kayu untuk menyapu halaman. Ada pula yang tidak memakai gagang, ukurannya lebih kecil, untuk membersihkan rumah, termasuk untuk memukul-mukul kasur kapuk ketika dijemur di halaman rumah.

Tetapi kakek saya juga membuat sapu dari bahan sabut kelapa yang direndam di dalam air beberapa hari, kemudian dipukul-pukul sehingga yang tersisa adalah serat sabut kelapa itu. Serat itu kemudian dijemur sampai kering. Sabut kelapa yang kering itu kemudian diajalin dengan rotan dan diberi gagang kayu kir-kira satu meter panjangnya. Bentuk sapu itu sangat bagus dan enak digunakan untuk menyapu lantai rumah, baik lantai papan maupun lantai semen dan ubin. Saya suka menggunakan sapu sabut khas Belitung itu sampai sekarang. Ketika pulang ke Belitung, saya masih bisa membuat simpai dan menjalin sabut kelapa dengan rotan untuk dijadikan sapu itu. Demikianlah serba sedikit latar belakang kehidupan kakek saya dari pihak ayah. Dalam penglihatan saya kakek saya dari pihak ayah itu tidaklah miskin. Beliau hidup lumayan menurut ukuran orang kampung di zaman itu. Ada pula jenis sapu yang dibuat kakek saya menggunakan dahan pohon yang banyak ranggasnya dan daunnya kecil-kecil. Pohon itu dinamakan pohon sapu padang.

Walaupun kakek saya menganut paham keagaman yang cenderung kobservatif dan bersikap non-kooperatif dengan Belanda, namun beliau membiarkan anak-anaknya menempuh pendidikan formal. Kedua anaknya, Baharum dan Baksin IMG_0001misalnya, setelah menamatkan sekolah dasar, meneruskan pendidikan kursus di bidang teknik pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda. Mereka menamatkannya dengan baik, dan menjadi teknisi kelistrikan di perusahaan tambang timah Belanda. Ayah saya, Idris (lihat foto bersama ibu saya dan anak yang masih kecil) tak berminat pada dunia teknik. Setelah menamatkan sekolah dasar, beliau meneruskan pendidikan ke sebuah institut milik swasta selama empat tahun lagi. Sekolah itu diakui setaraf dengan HBS, kira-kira SMA di zaman sekarang. Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda, Arab dan Melayu. Ayah saya nampaknya mendalami kesusasteraan di sekolah itu. Di raportnya yang masih disimpan ibu saya, saya terlihat banyak subyek kesususteraan, agama dan budaya sebagai mata pelajarannya.

Ayah saya sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke Jakarta, menyesuaikan ijazahnya untuk kemudian meneruskan pendidikan ke Rechts Hoogeschool, atau fakultas hukum sekarang ini. Beliau sudah pergi ke Jakarta, namun kembali lagi ke Belitung. Saya tidak tahu apa sebabnya. Nampaknya terkendala soal keuangan. Namun dengan ijazah yang dimiliknya, beliau sebenarnya dapat bekerja dengan gaji yang lumayan, baik bekerja di pemerintahan kolonial, maupun bekerja di perusahaan timah Belanda. Pernah sebentar, kata beliau, bekerja sebagai klerk (pegawai administrasi), tetapi tidak betah dan akhirnya berhenti. Hidupnya kemudian laksana seniman. Kerjanya setiap hari bermain biola, menulis naskah drama dan sekaligus menjadi pemainnya. Sambil bermain musik dan main drama, beliau mengatakan berjualan minyak wangi. Minyak wangi itu dibuatnya sendiri, dengan cara menyuling berbagai jenis bunga dan tumbuh-tumbuhan. Saya tidak dapat membayangkan jenis minyak wangi macam apa yang dibuat beliau itu. Ketika kami kecil, kami hanya mengolok-olok beliau, jangan-jangan minyak wangi itu semacam minyak sinyong-nyong, yang konon dapat memikat hati seorang gadis.

Ayah saya memang piawai bermain biola. Beliau mempunyai grup musik sendiri terdiri atas beberapa pemain. Grup musik itu seringkali mengiringi orang Belanda berdansa di Societet Belanda di Bukit Samak. Mereka juga bermain ketika ada perayaan atau pesta kawin. Grup musik itu juga pentas sebelum pertunjukan drama dimulai. Ketika saya SD, saya menyaksikan ayah saya masih mampu menggesek biola, walau kata beliau, sudah lama sekali tidak pernah lagi memainkan alat musik itu. Beliau mengatakan kepada saya, beliau belajar bilola mula-mula di sekolah. Setelah itu beliau berguru kepada salah seorang saudara sepupunya yang usianya lebih tua dari beliau, namanya Badjeri. Orang-orang di kampung memanggil Bedjeri itu Cembelek. Saya tidak tahu mengapa dipanggil demikian. Saya masih bertemu dengan beliau itu, walau ketika saya kecil, beliau nampak sudah tua sekali. Menurut ayah saya, Badjeri itu lebih piawai memainkan biola. Badjeri biasa mengiringi pertuntunjukan tari-tarian tradisional Melayu Belitung, yang disebut Campak. Selain itu, Badjeri juga menggesek biola untuk pertunjukan film di sebuah bioskop milik orang Cina — orang Belitung menyebut bioskop itu Panggung Pasong — yang terletak di Pasar Lipat Kajang. Badjeri juga mahir menabuh hadrah, yakni seperangkat rebana yang biasanya digunakan untuk mengarak pengantin.

Saya agak tercengang mendengar cerita ayah saya tentang Badjeri yang mengiringi pertunjukan film di bioskop. Ayah saya menjelaskan bahwa di tahun belasan sampai awal tahun 1930, bioskop itu hanya memutar film Charlie Chaplin dan sejenis dengan itu. Film itu belum berwarna, hanya hitam putih belaka. Lagi pula film di zaman itu belum ada suaranya, jadi film bisu saja. Agar tontonan di layar bioskop itu terasa hidup, maka harus ada pemain musik yang menyesuaikan irama musiknya dengan adegan di film itu. Ketika ayah saya kecil, beliau rupanya sering menonton bioskop pula. Karena film diputar setiap malam, suatu ketika Badjeri mengantuk. Mungkin dia bosan menggesek biola setiap malam mengiringi film yang sama. Badjeri tertidur ketika adegan Charlie Chaplin sedang berkelahi. Karena suara musik tak terdengar, penontonpun berteriak “musik”!. Badjeri tiba-tiba terbangun kaget. Dia segera menggesek biolanya dengan tempo yang tinggi mengiringi Charlie Chaplin yang sedang berkelahi itu. Saya terbahak-bahak tertawa mendengar cerita ayah sayaitu, karena terdengar lucu untuk anak segenerasi saya. Namun itulah cerita yang sesungguhnya yang pernah terjadi di masa silam.

Ketika masih kecil, saya masih menyaksikan sebuah bangunan yang dijadikan markas grup musik dan sandiwara ayah saya. Tidak jauh dari bangunan itu, ada halaman kosong, yang menurut beliau dahulunya ada panggung untuk bermain sandiwara secara rutin setiap seminggu sekali. Ayah saya rupanya menulis naskah sandiwara modern yang mengisahkan kehidupan sehari-hari. Di panggung yang sama, juga ada pertunjukan tonil dan sejenis opera yang antara lain mementaskan kisah yang diangkat dari syair Melayu, Syair Abdul Muluk. Ayah saya tidak ikut dalam pertunjukan drama klasik, yang umumnya dimainkan oleh generasi yang lebih tua usianya, termasuk kakek saya dari pihak ibu, yang konon sering memainkan peranan sebagai Raja Jin. Kegiatan ayah saya bermain musik dan bermain drama itu berlangsung terus sampai beliau mempunyai anak empat orang. Beliau baru berhenti bermain musik dan drama, ketika orang-orang kampung mengangkat beliau menjadi penghulu, untuk mengurusi masalah-masalah keagamaan. Rupanya, darah keulamaan dari kakek dan ayahnya menurun pada beliau. Namun mengurus kebun kelapa dan menangkap ikan, samasekali tidak menurun kepada beliau. Saya tahu persis ayah saya itu tidak pandai turun ke laut. Kalaupun beliau membuat kebun, semuanya nampak hanya dikerjakan sambil lalu dan tak pernah serius.

Di samping bermain musik dan drama, ayah saya itu juga gemar bermain sepak bola dan badminton. Ketika saya kecil, saya mendengar lutut ayah saya sering berbunyi ketika beliau mengerjakan sembahyang. Saya tanya mengapa sebabnya. Beliau bercerita kakinya pernah mengalami terkilir yang serius ketika bermain bola. Beliau menasehati saya agar hati-hati kalau main sepak bola. Sejak itu, beliau tak main bola lagi, tetapi main badminton jalan terus. Di seberang jalan di depan rumah kakek saya, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad, ada lapangan badminton yang cukup bagus. Lapangan badminton itu dibuat dari beton, dan ada rumah yang panjang bentuknya, tempat kantor sebuah klub yang namanya BKL (Badminton Kampung Lalang). Ada beberapa ruangan tempat ganti pakaian di bangunan itu. Di bagian depan ada balkon tempat orang menonton. Lapangan badminton itu diterangi lampu listrik yang nampak mewah. Meskipun lapangan badminton itu dibuat tahun 1934 oleh paman saya Baharum — beliau itu seorang arsitek dan sekaligus developer — namun saya masih sering bermain badminton di lapangan itu di sekitar tahun 1970. Ayah saya, sesekali menyaksikan saya bermain badminton.

Kegiatan ayah saya bermain musik dan drama itu berhenti beberapa tahun ketika balantentara Jepang mendarat di Belitung. Menurut beliau, pada awal tahun 1942, beberapa kali Angkatan Udara Jepang menjatuhkan bom di Belitung, yang membuat orang Belanda dan orang pribumi panik bukan kepalang. Konon, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda, sempat melarikan diri ke Manggar dari Batavia. Dari sana rombongan orang Belanda mengungsi ke Australia mengunakan kapal laut. Jepang memang bersemangat untuk menduduki Belitung, karena di pulau ini ada industri permesinan Belanda yang dapat mereka manfaatkan untuk memproduksi senjata. Produksi timah dari Belitung juga sangat penting bagi Jepang untuk membuat mesiu. Tentara Jepang mendarat di Belitung dengan armada laut, dalam jumlah yang cukup besar. Sementara orang Belanda mengungsi ke Australia, orang-orang Belitung juga masuk ke hutan. Mereka membuka hutan dan berladang untuk mempertahankan hidup. Zaman mulai dirasakan susah.

Tentara Jepang merekrut masyarakat melakukan kerja rodi membangun lapangan terbang untuk kepentingan militer. Pekerja rodi juga dikerahkan untuk menggali tanah membuat semacam kolam yang dihubungkan ke laut. Kolam itu masih ada sampai sekarang, dan dinamakan orang Kulong Sukarela. Mungkin kolam itu akan digunakan untuk penderatan tank amphibi Jepang. Lapangan terbang itu dibangun di kampung Buluh Tumbang, kira-kita 16 km dari kota Tanjung Pandan. Di zaman Belanda belum ada lapangan terbang di Belitung. Ayah saya tidak termasuk kelompok yang dipaksa kerja rodi, tetapi entah bagaimana ceritanya, beliau direkrut menjadi pasukan paramiliter untuk membantu pasukan militer Jepang. Saya masih menyimpan buku tulis peninggalan ayah saya, yang menunjukkan beliau belajar bahasa Jepang, dan mencatat berbagai istilah kemiliteran dalam bahasa Jepang. Latihan militer dipusatkan di sekitar Bukit Samak, di tepi pantai dan di daerah Tanjung Mudong.

Di masa pendudukan Jepang itulah ayah saya menikah dengan ibu saya, Nursiha binti Sandon. Kakek saya dari pihak ibu, tergolong orang yang berada. Ibu saya dianggap sebagai anak beliau satu-satunya. Karena khawatir ibu saya akan diambil paksa oleh tentara Jepang, maka kakek saya berpikir praktis saja. Kedua orang tua berpaham, dan kedua anak dijodohkan. Mereka menikah tahun 1944, ketika ayah saya telah berusia 27 tahun, dan ibu saya baru 15 tahun umurnya. Tentu tidak ada pesta perkawinan di zaman perang dan kehidupan sangat sulit di masa itu. Bahkan ayah saya tidak punya surat kawin. Beliau baru membuat surat kawin yang ditandatanganinya sendiri sebagai Kepala Kantor Urusan Agama, jauh di belakang hari, menjelang beliau pensiun. Kami, anak-anak beliau tertawa melihat surat kawin beliau yang dibikin sendiri itu. Sekian lama jadi penghulu dan Kepada KUA, ternyata beliau tak punya surat kawin. Untung Pak Naib (sebutan untuk kepala KUA di Belitung) tidak disangka kumpul kebo, kata kami berolok-olok.

Kakek saya dari pihak ibu, mungkin berpikir anak gadis satu-satunya itu, akan aman jika dinikahkan dengan tentara, agar tidak diganggu orang Jepang. Setelah menikah, ibu saya rupanya ikut latihan militer juga. Beliau bercerita latihan baris-berbaris, memanggul senapang kayu dan menembak dengan senapang karaben. Kadang-kadang mereka juga dilatih melompat dari mobil panser dan mengendarai tank pasukan Jepang. Ibu saya rupanya dipersiapkan untuk menjadi polisi. Namun setelah merdeka, dan beliau telah mempunyai anak pula, kariernya itu tidak berlanjut. Seumur hidupnya beliau tidak pernah bekerja, kecuali mengurus rumah tangga saja, dan sekali-kali berdagang pakaian atau membuat minyak kelapa. Namun kegiatan itu hanya sambilan belaka.

Ayah saya nampaknya menjadi tentara dengan setengah hati. Ketika Indonesia sudah merdeka, beliau nampak tak bersemangat untuk ikut dalam perjuangan bersenjata. Di zaman Revolusi memang tidak terjadi pertempuran besar di Belitung, seperti di daerah-daerah lain. Ada pertempuran melawan tentara sekutu yang membawa NICA di Selat Nasik dan Air Seru. Tetapi di Manggar, tidak terjadi pertempuran. Ayah saya tak berminat meneruskan karier menjadi militer. Ini berbeda dengan teman-temannya yang lain. Muhani salah seorang temannya, meneruskan karier militer sampai akhir revolusi, tapi kemudian berhenti setelah penyerahan kedaulatan dengan pangkat Letnan Dua. Temannya yang lain, Mardjono, yang juga anggota grup musik ayah saya, meneruskan kariernya di militer. Beliau pensiun dengan pangkat Kolonel, dan terakhir bertugas di Kodam Siliwangi. Ketika saya mahasiswa sekitar tahun 1977, saya sempat mengantar ayah saya menemui Mardjono di Bandung.

Temannya yang lain, Saleh Norman namanya, meneruskan karier militernya sampai berpangkat Brigjen, dan pernah menjadi Direktur PT Pindad. Saya pernah bertemu dengan beliau, ketika telah pensiun dan tinggal di Tasikmalaya. Anak beliau, Nanang Setiawan namanya, teman saya kuliah di Fakultas Hukum. Bapaknya menanyakan saya, karena Nanang bercerita kepada beliau ada temannya berasal dari Belitung. Ternyata, Saleh Norman itu teman ayah saya bermain sepak bola di masa muda dan sama-sama latihan militer di zaman Jepang. Ketika saya datang ke rumah beliau di Tasikmalaya, beliau nampak sangat bersuka-cita. Beliau sengaja menangkap ikan mas yang besar ukurannya di kolam belakang rumahnya dan memasaknya. Katanya, itu adalah gangan ikan model Belitung. Namun, di lidah saya, rasanya sudah campur-aduk masakan Sunda. Saya hanya tertawa dan menikmati gulai ikan mas yang besar itu.

Telah puluhan tahun Brigjen (Purn) Saleh Norman tak pernah kembali ke Belitung. Nampak sekali ada kerinduan beliau akan tempat kelahirannya itu ketika beliau bercerita. Beliau berkisah tentang persahabatannya dengan ayah saya, dan juga paman-paman saya. Rupanya beliau tinggal berdekatan dengan rumah keluarga kakek saya di Kampung Lalang. Dengan bangga beliau memperlihatkan kepada saya sebuah dayung (bahasa Belitung menyebutnya pengayo) perahu (katir) tradisional Belitung, disertai sejumlah peralatan memancing, termasuk sebuah tabung bambu tempat menyimpan mata pancing dan kili-kili. Beliau mengatakan, semua peralatan itu pernah dipakainya di masa muda. Benda itu terus dibawanya merantau sebagai kenang-kenangan semasa tinggal di Belitung.

Demikianlah kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah. Semua ini saya tulis berdasarkan ingatan saya. Beruntung saya, sebelum tulisan ini saya posting, saya bertemu dengan paman saya, yang sedang berada di Jakarta. Haji Arba’i bin Haji Zainal Abidin namanya. Beliau adalah adik ayah saya yang paling bungsu, dan satu-satunya yang masih hidup di antara saudara-saudara kandung ayah saya. Saya banyak bertanya kepada beliau untuk menyempurnakan tulisan ini, kalau-kalau saya salah dan lupa. Saya juga menelpon saudara sepupu ayah saya, Ir. Haji Mohammad Taib bin Haji Moestar, yang tinggal di Bandung, menanyakan beberapa hal tentang Haji Ahmad dan Haji Taib. Namun tak banyak informasi yang saya peroleh. Setelah tulisan ini saya posting, kalau sekiranya ada sanak-famili atau handai tolan yang mengetahui beberapa hal, dan mungkin saya salah dan keliru, dapat kiranya mengoreksi apa yang saya tuliskan ini.

Demikianlah adanya tulisan saya, hamba Allah yang dhaif ini, pada Bagian II Kenang-Kenangan di Masa Kecil. Semoga ada manfaatnya sebagai bahan pelajaran dan renungan bagi generasi selanjutnya. Kalau ada salah dan keliru, mohonlah saya dimaafkan.


KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian III)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

IMG_0004

Setelah saya menguraikan panjang lebar kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah, maka tibalah saatnya bagi saya sekarang untuk menuliskan kisah keluarga saya dari pihak itu. Ibu saya bernama Siha atau Nursiha, putri dari Jama Sandon dan Hadiah. Beliau lahir tanggal 14 Juli 1929 di Kecamatan Gantung sekarang ini (lihat foto kakek dan ibu saya pada tahun 1939). Beliau adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Namun tiga kakaknya, yang semuanya perempuan meninggal dunia di masa kecil. Keluarga kakek dan nenek saya percaya bahwa mereka tidak bernasib baik untuk memiliki anak. Sebab itu, ketika lahir anak yang keempat, seorang laki-laki yang dinamai Bujang, bayi itu segera diberikan kepada orang lain, dengan kepercayaan anak itu tidak akan mati seperti kakak-kakaknya.

Sesudah Bujang diberikan kepada orang lain, lahirlah ibu saya, Siha. Namun rupanya anak perempuan ini tidak diberikan kepada orang lain. Kedua orang tua itu rupanya sangat sayang dengan anak ini. Karena itu mereka mengambil risiko memeliharanya dengan susah payah, dengan harapan agar tetap hidup. Sebab itulah, kakek dan nenek saya selalu menganggap ibu saya sebagai anak tunggal, walau kenyataannya kakaknya, Bujang, yang diberikan kepada orang lain itu tetap hidup sampai tua dan wafat pada tahun 2003. Paman saya bernama Bujang itu, tidak tinggal di Belitung. Beliau merantau dan tinggal di Pulau Kijang, Kepulauan Riau. Beliau bekerja di sana sebagai teknisi perusahaan bauksit. Saya baru bertemu dengan Bujang, setelah beliau lanjut usianya. Namun tiga anaknya yang tinggal di Tanjung Pandan, saya kenal dengan baik dan cukup akrab dengan saya kakak-beradik. Anak-anak Bujang itu namanya Muslim, Sulaiman dan Topyani. Ketika muda, Muslim itu menjadi jagoan dan preman di Tanjung Pandan. Dia tersohor karena sering berkelahi. Sampai-sampai ada dua polisi dia gebuki hingga babak belur. Salah seorang polisi itu terpaksa dirawat di rumah sakit, karena perutnya luka ditusuk Muslim pakai obeng. Ketika saya masih muda, banyak orang Belitung tidak tahu kalau Muslim sang preman dan jagoan itu adalah saudara sepupu saya. Kalau tahu, bisa-bisa saya disangka preman juga.

Saya berusaha untuk menelusuri asal usul kakek saya Jama Sandon itu dan bertanya ke sana ke mari. Namun riwayat keluarganya misterius dan bahkan bercampur-baur dengan dongeng. Kalau saya perhatikan wajah dan postur tubuh kakek saya itu, beliau tidak nampak seperti postur dan wajah orang Belitung, bahkan orang Indonesia pada umumnya. Nama beliau itupun tidak lazim bagi masyarakat Belitung. Tinggi beliau diatas 170 cm, dengan badan tegap, hidung mancung dan matanya berwarna coklat kebiruan. Ayah beliau, namanya Musa. Hanya itu saja yang diketahui. Tidak ada sanak saudara Musa di Belitung. Dia sebatang kara, sehingga riwayatnya tidak dapat ditelusuri lagi. Keluarga ibu saya mengatakan Musa itu orang Persia atau orang Iran sekarang ini. Benar tidaknya wallahu’alam. Tapi mungkin juga, kalau melihat perawakan dan wajah kakek saya yang nampak seperti orang asing. Isteri Musa itu namanya Muna. Beliau ini lebih misterius lagi, karena beliau dipercayai sebagai putri orang Bunian, makhluk halus sebangsa jin, penghuni hutan belantara.

Syahdan kisahnya, adalah sepasang suami isteri yang tinggal di tepi rimba belantara di pedalaman Belitung, yang sampai usia hampir lanjut tak memperoleh seorang anakpun. Suatu hari ketika hujan deras dan petir menggelegar telah reda, pasangan suami istri itu mendengar suara tangis bayi di belakang rumahnya. Tentu saja mereka heran, mengapa tiba-tiba ada bayi menangis ketika hujan deras telah reda. Mereka segera keluar rumah dan mencari asal suara itu, yang terdengar dari arah rumpun bambu hutan yang sangat besar ukurannya. Salah satu batang bambu itu terbelah, dan di dalam ruas bambu itulah mereka melihat seorang bayi sedang menangis. Di tengah rasa heran bukan kepalang itu, kedua suami isteri itu akhirnya berhasil mengeluarkan bayi dari ruas bambu yang terbelah itu. Bayi itu ternyata perempuan. Mereka membawanya masuk ke dalam rumah.

Ketika bayi Muna sudah di dalam rumah, hujan badai bercampur petir masih berlanjut sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Atas nasehat seorang yang memahami seluk-beluk dunia orang halus di pinggir hutan belantara itu, bayi itu harus ditidurkan di atas dulang tembaga dan diberi kelambu tujuh lapis. Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan Muna agar tidak direbut kembali oleh orang tua asalnya orang Bunian penghuni rimba raya. Tentu berbagai jampi dan berbagai peralatan yang berkaitan dengan dunia mistik disediakan untuk berjaga-jaga, kalau-kalau orang Bunian datang mengamuk. Namun akhirnya semua berlalu dengan selamat. Mungkin berkat jampi-jampi itu, orang Bunian, makhluk halus sebangsa jin itu telah merelakan anak mereka menjelma jadi manusia. Konon Muna mempunyai seorang saudara laki-laki, yang juga menjelma menjadi manusia, namanya Diker (mungkin dari asal kata Dzikir). Saya tidak mendapat banyak informasi, siapa yang mengambil Diker menjadi anak manusia. Kisah selanjutnya tentang Diker tak banyak diketahui masyarakat Gantung. Kisah tentang Muna, kini menjadi semacam legenda dan cerita rakyat di daerah itu.

Muna tumbuh menjadi gadis yang cantik, demikian pula saudaranya Diker. Orang-orang di kampung dan di hutan, konon seringkali bertemu serombongan orang Bunian sedang menyanyi sambil bergantungan di akar-akar yang menjuntai dari pepohonan yang tinggi. Sambil berayun-ayun rombongan jin itu menyanyikan lagu yang menyanjung Muna, sebagai putri sebangsa mereka yang telah menjelma menjadi gadis manusia yang cantik. Mereka juga menyanjung Diker sebagai pemuda tampan, yang asalnya anak jin tetapi telah menjadi manusia. Nyanyian rombongan jin itu rupanya tidak hanya di dalam hutan. Para nelayan yang mendayung perahu di sungai Lenggang, rupanya juga mendengar nyanyian yang sama dari serombongan jin yang bermarkas di terowongan alam di sebuah pulau kecil di tengah sungai. Belakangan pulau kecil itu dijadikan orang Belanda sebagai fondasi untuk menghubungkan dua jembatan yang mengubungkan Manggar dengan daerah-daerah di seberang sungai. Di atas pulau untuk menggantungkan dua jembatan itu dibangun pula rumah besar yang dihuni oleh Tuan van der Hook, Tuan Kongsi Belanda untuk wilayah Gantung. Konon dari pulau itulah lahir nama Gantung, untuk menyebut kota baru yang berdiri di seberang rumah Tuan van der Hook itu.

Mengingat Muna adalah putri jin dan ditemukan di ruas bambu, maka seluruh keluarga kakek saya tidak pernah mau makan rebung, yakni bambu yang masih muda yang sering digulai dengan santan kelapa. Saya masih mendengar perintah kakek saya, Jama Sandon, agar saya dan kakak-kakak saya tidak boleh memakan rebung. Tentu saja kami takut dengan beliau. Keluarga kami juga tidak boleh membakar bambu. Memakan rebung dan menghirup asap bambu akan memberi peluang kepada para jin untuk mengambil kami kembali. Risikonya, bisa-bisa keluarga kami tidak menjadi manusia lagi dan kembali ke asal menjadi keluarga jin. Saya baru berani memakan rebung atas izin ibu saya setelah kakek saya meninggal. Alhamdulillah, sampai sekarang saya tetap jadi manusia, tidak kembali menjadi jin, setelah makan rebung itu. Ayah saya, tidak percaya dengan kisah Muna putri jin itu. Hanya demi menghormati mertua, beliau tak makan rebung dan membakar pohon bambu seperti ibu saya. Seperti saya tuliskan di Bagian I, ayah saya itu selalu berpikir rasional. Paham keagamaannya tergolong kaum modernis yang tidak percaya kepada takhayul dan khurafat. Menurut hipotesis beliau, mungkin saja ada keluarga yang meletakkan bayi di ruas bambu itu. Orang itu tahu kalau kedua suami istri yang tinggal di pinggir hutan itu telah lama mendambakan seorang anak. Tidak mungkin anak jin jadi manusia, demikian kata beliau. Saya sendiri sampai sekarang, belum sepenuhnya dapat memahami riwayat Muna, tuan putri jin yang menjadi ibu kakek saya itu. Ilmu saya, belum sampai ke tingkat itu. Jadi saya, antara percaya dan tidak percaya saja, tanpa perlu bersikap a-priori.

Entah bagaimana ceritanya, setelah dewasa Muna sang putri jin itu menikah dengan Musa, perantau misterius dari Persia itu. Dari perkawinan itu lahirlah kakek saya Jama Sandon sekitar tahun 1884. Saudara-saudaranya yang lain bernama Saad, Taib, Mela, dan Sakyot. Seluruh anggota keluarga ini awalnya menetap di pinggir hutan di daerah Gantung, tetapi ketika telah dewasa anak-anaknya berpindah juga ke tempat lain. Ketika kakek saya masih kecil, beliau ingin sekali bersekolah. Namun di Gantung, pada akhir abad ke 19, belum ada satupun sekolah. Kakek saya dan kakaknya Saad, terpaksa bersekolah di Tanjung Pandan. Jarak dari Gantung ke Tanjung Pandan mungkin sekitar 140 km, setelah ada jalan yang dibuat oleh Belanda. Di zaman kakek saya bersekolah itu belum ada jalan raya. Mereka pergi ke Tanjung Pandan berjalan kaki melewati hutan selama sehari semalam. Jika malam tiba, mereka beristirahat di Bukit Genting Apit, yang dipercaya masyarakat banyak hantu, limpai (sebangsa binatang siluman) dan sebayak (hantu yang bisa berubah jadi manusia dan berkelakuan aneh). Merekapun bersekolah pada sebuah sekolah yang namanya Sekolah Raja atau disebut juga Sekolah Melayu. Kalau liburan tiba, mereka berjalan melintasi hutan lagi untuk pulang ke rumah orang tuanya di Gantung.

Sekolah Raja itu menggunakan Bahasa Melayu menggunakan huruf Arab dan huruf Latin. Saya masih menyaksikan tulisan tangan kakek saya sangatlah bagus dan rapi. Kebiasaan seperti itu diperolehnya di Sekolah Raja. Konon gurunya akan marah besar jika murid-murid menulis dengan jelek. Setelah menamatkan sekolah raja itu, kakek saya masih melanjutkan pendidikan ke sekolah tehnik. Beliau belajar mengenai permesinan, sehingga di kampung beliau tersohor sebagai ahli bubut yang pakar membuat sukucadang berbagai jenis mesin. Seperti saya ceritakan di Bagian I, kakaknya yang bernama Saad sempat menjadi marinir Belanda, walau akhirnya berubah profesi jadi nakhoda. Karena kepiawaiannya membubut itu, kakek saya sering ikut orang Belanda bekerja berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Beliau pergi bekerja sambil merantau dengan temannya yang bernama Sidik, ayah dari Alwi, pemilik rumah besar di Numpang Empat. Alwi dikenal sebagai orang kaya di Manggar zaman dahulu.

Kakek saya bercerita mula-mula merantau ke Betawi, mungkin sekitar tahun 1905. Beliau tinggal di Meester Cornelijs, katanya kepada saya. Belakangan saya baru tahu, kalau Meester Cornelijs itu adalah daerah Jatinegara sekarang ini. Beliau juga pernah menempati rumah yang agak besar ukurannya di dekat Stasiun Manggarai. Rumah itu adalah rumah dinas Jawatan Kereta Api Belanda. Kakek saya rupanya diajak ke Betawi untuk memasang peralatan mesin kereta api di Stasiun Jatinegara dan Manggarai. Beliau juga ikut memasang derek pintu air Jembatan Manggarai sekitar tahun 1916. Ketika saya SMP beliau menggambar pintu air Manggarai itu, yang menurut beliau terdiri dari atas tiga bagian, yakni aliran sungai, jalan mobil dan orang serta jalan kereta api diatasnya. Jauh di belakang hari ketika saya telah pindah ke Jakarta, saya melihat jembatan Manggarai itu. Rupanya kakek saya tidak ngawur, jembatan Manggarai yang saya saksikan itu persis sama dengan yang beliau gambar. Pekerjaan memasang mesin dan membubut berbagai peralatan kereta api itu dilakukannya dari Jakarta, Bandung, Semarang, Puwokerto, Surabaya dan Malang, dan juga kota-kota lain yang saya sudah tidak ingat lagi. Cerita beliau memasang rel dan membangun stasiun kereta api terlalu panjang dan detil.

Jama Sandon juga bercerita bahwa beberapa tahun beliau tinggal di Bandung sesudah tahun 1920. Tugas beliau di sana adalah memasang peralatan mesin pabrik kina, obat penyembuh penyakit malaria. Karena kepiawaiannya membubut dengan mesin-mesin modern itu, suatu ketika kakek saya diajak orang Belanda untuk menjadi instruktur — beliau menyebutnya menjadi “mandor”– di Technische Hoogeshcool guna mengajari mahasiswa praktik kerja. Baru belakangan saya tahu bahwa sekolah yang disebut kakek saya itu adalah Institut Teknologi Bandung sekarang ini. Entah apa sebabnya pada pertengahan tahun 1920an itu, kakek saya kembali lagi ke Belitung. Orang Belanda nampaknya membutuhkan tenaganya untuk bekerja di Bengkel Bubut NV GMB, untuk membuat berbagai suku cadang mesin dan kapal keruk untuk menambang timah. Menurut ibu saya, kakek saya pernah berencana untuk pindah ke Kuching di Serawak. Ada orang Inggris yang menawarkan beliau kerja di sana. Tetapi beliau akhirnya tidak jadi pindah ke Serawak itu, karena ada isyu sebentar lagi akan ada perang besar. Orang Jepang akan menyerang Hindia Belanda dan Malaya.

IMG_0005

Sambil bekerja kakek saya juga mengajar di Sekolah Teknik atau Ambach School yang dibuka Belanda tahun 1928 (lihat gambar bagian depan Gedung Ambach School). Letak sekolah itu tidak jauh di belakang rumah kami, dan masih ada sampai sekarang. Beliau bekerja di bengkel bubut itu sampai tua sampai pensiun di awal tahun 1960. Seingat saya, meskipun sudah pensiun, beliau masih terus bekerja di tempat itu. Kepiawaiannya membubut, mungkin belum tergantikan orang lain. Menurut nenek saya, gaji kakek saya di bengkel bubut di zaman Belanda itu 75 gulden setiap bulan, ditambah dengan beras sepikul dan segala macam keperluan makan-minum. Di zaman itu, keluarga biasa cukup makan dengan satu ketip (sepuluh sen) satu hari. Jadi, dilihat dari rata-rata orang di kampung, kakek saya itu sudah tergolong orang berada.

Meskipun sudah kembali ke Belitung, sekitar tahun 1926 kakek saya beserta nenek saya Hadiah sempat ditugaskan di Kampung Siabu, dekat kota Bangkinang, Provinsi Riau sekarang ini. Di sana lagi-lagi kakek saya bertugas memasang mesin-mesin, karena Belanda akan membuka tambang timah yang baru. Nenek saya tentu bahagia tinggal di Siabu, karena di Bangkinang ada sanak familinya yang berasal dari daerah Payakumbuh di Sumatera Barat sekarang ini. Ibu dari nenek saya, namanya Denyap, berasal dari Minangkabau dan menetap di Belitung. Karena itu, kalau ada orang Minangkabau datang ke Belitung, mereka selalu mencari nenek saya itu. Sebagaimana telah saya jelaskan di awal tulisan bagian kedua, masyarakat Minangkabau menganut sistem kekeluargaan matrilineal. Jadi saya, menurut garis matrilinealdari ibu dan nenek, saya adalah orang Minangkabau. Banyak orang yang bertanya tentang hal ini, khususnya ketika saya diangkat menjadi datuk oleh sanak-keluarga Minangkabau. Sebutan Datuk Maharajo Palinduang itu, bukanlah pemberian, melainkan datuk pusako, yang diangkat berdasarkan pertalian darah. Meskipun ada darah Minangkabau, namun secara kultural saya merasa lebih dekat dengan budaya dan adat istiadat Melayu.

Saya kembali ke kisah tentang kakek saya. Di masa muda kakek saya itu gemar sekali bermain sepak bola. Beliau selalu menjadi kapten kesebelasan, yang pemainnya juga kebanyakan orang Belanda. Beliau bangga sekali menunjukkan sebuah medali, yang katanya diperoleh di Betawi dalam kompetisi sepak bola Hindia Belanda, entah tahun berapa. Foto kakek saya berseragam sepak bola masih disimpan ibu saya di Belitung. Foto itu mungkin diambil sebelum tahun 1920. Kakek saya mengatakan, beliau bermain bola itu menggunakan sejenis ilmu gaib. Kakinya digosok dengan minyak yang diberi jampi-jampi. Setelah itu kakinya ditendang-tendangkan ke pohon pinang. Dengan jampi-jampi itu tendangan beliau cukup handal. Sebagai kapten kesebelasan beliau tentu sering mencetak gol.

Suatu hari beliau bercerita kepada saya, beliau menendangkan bola itu dari tengah lapangan dan langsung menuju gawang, tanpa keeper dapat menangkap bola itu, dan gol. Benar tidaknya wallahu’alam. Hobi kakek saya bermain sepak bola itu, dialihkan pada kesukaannya menonton pertandingan sepak bola, ketika beliau berhenti sebagai pemain. Setiap ada pertandingan sepak bola di Padang Uni di kota Manggar, kakek saya selalu datang menonton. Bahkan ketika usianya sudah di atas 90 tahun, beliau masih nongkrong di depan televisi nonton sepak bola. Sebelum itu beliau hanya mendengar siaran radio yang meliput pertandingan sepak bola di Jakarta. Suatu hari beliau bilang kepada saya minta dibelikan televisi berwarna. Televisi milik beliau, berwarna hitam putih menyebabkan beliau susah membedakan kedua kesebelasan yang sedang bertanding. Benar juga. Karena usia beliau sudah sangat tua dan menonton sampai larut malam, tidak jarang beliau tertidur ketika menonton sepak bola di televisi. Rokoknya yang khas, yakni gulungan tembakau shag yang beliau sebut tembakau warning, sudah padam dimulutnya.

Menurut penuturan ibu saya, di masa muda kakek saya gemar bermain drama klasik. Peran yang paling disukainya ialah melakonkan Raja Jin dengan kostum yang nampak menyeramkan. Beliau kadang-kadang juga membaca syair. Syair yang paling disukainya ialah Syair Hari Kiamat, yang sering beliau baca ketika usianya mulai senja. Mungkin karena sudah tua kakek saya mulai menyadari kematian yang suatu saat pasti akan tiba. Syai’r Hari Kiamat memang berisi banyak nasehat, agar manususia tidak terlalu terlena dengan dunia fana. Hidup yang sesungguhnya dan hidup yang kekal adalah kehidupan akhirat. Kakek saya itu bukan tergolong orang yang taat beragama di masa mudanya. Menurut ibu saya, kelakuan kakek saya itu sama saja seperti kakaknya Haji Saad. Mereka tergolong kelompok setengah preman dan tingkah lakunya nampak garang, eksentrik dan sering tanpa kompromi. Namun ketika telah tua, kakek saya mulai sedikit demi sedikit menjalankan perintah agama.

Suatu ketika di tahun 1966, kakek saya ingin menunaikan ibadah haji bersama nenek saya. Kami agak heran, karena kakek saya itu hanya kadang-kadang sembahyang lima waktu dan kadang-kadang tidak. Uang beliau punya. Emas berlian kepunyaan nenek saya cukup banyak pula. Namun di tahun 1960-an itu, calon jemaah haji harus diundi dulu mengingat daya tampung Kapal Arafat yang mengangkut jemaah haji sangat terbatas. Tiga tahun berturut-turut beliau ikut undian, namun selalu gagal. Mungkin karena jengkel — mengingat beliau agak bringasan — beliau tidak mau lagi ikut undian tahun berikutnya. Beliau bilang kepada saya, pegawai yang mengundi calon jemaah itu brengsek semuanya. Uang persediaan untuk pergi haji bersama nenek saya itu, kemudian beliau gunakan untuk berdagang. Tetangga kami, namanya Nek Siti, sampai mengalami stress berat disebabkan selalu gagal dalam undian pergi haji. Suami Nek Siti, namanya Merdin, adalah seorang saudagar asal Punjab, India.

Menurut cerita Taib, adik kandung kakek saya, kakek saya itu di masa mudanya sering terlibat perkelahian. Saya tidak sempat bertanya apa masalahnya beliau terlibat perkelahian itu. Dugaan saya, beliau terlibat perkelahian itu setelah kalah bermain judi. Saya dengar, kakek saya di masa muda memang suka taruhan bermain ceki dan bermain macok. Sebagian teman-temannya bermain judi itu orang Cina. Beberapa di antara orang Cina itu saya kenal, ketika mereka sudah tua. Saya juga pernah mendengar cerita ibu saya bahwa suatu hari kakek saya babak belur dipukuli orang dengan kayu, sehingga kepalanya retak dan dibawa ke rumah sakit Belanda. Kakek saya konon sedang naik sepeda ketika pulang kerja, dan tiba-tiba disebelahnya ada orang yang mengendarai sepeda dengan cepat, dan memukul kepalanya dengan kayu sehingga terjatuh. Ketika jatuh, kepala kakek saya masih terus dipukul dengan kayu tadi hingga retak. Ibu saya mengatakan, peristiwa itu terjadi tahun 1933, ketika ibu saya berusia empat tahun. Beliau menunggui kakek saya yang pingsan dan dirawat dokter Belanda dan kepalanya diberi es balok. Ibu saya menyangka kakek saya akan mati. Rupanya tidak. Kepala kakek saya dijahit oleh dokter Belanda itu dan berbekas sampai beliau tua.

Orang yang memukul kakek saya itu ternyata orang Cina pembunuh bayaran. Kakek saya tidak mengenal orang itu. Tetapi dia salah sasaran, karena target yang harus dibunuh rupanya bukan kakek saya. Pembunuh bayaran itu ditangkap. Kakek saya dijadikan saksi korban di sidang Landrad (Pengadilan Negeri zaman Belanda) di Tanjung Pandan. Ibu saya, walau berusia empat tahun, masih ingat sidang di Landrad itu. Pembunuh bayaran itu dihukum penjara oleh hakim orang Belanda. Ibu saya mengatakan mereka hadir di pengadilan itu yang jaraknya sekitar 90 km dari Manggar, naik mobil polisi Belanda. Tetapi polisinya orang Jawa. Sidangnya hanya satu kali, palu langsung diketok dan terdakwa dinyatakan terbukti bersalah. Pembunuh bayaran itu, kata ibu saya “masuk rumah tutupan”. Ibu saya selalu menyebut penjara dengan istilah itu.

Kakek saya yang hidup santai di zaman Belanda, mulai panik ketika tentara Jepang mendarat di tanah air. Sebagaimana orang-orang lain, beliau, nenek saya dan ibu saya yang baru berumur dua belas tahun masuk hutan dan membuka ladang. Kakek saya dan keluarga berladang di hutan daerah Gantung, tempat beliau berasal. Namun tidak lama beliau berladang, tentara Jepang datang mencarinya. Mula-mula beliau mengira akan ditangkap, tetapi ternyata dipanggil untuk membuka kembali bengkel bubut yang sempat tutup karena ditinggalkan orang Belanda. Kakek saya rupanya harus bekerja membuat berbagai suku cadang untuk keperluan militer, termasuk membuat kerangka pesawat terbang yang ukurannya kecil. Kerangka itu dibuat dari bahan alumunium.

Kakek saya tidak tahu akan diapakan kerangka pesawat kecil itu. Karena begitu selesai, kerangka itu di bawa tentara Jepang ke Singapura. Beliau hanya membuatnya saja berdasarkan gambar yang diberikan teknisi militer Jepang. Sungguhpun beliau bekerja di bawah perintah tentara Jepang, beliau mengatakan kepada saya orang Jepang itu sebenarnya sangat bodoh. Saya agak heran mendengarnya. Kebodohan orang Jepang itu antara lain, menurut beliau, ketidaktahuannya bahwa waktu di bumi ini berbeda-beda. Meskipun mereka berada di Asia Tenggara, namun waktu yang mereka pakai adalah waktu Tokyo. Kakek saya sempat marah karena harus masuk bengkel pukul lima pagi, ketika hari masih gelap. Jadi beliau harus mengayuh sepeda pukul empat pagi dari rumahnya. Tetapi orang Jepang tidak perduli dengan protes beliau. Mereka bilang di Tokyo sudah pukul tujuh. Sudah bekerja setengah mati kata beliau, kadang-kadang tidak dibayar sama orang Jepang. Kejengkelan kakek saya kepada orang Jepang, berlangsung terus sampai beliau tua. Orang Jepang itu, kata kakek saya, hanya membuat orang jadi sengsara saja. Mereka brengsek semuanya. Belanda, kata kakek saya, lebih bagus.

Kemarahan kakek saya makin bertambah, karena suatu hari beliau dan beberapa temannya ditangkap dan ditahan militer Jepang. Tentu saja beliau marah karena apa yang diminta orang Jepang untuk dikerjakan, semuanya telah beliau penuhi. Beberapa temannya yang ditangkap itu ternyata tidak pernah kembali. Mereka menduga satu demi satu mereka ditembak karena khawatir dengan keahlian mereka membuat berbagai peralatan militer. Kakek saya tinggal berdua dengan temannya yang namanya Unus. Istri Unus itu orang Belanda. Beliau ini tinggal di depan rumah kakek saya di Kampung Lalang. Namun anehnya, tiba-tiba mereka berdua dilepaskan. Tentara Jepang bilang, perang sudah selesai, mereka menyerah sama Amerika. Kakek saya dan Unus pun pulang ke rumah. Di zaman NICA (Netherlands Indisce Civil Administration), kakek saya kembali bekerja di Bengkel Bubut Lipat Kajang seperti semula. Kakek saya itu selama hidupnya tidak perduli dengan politik. Beliau hanya bekerja dan berpikir sebagai ahli teknik saja.

Sebab itu, kakek saya Jama Sandon, samasekali tidak mau ikut dalam pergerakan. Beliau bahkan tidak pernah mau menjadi anggota serikat buruh pertambangan timah. Namun, kakek saya itu sangat anti komunis. Beliau mengatakan orang Komunis itu orang gila. Lambang Palu Arit itu menurut beliau adalah lambang tukang bunuh orang. Mula-mula leher orang diarit dan kemudian ditukul (dipalu) dengan palunya. Ketika saya muda, saya menjadi anggota Pemuda Muslimin. Kakek saya bertanya, organisasi apa itu. Saya bilang Pemuda Muslimin itu berada di bawah PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). Kakek saya bilang apa itu PSII. Ketika saya jelaskan beliau tidak mau menerima. Pokoknya kalau partai ada “I” diujungnya, kata beliau, semua itu PKI. Tentu saja saya katakan bahwa PSII itu bukan PKI, tetapi kakek saya tidak perduli. Waktu Pemilu tahun 1971, kakek saya bertanya kepada ibu saya, akan pilih partai mana. Ibu saya bilang pilih Parmusi. Kakek saya sekali lagi bertanya, apa Parmusi itu PKI juga. Ibu saya bilang, PKI sudah lama bubar. Parmusi itu pengganti Masyumi. Maka kakek saya pilih Parmusi. Kalau Masyumi, kakek saya tahu. Sebab dalam Pemilu tahun 1955, ayah dan ibu saya berkampanye untuk Masyumi. Kakek saya hanya tahu Masyumi itu anti PKI. Selebihnya beliau tak mengerti apa-apa.

Semenjak saya lahir dan bergaul akrab dengan kakek saya Jama Sandon itu, beliau tidak pernah pindah rumah. Rumah beliau – seperti nanti akan saya ceritakan di bagian selanjutnya dari kenang-kenangan ini – terletak di Jalan Kartini No. 56, Kampung Lalang, Manggar. Dari saya kecil sampai sekarang normor rumah itu tidak pernah berubah. Lahan yang ditempati kakek saya itu sebenarnya adalah tanah warisan nenek saya dari orang tuanya yang bernama Kedip. Orang tua beliau yang bernama Kedip itu berasal dari Kampung Sijuk. Ibu beliau yang bernama Denyap, seperti telah saya jelaskan, seorang wanita keturunan Minangkabau dari daerah Payakumbuh. Nenek saya itu berperawakan kecil. Walau sudah tua, beliau selalu berdandan dengan rapi, walau hanya di rumah. Rambutnya selalu disanggul dan dihiasi bunga melati atau bunga kenanga. Masih nampak di wajahnya, kalau nenek saya itu cantik di masa mudanya. Saya sering mendengarkan nenek saya bercerita tentang banyak hal, terutama ketika kecil beliau belajar agama. Beliau sering mengulangi kata-kata gurunya yang penuh hikmat. Nama gurunya itu menurut beliau, Haji Sahal, berasal dari Pulau Bawean di Jawa Timur.

Ketika muda, nenek saya sering merantau ke daerah-daerah lain, sampai ke Singapura dan Malaysia. Nampak sekali beliau itu masih berdarah Minangkabau, sebab orang Belitung asli jarang sekali merantau ke daerah lain. Ceritanya merantau itu lucu-lucu, karena beliau tidak pandai membaca huruf Latin. Di Singapura tahun 1920-an, nenek saya masih mengalami naik gerobak yang ditarik orang Cina berambut panjang dan dikuncir. Penarik gerobak itu berlari melarikan gerobak yang dinaiki dua penumpang. Nenek saya bercerita, di zaman dahulu katanya di Belitung ada jaringan trem yang dibangun oleh orang Belanda. Beliau sering naik trem bersama ibu saya yang masih kecil pergi ke Pasar Lipat Kajang. Ketika saya kecil, saya masih menyaksikan rel-rel bekas trem zaman Belanda itu. Pernah pula saya melihat sebuah rongsokan trem zaman Belanda yang di simpan di bengkel listrik kepunyaan PN Timah. Sayang, trem-trem itu tidak beroperasi lagi di zaman merdeka.

Kaum kerabat nenek saya Hadiah, nampaknya tidak banyak di Belitung. Nama saudara-saudara kandungnya yang masih saya ingat ialah Mustafa, Musa, Sudin dan Ismail. Hanya dua nama yang terakhir ini saja yang saya pernah bertemu. Sudin tinggal di Kampung Lalang bagian bawah yang didepan rumahnya ada pohon kelapa sawit yang tinggi menjulang. Kami menyebut pohon kelapa sawit itu “kabong minyak”. Pekerjaan Sudin adalah membuat sero dan membuat berbagai kerajinan tangan dari rotan, bambu dan resaman. Beliau juga membuat atap rumah dari daun sagu yang banyak tumbuh di belakang rumahnya. Walaupun di waktu kecil saya sering bermain di depan rumahnya, Sudin itu orangnya tak banyak bicara. Beliau sibuk meraut rotan saja ketika kami bermain. Suatu hal yang membuat saya agak heran dengan beliau itu, karena beliau tak pernah nampak menegerjakan sembahyang Jum’at di mesjid. Saya pernah menanyakan hal itu kepada ayah saya. Saya baru mengerti kalau Sudin itu menekuni banyak ilmu ghaib, sehingga banyak orang datang berdukun kepadanya.

Ayah saya mengatakan Sudin itu bersahabat dengan hantu-hantu, karena itu dia tak banyak mengerjakan suruhan agama. Saya memang pernah disuruh nenek saya meminta “jampi” kepada kakaknya itu ketika beliau sakit. Sudin menyuruh saya membawa pulang sebotol air, kunyit yang diberi kapur sirih dan pinang muda dibelah dua, untuk diserahkan kepada nenek saya. Saya melihat Sudin komat-kamit membaca mantra. Saya tidak tahu apa yang dibacanya. Namun nenek saya sembuh dari sakitnya. Apakah nenek saya itu sembuh karena jampi-jampi yang dibacakan Sudin, saya tidak tahu. Nenek saya itu seumur hidup tidak mau berobat ke rumah sakit. Beliau nampak takut dengan ilmu kedoktern modern. Beliau hanya mau minum obat yang diberikan oleh seorang mantri tetangga kami, namanya Mohamad Zain. Orang memanggil beliau itu Pak Bagong. Setahu saya, Sudin, saudara nenek saya itu, tidak mempunyai anak. Beliau mengangkat anak orang lain yang dipeliharanya sejak kecil. Namanya Hamim. Waktu kecil saya sering bermain sepak bola di halaman rumah Sudin bersama anak-anak Hamim. Sudin meninggal sekitar tahun 1965. Saya ingat kami datang ke rumah duka membawa beras untuk melayat.

Ismail, saudara nenek saya yang saya yang paling bungsu tinggal tidak seberapa jauh dari rumah Sudin. Rumahnya terbuat dari kulit kayu di dekat kebun nipah. Saya tidak ingat apa pekerjaan Ismail itu. Kehidupan beliau nampak sangat miskin. Dua anaknya saya kenal bernama Wahid dan Hanan. Hanan ini sering sakit-sakitan, nampaknya menderita asma. Isteri Ismail itu orang Bangka. Saya ingat logat bicaranya yang terdengar aneh di telinga saya. Bahasa Belitung dengan bahasa Bangka memang berbeda, walau kedua pulau itu berdekatan. Beliau sering mampir ke rumah nenek saya sehabis membawa Hanan pergi ke rumah sakit. Ismail meninggal ketika saya masih kecil sekali. Mungkin saya baru berumur lima tahun. Saya ingat ketika Ismail meninggal, jenazahnya dimakamkan di pekuburan Kampung Lalang, di dekat rumah nenek saya.Saudara-saudara nenek saya yang lain, tidak ada yang saya kenal. Mustafa dan Musa sudah meninggal di zaman Belanda. Satu-satunya anak Musa yang saya kenal, namanya Gudud. Dia bekerja menjadi Satpam. Saya mendengar, sebagian sanak-saudara nekek saya ada di Kampung Aik Selumar di dekat Sijuk. Namun saya belum pernah berjumpa dengan mereka.

Sifat nenek saya nampak berbeda jauh dengan kakek saya. Nenek saya itu sungguh sabar, sangat ramah dan tutur katanya perlahan dan selalu memberikan nasehat. Beliau nampak sebagai orang tua yang bijaksana, walau seumur hidupnya nenek saya itu tidak pernah bersekolah formal. Beliau membaca dan menulis huruf Arab. Beliau itu termasuk orang yang murah hati, karena tidak pernah henti-hentinya bersedekah membantu orang lain. Beliau mengatakan rejeki itu datang dari Tuhan dan Tuhan itu Maha Kaya. Makin banyak rejeki yang dibagi-bagikan kepada orang lain, maka akan makin banyak pula rejeki yang datang. Kami cucu-cucunya selalu diberi uang oleh beliau. Nenek juga selalu menasehati kami agar sabar saja, karena kakek kami Jama Sandon, orangnya agak bringasan. Namun kakek, kata nenek saya, sesungguhnya adalah orang yang baik hati. Saya kira nenek saya benar. Kakek saya itu pekerja keras dan wataknyapun keras pula. Beliaupun juga sering membantu orang lain yang susah, walau tidak sebanyak nenek saya.

Betapa kerasnya watak kakek saya itu dapat saya critakan sebagai berikut. Pernah suatu ketika saya menyaksikan ada seorang nelayan namanya Batjo, datang memesan pancing ikan tenggiri kepada kakek saya dalam jumlah yang besar. Kakek saya dengan senang hati membuatkan pancing itu. Beberapa hari kemudian Batjo datang ingin mengambil pesanannya. Mungkin pesanannya itu tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Batjo marah dan kakek saya pun marah. Mereka adu mulut. Tiba-tiba Batjo mencabut sebilah pisau dari pinggangnya. Kakek saya yang sedang duduk, dengan sigap menarik parang panjang di bawah meja tempat beliau mengikir pancing itu. Maka dengan cepat parang itu ditebaskan ke leher Batjo. Untung Batjo cepat merunduk. Kalau tidak, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Saya tahu parang panjang yang sangat tajam itu buatan kakek saya sendiri. Batjo kemudian lari tunggang langgang. Saya yang masih kecil dan menyaksikan peristiwa kakek saya menebas leher Batjo itu, sungguh ketakutan luar biasa. Dalam hati saya hanya mengatakan, ganas benar kakek saya itu. Kakak saya yang perempuan pernah mengatakan bahwa kakek kami itu “orangnya sadis”. Saya hanya tertawa saja. Saya hanya bilang, tidak heran karena beliau itu keturunan jin. Tapi kakak saya bilang, kalau begitu kita juga keturunan jin.

Sejak kejadian itu Batjo tidak berani lagi datang ke rumah kakek saya. Di kalangan nelayan Bugis, Batjo memang dikenal sebagai jagoan. Rambutnya gondrong dan sorot matanya tajam. Ketika kecil kira-kira umur enam tahun, saya pernah melihat Batjo berkelahi dengan nelayan lain asal Bawean, namanya Meka. Mereka berkelahi di tepi laut sehabis mereka pergi memancing. Tindak ada yang berani melerai. Untung datang Daeng Semaong, Lurah Kampung Lalang, yang sangat disegani semua orang Bugis di kampung kami. Saya mendengar Daeng Semaong memarahi Batjo. Tetapi saya tidak mengerti apa yang dikatakannya, sebab Daeng Semaong menggunakan bahasa Bugis. Hanya empat kata yang diucapkan Daeng Semaong yang saya mengerti, katanya “bikin malu orang Bugis”.Batjo duduk bersimpuh di atas pasir laut seperti pesakitan dimarahi Daeng Semaon. Kalau saya membayangkan wajah Daeng Semaong itu, hati saya terasa lucu. Beliau itu perawakannya tinggi besar. Beliau selalu memakai stelen baju dan celana warna putih dan memakai topi putih model topi Kontroluer Belanda.

Meskipun Batjo tak pernah datang lagi ke rumah kakek saya, namun sesekali saya melihat isterinya, namanya Yem, datang menjual ikan kepada nenek saya dan nenek saya membelinya. Mungkin Yem tidak tahu suaminya pernah mau ditebas lehernya sama kakek saya, sebab dia berjualan ikan ke rumah kakek saya biasa-biasa saja, seperti tidak ada peristiwa mengerikan pernah terjadi. Ibu Yem itu, namanya Nek Hana. Beliau selalu berjualan cendol di pinggir pantai. Saya sering diberi cendol dan minum gratis di warungnya, kalau saya ada di pantai itu.

Sungguhpun kakek saya berwatak keras, namun beliau sangat baik dengan saudara-saudara dan keponakannya. Kebaikan kakek saya kepada kami cucu-cucunya, sungguh luar biasa. Ayah saya seperti telah saya ceritakan di Bagian II hidup miskin. Kakek sayalah yang banyak membiayai cucu-cucunya, termasuk membeli pakaian ketika menjelang lebaran. Kepada saya, kakek saya selalu memberikan nasehat agar saya menjadi orang baik. Saya ingat ketika saya kelas II SMA kakek saya mengatakan, bahwa suatu ketika saya akan jadi “orang besar”. Beliau menantap wajah saya dalam-dalam. Mungkin ada sedikit kemiripan wajah saya dengan beliau. Tetapi beliau mengatakan watak saya lebih mengikuti watak ayah saya, daripada watak beliau yang rada-rada aneh dan nampak seperti preman itu.

Saya hanya mengatakan kepada kakek saya, bahwa hidup ayah saya sangat miskin. Beliau nampak merenung dan berkata, ayah kamu itu orang terpandang dan disegani di daerah ini, walau hidupnya miskin. Apa gunanya jadi orang kaya, jika diremehkan dan dicemooh. Kakek mengatakan kepada saya agar jangan takut dengan kemiskinan. Beliau mendorong saya untuk pergi merantau, jika saya tamat SMA. Kamu tidak akan pernah jadi orang besar, jika kamu tinggal di Belitung selamanya. Demikian katanya. Nenek saya juga berkata “Kalau tidak berani menyeberang lautan, takkan pernah mendapatkan tanah tepi”. Sampai sekarang, saya terus mengingat apa yang beliau berdua katakan kepada saya.

Ketika saya sudah kuliah di Jakarta dan pulang ke kampung ketika liburan, kakek saya bertanya kepada saya, sekolah apa saya di Jakarta. Saya bilang, saya sekolah di Fakultas Hukum. Kakek saya nampak kaget. Beliau bilang, jadi nanti kamu akan jadi Mester in de Rechten (sarjana hukum). Saya katakan ya, kalau nanti saya sudah tamat. Kakek saya bilang, tidak apa-apa, kamu boleh jadi apa saja, asal jangan jadi polisi, jadi jaksa dan jadi sipir. Ketiga jenis pekerjaan itu, kata kakek saya, tidak bagus, karena selalu “berteman” dengan penjahat. Saya tidak ingin berpanjang kalam menjelaskan ketiga jenis pekerjaan itu kepada kakek saya. Saya tahu, hasilnya akan sia-sia, beliau tidak akan perduli. Kakek saya masih hidup, ketika saya menerima gelar sarjana hukum di tahun 1982. Beliau bertanya apakah saya akan jadi hakim. Saya bilang tidak. Hakim itu “teman” penjahat juga. Kakek saya tertawa.Benar juga, katanya.

Saya ingin menyudahi kisah tentang keluarga kakek dan nenek saya dari pihak ibu sampai di sini. Kisah selanjutnya, akan saya tulis di Bagian IV yang antara lain juga akan mengisahkan pergaulan saya dengan kakek dan nenek saya, Jama Sandon dan Hadiah itu. Ketika saya mulai tua seperti sekarang, saya sering bergurau dengan adik-adik saya. Kita ini, dari garis ayah adalah keturunan bangsawan dan ulama. Namun dari garis ibu, kita ini keturunan jin dan keturunan orang setengah preman. Apa boleh buat, semua itu takdir Allah Ta’ala yang harus kita terima. Ketika akan lahir ke dunia fana ini, kita tidak diberi kesempatan memilih untuk menjadi keturunan siapa. Namun, kita dapat belajar dari generasi sebelumnya. Apa yang baik, marilah kita teruskan. Apa yang buruk, marilah kita tinggalkan. Kita berdo’a ke hadirat Allah Ta’ala, mudah-mudahan kita tetap menjadi orang baik sepanjang hayat.

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian IV)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Sebelum saya melanjutkan kisah kenang-kenangan hidup di masa kecil, saya merasa perlu untuk menjelaskan setting sosial masyarakat Belitung lebih dahulu. Pemahaman terhadap setting sosial ini sangat penting untuk memahami latar belakang kehidupan IMG_0004saya di masa kecil, dan pergaulan serta pergulatan kehidupan saya dengan masyarakat sekitar. Apa yang saya gambarkan ini seluruhnya didasarkan atas osbervasi dan pengalaman empiris saya yang terjadi di masa lalu. Pada bagian-bagian tertentu, saya mendiskusikannya dengan kakak dan adik saya. Observasi dan pengalaman empiris itu saya diskripsikan dan sekaligus saya analisis berdasarkan perspektif ilmu-ilmu sosial dari masa sekarang. Tentu hasilnya masih jauh dari sempurna. Saya mencoba mendekati masalah ini dengan menggabungkan pendekatan sejarah dan antropologi. Mudah-mudahan deskripsi dan analisis ini tidak melenceng dari realitas yang sesungguhnya ada dalam kehidupan masyarakat Belitung antara tahun 1961-1975.

Saya lahir dan menetap di Belitung selama sembilan belas tahun. Ketika itu Belitung hanya terdiri dari satu kabupaten — yakni Kabupaten Belitung–dengan Tanjung Pandan sebagai ibukotanya. Kabupaten Belitung terdiri atas tiga kecamatan, yakni Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Manggar, Kecamatan Gantung dan Kecamatan Membalong. Kabupaten Belitung berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang. Di zaman kolonial, Belitung bersama-sama dengan Bangka, pulau di sebelahnya, adalah suatu keresidenan.Residen Bangka Belitung beribukotakan Pangkal Pinang. Di Belitung ada seorang Asisten Residen berkedudukan di Tanjung Pandan. Di zaman kolonial, Belitung dibagi ke dalam beberapa wilayah setingkat kecamatan di masa sekarang, yang dipimpin oleh seorang Demang. Asisten Residen dijabat orang Belanda. Namun para demang dijabat oleh orang pribumi bergelar Ki Agus,yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan yang diwarisi dari Kesultanan Palembang di masa lalu. Belitung pernah menjadi koloni Inggris pada awal abad 19, bersamaan dengan Bencoolen atau Bengkulu sekarang ini. Namun pada tahun 1816, Belanda menukar Belitung dengan Singapura, berdasarkan perjanjian kedua negara. Sejak itu, Belanda menguasai Belitung dan Inggris menguasai Singapura.

Di zaman kemerdekaan, sebagaimana daerah-daerah lain, Belitung otomatis menjadi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1949, Bangka Belitung pernah menjadi “satuan negara yang berdiri sendiri” sebagai salah satu dari 16 negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah kita kembali lagi ke susunan negara kesatuan pada tahun 1950, Belitung menjadi kabupaten di bawah Provinsi Sumatra Selatan. Sejak tahun 1956, masyarakat Bangka Belitung memperjuangkan pembentukan provinsi sendiri, terlepas dari Sumatera Selatan. Perjuangan itu memakan waktu yang cukup panjang, setelah semua bekas keresidenan di Sumatera bagian Selatan menjadi provinsi tersendiri, yakni Keresidenan Palembang (Sumatera Selatan), Lampung, Jambi dan Bengkulu. Upaya itu baru terujud tahun 2000 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Banten. Sejak itu Pulau Belitung dibagi menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Belitung beribukotakan Tanjung Pandan, dan Kabupaten Belitung Timur dengan Manggar sebagai ibukotanya. Pemekaran kabupaten ini diikuti pula oleh pemekaran kecamatan dan desa. Kota tempat saya lahir dan dibesarkan, yang semula hanyalah kota kecamatan, kini telah berubah menjadi ibukota kabupaten.

Saya tidak dapat mengetahui dengan pasti sejak kapan Pulau Belitung itu dihuni manusia. Kebanyakan orang Belitung, termasuk saya sendiri, kalau diurut silsilahnya, maka pada generasi keempat diatasnya, kebanyakan adalah kaum pendatang. Penduduk Belitung membagi dirinya dalam dua kelompok, pertama kelompok mayoritas yang dari sudut budaya dan bahasa dapat dikelompokkan sebagaiIMG_0003 orang Melayu. Kesamaan kultural dengan masyarakat Melayu Riau dan Johor di Semenanjung Malaya, sangat terasa. Kelompok kedua, yang lebih sedikit jumlahnya adalah kelompok Suku Lalut atau suku Sawang, yang mendiami daerah pantai. Postur tubuh dan wajah kedua kelompok ini sangat kentara. Suku Laut mempunyai postur tubuh yang lebih besar, lebih kekar dengan kulit warna coklat kemerahan. Suku Laut terdapat pula di Kepualauan Riau. Legenda-legenda Suku Laut menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah Lanun, atau bajak laut berasal dari Pulau Mindanao di Philipina. Di sekitar Belitung memang ada sebuah pulau yang bernama Mendanau. Apakah ada hubungannya dengan Mindanao di Philipina, saya belum pernah menelaahnya. Dari pengamatan saya yang hanya sepintas, memang terdapat kesamaan postur tubuh, warna kulit, serta bahasa dan berbagai jenis kesenian antara Suku Laut dengan penduduk asli Mindanao di Philipina.

Orang Melayu Belitung beragama Islam dan bertutur bahasa mendekati bahasa Kepualauan Riau dan Bahasa Johor. Bagaimana sikap keagamaan masyarakat Belitung, akan saya uraikan dalam paragraf-paragraf di bawah nanti. Sementara orang Laut menganut agama asli, semacam animisme. Orang Laut menggunakan Bahasa Melayu Tua. Jumlah suku Laut kini kian sedikit, karena pertumbuhan mereka sangat jarang. Sebagian besar orang Laut juga telah membaur dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam. Orang Melayu Belitung membedakan dirinya ke dalam dua kategori, yakni Orang Pesisir dan Orang Darat. Orang Pesisir tinggal di sekitar pantai, dan Orang Darat tinggal di daerah pedalaman. Dalam perkembangan masyarakat Belitung, Orang Pesisir lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan baru. Sementara Orang Darat relatif lebih lambat. Saya menggunakan istilah Orang Pesisir dan Orang Darat ini dalam bentuk yang netral, tidak menganggap budaya yang satu lebih tinggi dari yang lain.

Suku-suku pendatang dari pelosok Nusantara, nampaknya telah lama pula hijrah ke pulau ini. Pada generasi pertama dan kedua, mereka masih nampak sebagai kaum pendatang. Namun pada generasi ketiga, mereka telah menjadi orang Belitung. Budaya dan bahasanya menyatu dengan penduduk setempat. Ini menunjukkan bahwa daya serap bahasa dan budaya masyarakat Belitung cukup kuat, sehingga mampu mempengaruhi kaum pendatang dan menarik mereka ke dalam lingkungannya. Kaum pendatang itu pada umumnya berasal dari Jawa, Madura, Bawean dan Bugis dalam jumlah yang relatif besar. Ada juga kelompok suku-suku lain dalam jumlah yang lebih kecil, seperti suku Buton, Mandailing, Minangkabau dan Aceh. Migrasi ini telah terjadi sejak zaman kolonial, bahkan sebelumnya, dan terus berlangsung dalam jumlah yang besar, ketika pertambangan timah di Belitung sedang mengalami masa kejayaannya. Kelompok lain, yang perlu dijelaskan secara khusus adalah keberadaan masyarakat Cina di Belitung, yang jumlahnya ditaksir mencapai dua puluh persen dari penduduk Belitung.

Keberadaan masyarakat Cina di Belitung nampaknya terkait dengan lalu lintas perdagangan antara Negeri Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.Belitung yang terletak di ujung Laut Cina Selatan, adalah pulau terakhir dengan ukuran relatif besar yang ditemui sebelum masuk ke Pulau Jawa. Peta pelayaran Cina kuno sebelum zaman Cheng Ho (1408) menunjuk sebuah gunung – mereka sebut Gunung Kon Jim San atau Gunung Burung Mandi — yang menjadi pedoman agar perahu berbelok ke arah tenggara untuk sampai ke Kerajaan Singosari, Majapahit dan Pulau Bali yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Mungkin sekali perahu-perahu itu mendarat dulu di Belitung untuk mengambil air dan kayu bakar, sebelum meneruskan pelayaran ke Jawa Timur. Malangnya, laut di sekitar Belitung tergolong landai. Di sekitar pulau ini terdapat banyak karang yang ganas, yang sering menenggelamkan kapal-kapal. Bangkai kapal-kapalkuno Cina, Portugis dan Belanda dengan mudah dapat dilacak di sekitar laut Pulau Belitung. Sebagian besar bangkai kapal itu telah menjadi karang dan dihuni banyak ikan, termasuk ikan hiu yang ganas.

Jejak yang paling meyakinkan untuk melakukan rekonstruksi sejarah keberadaan masyarakat Cina di Belitung, dapat ditelusuri dengan mengacu kepada benda-benda arkelogis, terutama keramik, teracota dan aneka barang yang berasal dari kuningan, perunggu dan tembaga yang ditemukan baik di laut maupun di daratan Pulau Belitung. Para sejarawan, memang masih jarang menggunakan benda-benda yang tergolong sebagai artefak ini sebagai bahan dalam penulisan sejarah. Bagi saya benda-benda ini sangat penting, karena keramik adalah benda yang dapat bertahan ribuan tahun di dalam air maupun di dalam tanah. Benda-benda itu dapat dijadikan bukti keberadaan suatu kelompok masyarakat di satu daerah di zaman yang lampau. Benda-benda itu juga dapat menjadi saksi bisu alur pelayaran yang ditempuh berabad-abad yang lalu.

Keramik Cina paling tua yang ditemukan di laut sekitar Pulau Belitung berasal dari zaman Dinasti Tang, mulai dari abad ke enam Masehi dan selanjutnya. Sampai sekarang belum ditemukan adanya keramik Tang di daratan. Keadaan yang sama terjadi juga pada keramik Dinasti Yuan. Ini menunjukkan bahwa di zaman Tang, orang-orang Cina hanya melintasi Belitung, dan kapal mereka tenggelam menabrak karang. Keramik Dinasti Sung ditemukan dalam jumlah yang besar, bukan hanya di laut tetapi juga di dalam tanah. Keramik Sung ditemukan jauh dari pantai, bahkan di gunung-gunung, seperti Gunung Payung di Tanjung Pandan. Juga berbagai benda seperti naga, canang (gong kecil) dari perunggu dan kuningan. Kelenteng Burung Mandi – yang disebut dalam peta Cina dengan nama Kon Jim San – mungkin sekali dibangun pada masa dinasti Sung pada abad ke tiga belas Masehi. Di sekitar lokasi kelenteng, ditemukan piring, mangkok, buli-buli dan peralatan memasak dari zaman Sung dalam jumlah yang besar, baik masih utuh maupun pecahan. Semua ini menunjukkan bahwa di daerah itu, diabad ke tiga belas sudah ada pemukiman msayarakat China dalam jumlah yang cukup besar. Keramik dinasti Ming dan Ching, ditemukan dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan keramik Dinasti Sung.

Kedatangan orang-orang Cina dalam jumlah yang lebih besar ke Belitung terkait dengan penambangan timah. Orang Belitung nampaknya tidak sanggup bekerja menggunakan cangkul untuk menggali timah. Pekerjaan yang berat itu dilakukan oleh tenaga kerja dari daratan Tiongkok, yang sengaja didatangkan oleh pengusaha penambangan timah orang Belanda. Kaum pedagang Cina, dan keturunan pekerja tambang dari Cina itu, kemudian beralih profesi membangun usaha perdagangan di lokasi-lokasi strategis. Maka berdirilah Pasar Tanjung Pandan dan Pasar Lipat Kajang di Manggar menjadi kawasan pemukiman Cina. Kawasan pasar yang sama juga berdiri di Gantung dan Kelapa Kampit. Pada tahun 1960, saya masih menyaksikan hanya ada satu dua orang Cina membuka toko di kampung-kampung orang Belitung. Namun orang Cina yang membuka kebun menanam sayur sambil memelihara babi, juga tidak sedikit jumlahnya. Jumlah orang Cina yang miskin di Belitung relatif banyak. Tidak benar jika ada anggapan kalau Cina pasti kaya. Orang Cina yang menjadi kuli mengaspal jalan atau menjadi kuli bangunan, adalah pemandangan biasa di Belitung.

Sejak masyarakat Cina membangun lokasi perdagangan itu, penduduk Pulau Belitung terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni orang Belanda yang menempati daerah elit dan tertata rapi dengan fasilitas modern, orang Cina yang pada umumnya tinggal di daerah pasar, dan orang “pribumi” Belitung yang menempati kampung-kampung, baik di kota maupun di daerah pedalaman. Oleh Belanda, Suku Laut diberi pemukiman tersendiri. Tenaga mereka dibutuhkan Belanda untuk menjadi kuli menjahit terpal untuk dijadikan karung penampung timah, dan mengangkat barang-barang di pelabuhan. Suku-suku pendatang yang lain, terutama orang Bawean, pada umumnya bekerja sebagai pegawai rendahan di perusahaan timah. Sebagian lagi bekerja sebagai pegawai rendahan pemerintah kolonial. Sebagian mereka sengaja didatangkan untuk menjadi pelayan rumah tangga di rumah-rumah orang Belanda, dan di mes-mes yang mereka bangun. Namun orang Bugis, mayoritas tetap bekerja sebagai nelayan. Orang Madura kebanyakan juga tetap menjadi petani sambil memelihara sapi. Suku-suku pendatang ini pada umumnya membaur dengan penduduk pribumi Belitung. Anak keturunan mereka, seperti telah saya katakan, pada umumnya telah merasa menjadi orang Belitung.

Meskipun Belitung dihuni oleh suku dan bangsa berbilang kaum, namun dalam sejarah tidak pernah terjadi konflik antar sesama mereka. Konflik antar pribadi tentu bisa saja terjadi, namun konflik IMG_0007yang melibatkan suku bangsa tidak pernah tercatat dalam sejarah. Antara kaum pribumi dengan masyarakat Cina juga tidak pernah terjadi konflik. Perkawinan antara orang pribumi dengan orang Cina adalah hal yang relatif biasa. Orang pribumi menerimanya selama orang Cina itu mau memeluk agama Islam. Sesama masyarakat Cina memang pernah terjadi konflik pada tahun 1914, yang dikenal dengan sebutan Perang Ho Po. Perang ini sesungguhnya adalah kerusuhan internal masyarakat Cina akibat konflik yang terjadi di negeri leluhur, khususnya antara kaum nasionalis dan pendukung kaisar Cina yang terakhir dari Dinasti Ching. Memang pemicu konflik hanyalah gara-gara salah paham dalam upacara keagamaan dalam menghormati arwah leluhur. Namun akar konflik yang sesungguhnya bersifat politik.

Sampai kita merdeka hingga pertengahan tahun 1960-an, kebanyakan masyarakat Cina di Belitung masih berstatus warganegara asing. Sebagian mengaku warganegara RRC dan sebagian mengaku warganegara Taiwan. Saya masih menyaksikan sampai awal tahun 1970, di depan rumah warga Cina dipasang papan yang menyebutkan nama kepala keluarga dan status kewarganegaraannya. Sebagian besar orang-orang Cina itu menjadi WNI melalui proses naturalisasi yang dipercepat pada tahun 1980an. Sejak itu makin banyak anak-anak masyarakat Cina yang bersekolah, bahkan masuk ke perguruan tinggi. Sebelumnya, mereka memang mempunyai sekolah sendiri. Namun semua sekolah Cina ditutup setelah kita memasuki era Orde Baru. Orang Cina di Belitung pada era tahun 1960-an, nampak kurang perduli dengan pendidikan. Baru sejak awal tahun 1970, beberapa anak Cina bersekolah di SMA Perguruan Islam Belitung, sebelumnya sedikit sekali.

Setelah Belanda meninggalkan Belitung dan NV GMB (Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton) dinasionalisasi oleh Pemerintah RI tahun 1958, maka pemukiman elit eks Belanda ditempati oleh pegawai kelas pimpinan atau pegawai staf perusahaan timah. NV GMB adalah perusahaan swasta yang dimiliki oleh kaum kerabat Ratu Belanda. Perusahaan ini sampai sekarang masih hidup, dan setelah merger dengan Brookenhill dari Australia, berubah nama menjadi BHP Billiton, dan kini menjadi salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Karena itu tidak mengherankan jika prilaku pegawai perusahaan timah Belanda itu menampakkan unsur feodalisme. Setelah dinasionalisasi, perusahaan timah ini beberapa kali berganti nama. Mula-mula PPTB (Perusahaan Tambang Timah Belitung), kemudian beralih menjadi PN Tambang Timah dan terakhir menjadi PT Timah.

Kompleks elit penigalan NV GMB itu tidak banyak berubah. Fasilitasnya tetap istimewa seperti halnya di zaman Belanda, bahkan semakin dilengkapi dan dipermodern. Perusahaan timah milik Pemerintah RI tetap meneruskan budaya feodal perusahaan milik keluarga Ratu Belanda itu dalam waktu yang relatif panjang. Di Manggar, kompleks elit itu ada di Bukit Samak, seperti telah saya ceritakan di Bagian II serial tulisan ini. Di Tanjung Pandan, kompleks itu berada di pinggir pantai Tanjung Pendam, yang diawali oleh Kompleks Perumahan Frederijk Cornelijs den Dekker sekitar tahun 1852. Kompleks yang lebih kecil terdapat juga di daerah Damar, kira-kira 10 km dari Manggar. Kompleks elit untuk pegawai pemerintahan kolonial berada di sekitar Wihelmina Park, yang terletak di sekitar Gedung Nasional di Tanjung Pandan sekarang ini. Hanya itu saja kompleks elit untuk pemerintahan, karena Asisten Residen Bangka Belitung beserta perangkat pemerintah daerahnya hanya ada di daerah itu.

Pegawai rendahan perusahaan timah dibuatkan kompleks perumahan tersendiri yang bangunannya sederhana, dengan fasilitas sederhana pula. Di zaman Belanda, telah ada Kampung Bandung, yang kemudian diperluas diberi nama Kampung Arab di Manggar. Saya tidak tahu mengapa kampung ini berubah nama menjadi Kampung Arab, sebab sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada masyarakat peranakan Arab bermukim di situ. Di Tanjung Pandan, kompleks serupa ada di Kampung Pilang dan Air Ketekok. Di daerah Gantung, Damar dan Kelapa Kampit, juga terdapat kompleks yang sama. Rumah untuk pegawai rendahan ini hanya terbuat dari kayu, berdinding papan dan beratap seng. Namun setiap rumah mendapat penerangan listrik dan saluran air minum gratis dari perusahaan timah. Sekolah Dasar milik perusahaan timah juga ada di setiap kompleks itu. Fasilitas sekolah itu tentu berbeda jauh dengan fasilitas sekolah untuk pegawai staf.

Fasilitas buat pegawai timah antara pegawai staf dengan pegawai rendahan juga berbeda jauh. Perbedaan itu mulai dari tempat hiburan, olahraga, sekolah, rumah sakit, sampai pada ransum yang dibagikan. Fasilitas cuti juga berbeda. Kalau pegawai staf, setiap tahun ketika cuti, pegawai dan keluarganya mendapat fasilitas untuk berlibur ke Jakarta dan Bandung, dengan biaya ditanggung perusahaan timah. Sebab itulah, perusahaan timah mempunyai beberapa mess yang cukup besar, di Jakarta dan Bandung. Sementara pegawai rendahan kalau cuti, tetap di Belitung saja. Tidak ada fasilitas berlibur sebagaimana pegawai staf. Sampai tahun 1970, anak-anak pegawai rendahan tidak sembarangan boleh memasuki kawasan perumahan pegawai staf. Apalagi anak-anak orang kampung yang berasal dari kalangan pegawai negeri, petani dan nelayan. Satpam yang berjaga di daerah itu akan memperingatkan mereka. Orang tua dan anak-anak pegawai rendahan juga tidak boleh menggunakan semua fasilitas untuk keluarga pegawai staf. Mereka akan diusir Satpam kalau coba-coba menonton atau mandi di kolam renang khusus untuk pegawai staf dan keluarganya.

Jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan perusahaan timah begitu lebar. Kondisi seperti itu merata di empat kota utama di Belitung, yakni Tanjung Pandan, Manggar, Gantung dan Kelapa Kampit. Oleh karena fasilitas yang dibangun Belanda di IMG_0004_NEWManggar jauh lebih besar dan lebih lengkap, maka jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan di kota ini, terasa lebih besar dibandingkan dengan kota-kota yang lain. Jurang perbedaan itu semakin terasa ketika menyambut pergantian tahun. Masyarakat kampung di Belitung pada umumnya tidak pernah perduli kalau tahun akan berganti. Pegawai rendahan perusahaan timah juga menganggap hal itu biasa-biasa saja. Namun bagi pegawai staf perusaah timah, upacara menyambut pergantian tahun adalah suatu yang istimewa. Ada pesta besar, baik diadakan di Wisma Ria – nama baru dari Societeit Belanda — maupun di rumah Kawilasi (Kepala Wilayah Produksi) perusahaan timah, yang masih menempati rumah bekas tuan kongsi timah zaman Belanda.

Di Manggar, rumah bekas tuan kongsi itu memang sangat istimewa. Rumah itu terkenal dengan sebutan Rumah A1. Rumah itu cukup besar dan bergaya arsitektur campuran Belanda-Perancis, yang mungkin sekali di desain oleh Ir. van Basten. Rumah itu berada di titik nol (zero point) Pulau Belitung, dengan menara gaya Eropah yang diberi penangkal petir dan nampak dari kejauhan di atas Bukit Samak. Pemandangan dari rumah itu sangat indah. Ke arah Timur, pemandangan mengarah ke Selat Karimata. Ke arah Barat, akan mengarah pada pepohonan menghijau di daratan Belitung. Di rumah itu pula, konon Gubernur Jendral Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda van Stakenborgh Stachouwer, berdiam sementara ketika melarikan diri dari Batavia, sebelum mengungsi ke Australia ketika pecah Perang Dunia Kedua. Saya masih memiliki gambar disain dan juga foto rumah itu yang dibuat pada tahun 1916.Sekarang, sejalan dengan memudarnya perusahaan timah, rumah itu tinggal fondasinya saja yang tersisa.

Oleh karena posisi perusahaan timah di Belitung begitu dominan, maka peranan Pemerintah Daerah terasa kurang menonjol. Di zaman Belanda, merekapun menganggap Belitung adalah “pulau perusahaan” atau “company island”. Perusahaan Timah mempunyai pembangkit listrik, perbengkelan dan galangan kapal, sentral telefon, sarana air minum, membangun jalan dan jembatan, sampai penyediaan rumah sakit dan sarana-sarana umum lainnya.Bagian terbesar APBD Kabupaten Belitung diperoleh dari pajak timah, yang tentu saja jauh dari mencukupi. Keperkasaan perusahaan timah di pulau itu menyebabkan pemerintah daerah kurang berinisiatif membangun dan mengembangkan daerah. Bahkan sarana-sarana perumahan dan perkantoran untuk pejabat pemerintah daerah, termasuk polisi, tentara, hakim dan jaksa, juga dibantu oleh perusahaan timah.

Jurang antara pegawai staf dengan dengan pegawai rendahan itu, dengan sendirinya mempengaruhi gaya hidup, bukan saja pegawai timah, tetapi juga isteri dan anak-anaknya. Oleh karena penduduk pribumi Belitung jarang-jarang yang menempuh pendidikan tinggi, kelompok yang menggantikan kedudukan orang Belanda dan menjadi pegawai staf pada umumnya adalah pendatang dari daerah-daerah lain. Hanya sedikit sekali jumlahnya orang pribumi Belitung yang sampai ke posisi pegawai staf. Bagian terbesar mereka menjadi pegawai rendahan belaka di perusahaan timah. Kalau ada satu dua orang pribumi Belitung yang mencapai posisi pegawai staf, maka gaya hidup mereka juga mulai berubah dari kebanyakan orang Belitung yang menjadi pegawai rendahan. Mereka mulai mengambil jarak, bukan saja dengan pegawai rendahan, tetapi juga dengan orang-orang kampung berasal dari pegawai negeri, petani dan nelayan.

Masyarakat Cina yang pada umumnya tinggal di daerah pasar, meskipun bergaul erat dengan masyarakat pribumi, namun tetap memelihara identitas mereka. Sehari-hari mereka tetap menggunakan Bahasa Cina dialek Hakka, dan sedikit saja yang menggunakan dialek Hokkian. Sebagian besar masyarakat Cina itu memeluk agama Budhha dan Konghucu. Kelenteng mereka ada pada setiap pemukiman Cina, bahkan di kampung-kampung, ketika masyarakat Cina tinggal membaur dengan penduduk pribumi. Oleh karena orang-orang Cina ini pandai berdagang, maka hampir semua toko yang ada di pasar adalah milik orang Cina, yang sekaligus juga adalah tempat tinggal mereka. Orang-orang Belitung yang berminat berdagang, hanya berani membuka toko di kampung-kampung saja. Toko-toko itupun harus membeli barang ke agen-agen milik orang Cina yang membeli barang dari Jakarta. Sangat jarang orang Belitung pandai menjadi pengusaha. Sebagian besar mereka menjadi petani jika tinggal di kampung-kampung, atau menjadi nelayan jika tinggal di dekat pantai. Sebagian besar lagi hanya menjadi pegawai rendahan di perusahaan timah.

Meskipun menjadi pegawai rendahan di perusahaan timah, orang Belitung sudah merasa lumayan hidupnya, dibanding mereka yang menjadi pegawai negeri, petani dan nelayan. Pegawai negeri, petani dan nelayan, boleh dikata berada dalam suatu kelompok yang sama. Mereka tidak mempunyai fasilitas apa-apa. Kalau pegawai rendahan perusahaan timah tidak boleh menonton di fasilitas huburan untuk kelas atas, mereka masih bisa menonton di fasilitas untuk kalangan mereka. Begitu juga rumah sakit, sekolah dan sarana-sarana lainnya. Pegawai timah kelas rendahan itu selain mendapat gaji tiap bulan, mereka juga mendapat aneka ransum keperluan sehari-hari mulai dari beras, gula, kopi, kacang hijau, minyak goreng, sampai sabun cuci, sabun mandi serta odol dan sikat gigi. Mereka yang tinggal di kompleks perumahan timah mendapatkan fasilitas air minum dan listrik gratis. Menjelang lebaran, mereka juga mendapat uang bonus berkali lipat gaji setiap bulan, di samping mendapat pembagian gratis bahan-bahan untuk pakaian. Kehidupan mereka, walaupun tergolong miskin, namun masih lumayan dibandingkan dengan keluarga pegawai negeri, petani dan nelayan.

Bagi pegawai negeri, satu-satunya fasilitas yang mereka nikmati hanyalah berobat gratis di Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) yang kemudian disebut Puskesmas itu. Di DKR tidak ada dokter, yang ada hanya mantri saja dengan satu dua orang pembantunya. Tidak ada perawatan rawat inap di rumah sakit DKR itu.Kalau mereka berobat, apalagi harus dirawat inap di rumah sakit perusahaan timah, yang fasilitasnya sangat lengkap, mereka takkan mampu untuk membayarnya. Fasilitas hiburan samasekali tidak ada. Pegawai timah kelas atas dapat menonton di Societeit Belanda yang dirubah namanya menjadi Wisma Ria. Mereka bisa bermain tenis, bilyard, basket, volly ball dan berenang di kolam renang yang sangat bagus, yang dulunya dibangun Belanda. Pegawai rendahan masih bisa menonton di Wisma Krida, yang dibangun khusus untuk mereka. Untuk menonton gratis di tempat ini, setiap orang harus menunjukkan kartu bahwa mereka adalah pegawai timah. Pegawai negeri, petani dan nelayan tidak boleh menonton di situ, kecuali anak-anak bisa bebas menonton film untuk semua umur.

Meskipun Belitung kaya dari hasil timahnya dan menyumbang devisa cukup besar bagi negara, namun penduduk Belitung sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Mereka hidup seperti kata pepatah: ibarat itik berenang di tengah dunau, tetapi mati kehausan. Ibarat ayam tinggal di lumbung padi, mati kelaparan. Ketika saya kecil antara tahun 1961-1967, gaji pegawai negeri sangatlah kecil. Sudah kecil, Pemerintah juga tidak sanggup membayar gaji setiap bulan. Seringkali pegawai negeri menerima rapel gaji setelah tiga empat bulan kemudian. Berbeda dengan pegawai perusahaan timah yang mendapat aneka ransum, pegawai negeri hanya mendapat jatah beras yang sangat rendah kualitasnya. Beras itu seringkali sudah banyak kutunya, bercampur batu, berbau apek dan mengapung ketika dicuci di dalam air.

Perekenonomian sangat sulit antara tahun 1961-1967 itu. Inflasi membubung tinggi. Di Jakarta rakyat sudah antri membeli beras dan minyak tanah. Apalagi, sejak tahun 1963, Presiden Sukarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Belitung termasuk daerah garis pertahanan terdepan, berhadapan dengan negara tetangga itu. Orang Belitung yang mayoritas Melayu, juga dicurigai akan memihak Malaysia dalam konflik itu. Tentara yang ditempatkan di Belitung berasal dari Kodam Diponegoro. Sebagian besar tentara itu berasal dari suku Jawa. Orang Belitung tak sepenuhnya dapat memahami politik konfrontasi itu. Mereka sukar untuk membayangkan mengapa sesama Melayu, kita harus berperang. Ketidakmengertian itu semakin bertambah, karena dengan konfrontasi, kehidupan rakyat makin bertambah susah. Peta kekuatan politik di Belitung juga berubah. PKI makin bertambah kuat. Mereka berada pada garis terdepan mengkampanyekan Ganyang Malaysia, ganyang Pak Tengku — yang dimaksud adalah Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri pertama Malaysia.

Dalam situasi susah itu, para petani dan nelayan di Belitung benar-benar mengalami dampaknya. Tanah di Belitung tidak sesuai untuk menanam padi. Tak ada sawah di Belitung, karena tanahnya berpasir, sehingga air mudah menyerap ke dalam tanah. Satu-satunya cara menanam padi ialah berladang membuka hutan, dengan alat-alat tradisional, tanpa pupuk dan bibit unggul. Hasilnya, untuk makan satu keluarga saja jauh dari mencukupi. Petani Belitung yang tinggal di kampung-kampung jauh dari pusat kota, pada umumnya hanya menanam singkong, keladi, ubi jalar dan nenas. Kalau mereka menanam sayur, penduduk sangat sedikit. Sepuluh orang saja menanam bayam atau menanam cabai, maka pedagang di pasar sudah tidak sanggup menmpungnya. Harga segera jatuh. Kelapa yang banyak tumbuh di Belitung, hanya dipakai untuk keperluan memasak dan membuat minyak goreng. Hanya sedikit yang dijadikan kopra, yang diusahakan oleh pengusaha Cina. Rumah-rumah petani di kampung pada umumnya sangat sederhana. Tidak ada penerangan listrik, juga tidak ada saluran air minum.

Tidak semua kampung mempunyai Sekolah Dasar. SMP hanya ada di Tanjung Pandan, Manggar, Kelapa Kampit dan Gantung. Hanya ada dua SMA, satu SMA Negeri di Tanjung Pandan, dan satu SMA swasta di Manggar. Pendidikan anak petani yang tinggal di kampung sangat terbengkalai. Demikian juga pendidikan anak nelayan. Jarang-jarang anak nelayan masuk SMP, apalagi SMA. Ketika sudah besar sedikit, anak-anak nelayan akan turun melaut mengikuti jejak ayahnya. Sampai awal tahun 1970 hanya satu dua anak nelayan Bugis yang sekolah di SMP. Pendidikan anak-anak suku Bugis, Madura dan Bawean terbengkalai. Orang tua mereka, yang juga merantau sebagai orang kecil dan miskin, tidak mendorong anak-anak mereka untuk sekolah. Pendidikan anak-anak pegawai rendahan pegawai timah juga kurang berkembang. Di awal tahun 1970, baru ada satu orang Belitung menjadi Insinyur tamatan ITB dan kembali ke Belitung. Baru menjelang tahun 1970 banyak anak-anak Belitung melanjutkan pendidikan tinggi. Kebanyakan mereka kuliah di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Anak-anak orang Belitung dari pegawai kelas atasan, sebenarnya mampu untuk melanjutkan kuliah. Namun, mungkin karena terbiasa hidup enak, semangat juang mereka tergolong rendah. Di kemudian hari, tak banyak anak-anak dari kalangan ini yang berhasil dalam pendidikan dan pekerjaan.

Kehidupan nelayan, sama saja susahnya dengan kehidupan petani. Nelayan hanya dapat melaut selama enam bulan dalam setahun, sesuai pergantian musim dan arah angin. Kalau musim angin bertiup dari selatan, maka nelayan di bagian timur Belitung praktis tak dapat melaut. Angin terlalu kencang dan gelombang teramat besar. Kalau ada yang berani turun ke laut, hanya bermodalkan katir, bisa-bisa tak pulang lagi ke rumah. Kalau angin bertiup dari arah Barat, maka nelayan di bagian Barat pulau Belitung yang gantian tidak bisa melaut. Ikan dan hasil laut lainnya, sebenarnya melimpah ruah di Belitung di masa itu. Namun, karena penduduk terbatas, harga ikan akan segera jatuh jika hasil tangkapan telah memenuhi pasar ikan. Nelayan menjual ikan melalui tengkulak-tengkulak yang dapat membantu mereka meminjami uang dan beras, yang tentu harus diperhitungkan jika mereka dapat melaut kembali. Dalam pengamatan saya, tengkulak ikan itu bukanlah orang jahat seperti tukang ijon di Jawa. Prinsip kerja mereka adalah saling membantu.

Cita-cita nelayan di Belitung pada masa itu sederhana saja. Jika harga satu kilo ikan sama dengan harga sekilo beras, maka mereka sudah puas dan bahagia. Kenyataannya mereka harus menjual empat kilo ikan tenggiri baru dapat membeli sekilo beras. Ikan yang lebih rendah kualitasnya, bisa lima enam kilo baru setara dengan sekilo beras. Tidak heran jika nelayan Belitung hidup compang camping. Kebanyakan rumah mereka berdinding kulit kayu, beratap daun nipah dan beralaskan tanah belaka. Tak ada fasilitas apapun bagi mereka. Rumah sakit harus bayar, walau rumah sakit pemerintah seperti DKR. Kesehatan para nelayan sangat rendah. Pakaian mereka lebih compang-camping dibanding keluarga pegawai negeri dan petani. Pendidikan anak-anak nelayan sangat rendah. Paling mampu hanya tamat SD saja. Jarang-jarang anak nelayan masuk SMP.

Sebagian besar, mungkin sekitar 80 persen penduduk Belitung beragama Islam. Agama terbesar kedua adalah Buddha/Konghucu yang dianut oleh masyarakat Cina. Agama Kristen, dalam jumlah yang kecil, dianut oleh kaum pendatang. Penganut agama Kristen yang telah lama menetap di Belitung berasal dari keturunan orang Belanda dan Ambon, yang telah menetap di pulau itu sejak zaman kolonial. Sebelum kedatangan agama Islam yang diperkirakan pada penghujung abad 12, orang Belitung menganut animisme yang bercampur-baur dengan ajarah Hindu dan Buddha. Tidak ditemukan adanya bekas-bekas candi Hindu dan Buddha ataupun arca-arca pemujaan dalam agama itu di Belitung. Terracotta bekas pemujaan memang ditemukan di daerah sekitar Membalong, termasuk pekuburan tua yang menunjukkan zaman pra-Islam. Legenda masyarakat tentang kisah Tuk Menek Melanggar Buding, adalah gambaran tentang peristiwa Islamisasi Belitung pada abad-abad pertama kehadiran agama ini.

Tuk Menek konon kabarnya adalah penyebar agama Islam dari Aceh yang berhasil mengislamkan daerah Sijuk. Namun Tuk Kundo, penguasa daerah Buding menolak memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan animisme. Suatu ketika Tuk Menek masuk ke daerah Buding untuk menyebarkan agama Islam, dan terjadi perlawanan dari Tuk Kundo. Peristiwa itulah yang disebut dengan istilah Tuk Menek Melanggar Buding. Dia melanggar garis demarkasi yang memisahkan daerah Sijuk yang Muslim, dengan daerah Buding yang mempertahankan tradisi keagamaan lama. Kerajaan Balok, di sekitar Sungai Cerucuk di Tanjung Pandan mungkin sekali menganut agama Hindu. Tidak banyak informasi mengenai kerajaan Balok, kecuali legenda dan cerita rakyat. Namun Kerajaan Badau, telah memeluk agama Islam. Kerajaan ini berorientasi ke Jawa dan Palembang. Bangsawan-bangsawan mereka menggunakan gelar kebangsawanan Jawa dan Palembang.

Islamisasi masyarakat Belitung pada umumnya berlangsung secara damai. Para penyebar agama Islam cukup toleran dengan kepercayaan-kepercayaan dan tradisi lama yang tetap hidup, namun secara perlahan mengalami proses Islamisasi. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus yang dapat menimbulkan malapetaka tetap hidup dalam masyarakat. Masyarakat Belitung mempunyai kosa kata yang kaya dalam memberi nama dan kategori berbagai jenis makhluk halus, yang secara umum disebut dengan hantu. Upacara-upacara keagamaan lama, seperti selamatan kampung, maras taun, membuang jung (tradisi suku Laut), aneka jenis selamatan, tetap berlangsung hingga hari ini. Demikian pula kepercayaan terhadap jampi-jampi dan benda-benda keramat tetap hidup dalam masyarakat. Harmoni antara Islam dengan kepercayaan lama itu tercermin dalam struktur pemerintahan asli masyarakat Belitung, yakni keberadaan pimpinan sebuah kampung, yang berada di tangan dukun kampung dan penghulu. Di masa kolonial, pimpinan ini ditambah lagi dengan lurah. Sebuah desa atau sebuah kampung, barulah lengkap apabila mempunyai ketiga unsur pimpinan itu.

Dukun Kampung dalam masyarakat Belitung adalah jabatan yang diangkat oleh masyarakat. Tidak selalu jabatan itu diangkat dari seseorang berdasarkan garis keturunan, walau kecenderungan itu ada di banyak kampung di Belitung. Tugas dukun kampung adalah mengurusi dunia gaib dan menjaga keselamatan masyarakat dari berbagai penyakit dan malapetaka yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk halus. Orang di kampung akan memberitahu dukun kalau mereka akan membuka hutan dan membuat ladang. Kalau kawasan itu dikuasai makhluk halus, maka dukun harus membereskan masalah ini lebih dulu, agar jangan timbul malapetaka. Dukun Kampung mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi dengan makhluk halus. Ada kalanya makhluk halus bersedia pindah ke tempat lain, jika tempat itu akan digunakan oleh manusia. Hal yang sama juga dilakukan ketika akan mendirikan rumah, dan ketika akan menempati rumah yang baru selesai dibangun. Setiap tahun, setiap kampung akan menyelenggarakan upacara selamatan kampung. Upacara itu diselenggarakan di rumah Dukun Kampung dan dihadiri masyarakat, yang datang membawa daun gandarusa dan daun hati-hati. Dukun Kampung akan memimpin upacara yang diakhiri dengan pembacaan doa menurut agama Islam. Daun gandarusa dan daun hati-hati tadi di bawa pulang setiap orang, di campur air dan dipercikkan di dalam rumah dan halaman masing-masing. Sebagian masyarakat Cina juga menghadiri upacara selamatan kampung, yang dipercaya dapat mengelakkan seluruh penduduk kampung dari malapetaka.

Dukun kampung dipercaya masyarakat sebagai dukun yang bersih dan sejalan dengan ajaran Islam. Jampi-jampi yang mereka baca juga diambil dari ayat-ayat al-Qur’an di samping berbagai kalimat yangdiucapkan dalam Bahasa Melayu Tua. Isi jampi-jampi itu adalah perintah atau ancaman kepada makhluk-makhluk halus agar jangan mengganggu penduduk kampung. Pada umumnya Dukun Kampung adalah orang yang taat beragama. Karena ituDukun Kampung dengan Penghulu yang mengurusi hal-ikhwal kegamaan berjalan seiring. Di beberapa kampung malah ada jabatan Dukun Kampung dan Penghulu berada dalam tangan satu orang, walau keadaan itu biasanya hanya sementara saja. Di samping Dukun Kampung yang secara resmi diangkat oleh masyarakat, terdapat pula dukun-dukun tidak resmi yang menjalankan praktek perdukunan, yang terkait dengan penyembuhan berbagai jenis penyakit, sampai yang melakukan kejahatan dengan menggunakan ilmu gaib.

Sikap keras kaum pembaharu dalam memurnikan akidah dari unsur-unsur syirik, khurafat dan bid’ah, belum dapat diterima. Kelompok yang lebih moderat, yang memberikan toleransi kepada praktek-praktek keagamaan pra-Islam, tetapi memberikan warna Islam kepadanya, nampak lebih dapat diterima masyarakat Belitung. Dalam pengamatan saya, masyarakat Belitung tidaklah terlalu keras memegang ajaran agama. Ada sebagian masyarakat yang taat menjalankan perintah-perintah ibadah agama, namun sebagian lagi melalaikannya. Kelompok yang kedua ini, baru nampak kelihatan pergi ke mesjid, ketika sembahyang Idul Fitri dan Idul Adha. Sungguhpun demikian, mereka akan marah besar jika dikatakan bukan orang Islam. Usaha penyebar agama lain untuk memurtadkan orang Belitung, boleh dikata tidak pernah berhasil. Hanya satu dua orang saja yang beralih ke agama lain, itupun terjadi di masa sekarang. Misionaris Kristen telah bekerja sejak zaman kolonial, namun tak berhasil mengajak orang Belitung untuk memeluk agama itu. Mereka hanya berhasil mengkristenkan orang-orang Cina.

Seperti telah saya jelaskan, keberadaan lurah dalam struktur kepemimpinan tradisional masyarakat Belitung, mungkin baru diperkenalkan pada zaman penjajahan. Tugas para lurah adalah melaksanakan administrasi kampung dan mengeluarkan berbagai jenis surat yang diperlukan masyarakat.Di zaman dahulu, tugas pelayanan yang paling banyak ditangani lurah adalah mengeluarkan surat jalan bagi orang yang ingin bepergian dan mengeluarkan surat jual beli tanah berdasarkan Hukum Adat. Di masa kemudian tugas lurah disibukkan dengan administrasi kependudukan, sebagai perpanjangan tangan Pemerintah. Lurah bertanggungjawab pula dalam memelihara kebersihan dan keamanan lingkungan kampung. Berbeda dengan Dukun Kampung dan Penghulu yang diangkat masyarakat, lurah dipilih masyarakat dalam pemilihan. Meskipun demikian, para lurah itu tidak mendapat gaji dari Pemerintah. Dalam praktek lurah bisa saja berasal dari kaum pendatang. Saya telah menceritakan tentang Lurah Daeng Semaong yang berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada Bagian III serial tulisan ini. Jadi berbeda dengan Dukun Kampung dan Penghulu yang memang dijabat oleh orang Belitung sendiri. Para Lurah yang menangani administrasi kampung itu berinduk kepada Kepala Negeri yang bertugas mengkoordinasi mereka. Di Tanjung Pandan, Manggar dan Gantung pada zaman dahulu ada Kepala Negeri, yang menggantikan posisi Demang di zaman Belanda dan pendudukan Jepang. Sekarang Kepala Negeri sudah digantikan oleh Camat. Lurah juga digantikan oleh Kepala Desa.

Sebagaimana masyarakat di daerah lain, masyarakat Belitung juga tertarik kepada gerakan politik. Gerakan politik itu muncul melalui organisasi-organisasi, baik lokal, maupun organisasi yang berpusat di daerah lain. Di zaman penjajahan, gerakan nasionalis telah mulai menanamkan pengaruhnya dalam masyarakat, baik melalui organiasi PNI maupun Parindra, pada tahun 1930-an. Sarekat Islam juga mulai bergerak di Belitung pada tahun 1920 dibawa oleh seorang yang berasal dari Minangkabau, Sutan Arbi. Gerakan Buruh juga mulai aktif di kalangan pekerja perusahaan timah sejak zaman Belanda. Gerakan politik itu makin terasa dihari-hari pertama proklamasi kemerdekaan, ketika sejumlah tokoh mengambil inisiatif membentuk Komite Nasional Daerah Belitung sesuai anjuran Presiden Sukarno beberapa hari setelah proklamasi. Komite Nasional itu diketuai oleh Dr. H.M Joedono – ayah Billy Joedono yang pernah menjadiMenteri Keuangan pada masa pemerintahan Presiden Suharto.

Sejak itu partai-partai mulai berdiri, yakni PNI, Partai Buruh dan Masyumi. PNI memang telah mempunyai pengurus sejak zaman Belanda. Partai Buruh di dukung oleh serikat buruh yang telah ada pula sejak zaman Belanda. Masyumi didirikan dengan cara melebur organisasi sosial pendidikan keagamaan Nurul Islam, menjadi cabang partai itu. Nurul Islam didirikan oleh beberapa tokoh, termasuk Aidit (ayah dari DN Aidit yang kemudian menjadi Ketua PKI). Dua tokoh Masyumi yang naik ke pentas nasional ialah Ki Agus Djohar dan Mohammad Saad, yang diangkat menjadi anggota Senat Republik Indonesia Serikat, dan kemudian menjadi anggota DPR RI setelah RIS dibubarkan.

Pengaruh PKI tidaklah kuat sampai diselenggarakannya Pemilihan Umum 1955. Dalam Pemilu 1955 pengaruh Masyumi sangat dominan di Belitung. Dari 15 orang anggota DPRD Kabupaten Belitung, Masyumi mendapat 10 kursi, PNI 4 kursi dan Partai Buruh mendapat 1 kursi. PKI tidak mendapat kursi samasekali. Orang Belitung yang orientasi keagamaannya tradisional, ternyata dalam politik mendukung sebuah partai Islam modernis. Gejala menguatnya PKI baru terjadi pada akhir 1960, ketika Masyumi telah dibubarkan oleh Presiden Sukarno. DN Aidit yang berasal dari Belitung dan lahir di Tanjung Pandan, ketika itu telah menjadi tokoh sentral PKI nampak mulai menggiatkan partai itu di Belitung, walau keluarganya yang ada di Belitung sebagian menjadi pendukung Masyumi.

PKI mulai memperkuat basis gerakan buruh, dengan mendirikan SBTI (Serikat Buruh Timah Indonesia) sebagai organisasi satelitnya. Ketimpangan pegawai timah – seperti telah saya jelaskan dengan panjang lebar — membuat organisasi ini menjadi mendapat banyak pengikut. Mereka yang menjadi anggota SBTI ini serta-merta diberhentikan sebagai pegawai perusahaan timah setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kebanyakan mereka menjadi anggota serikat buruh ini tanpa mengetahui keterkaitan organisasi itu dengan PKI. Apalagi memahami Komunisme sebagai sebuah ideologi. Pada tahun 1960-an PNI di Belitung juga mulai berorientasi ke kiri, yang kala itu disebut sebagai PNI ASU (Ali-Surachman). Sesudah Peristiwa G 30 S PNI di Belitung sempat dibekukan cukup lama. Sebagian markasnya diduduki KAPPI. Sejak Masyumi dibubarkan, sebagian tokoh-tokohnya memperkuat PSII. Di Belitung Timur, PSII berkembang cukup kuat menandingi PNI. Keadaan ini berubah total setelah Pemerintah berpihak kepada Golkar dalam Pemilu 1971.Golkar mendominasi DPRD. Pegawai perusahaan timah dan pegawai negeri diintimidasi akan dipecat jika tidak memilih Golkar. Sejak saat itu keberadaan partai-partai lain mulai memudar.

Dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat Belitung terus berlangsung, sampai saya meninggalkan Belitung di penghujung tahun 1975. Menjelang saya pergi, perubahan-perubahan mulai terasa. Secara perlahan sikap perusahaan timah juga mulai berubah. Jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan sedikit demi sedikit dikurangi. Banyak pula kalangan pegawai staf itu yang mulai membuka diri untuk bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Pemerintah Daerah juga mulai aktif, sejalan dengan makin tidak menentunya harga timah di pasaran dunia. Zaman terus berganti dan berubah, demikian juga dengan masyarakat Belitung. Apa yang saya tulis di sini hanyalah sebuah sketsa tentang setting sosial masyarakat Belitung ketika saya tinggal di sana. Sketsa ini akan menjadi latar belakang untuk memahami pergulatan kehidupan saya di masa kecil, yang akan saya ceritakan lagi nanti pada Bagian V dari serial tulisan ini. Mungkin tulisan ini terdapat kekurangan dan kelemahan di sana sini. Saya senantiasa untuk membuka diri dari setiap saran, kritik dan komentar untuk menyempurnakannya.


KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian V)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Dalam Bagian IV serial tulisan ini, saya telah menjelaskan setting sosial masyarakat Belitung, tempat saya lahir dan menetap di situ sampai tamat SMA. Gambaran tentang setting sosial itu, saya IMG_0001harapkan akan membantu menjelaskan pergaulan dan pergulatan saya dengan masyarakat sekitar. Dalam konteks sosial seperti itulah saya lahir dan dibesarkan. Dalam lingkungan sosial seperti itu pula saya mengalami sosialisasi kehidupan, yang turut membentuk pemikiran, sikap hidup dan cara pandang dalam menatap setiap persoalan hidup. Dalam konteks sosial seperti itu pula saya harus berpikir dan memberikan respons terhadap setiap tantangan. Semua itu tentu akan memberikan pengaruh ke dalam perjalanan hidup saya selanjutnya. Sosialisasi keluarga yang telah saya kisahkan dalam Bagian I, II dan III masih akan saya lanjutkan dalam seri kali ini, dan dalam serial-serial lanjutannya.

Seperti telah saya kemukakan dalam Bagian I, keluarga kami pindah kembali ke Menggar pada akhir tahun 1961. Ayah saya yang semula Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tanjung Pandan, dipindahkan menjadi Kepala KUA Kecamatan Manggar. Kami sekeluarga merasa senang akan kembali ke kota tempat kami berasal.
Semua keluarga kami pindah, kecuali kakak tertua, namanya Yuslim, yang tetap tinggal di Tanjung Pandan. Dia tetap tinggal di sana, karena sejak tahun 1959 dia telah masuk sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama). Ayah saya, nampaknya ingin agar anak pertamanya itu menjadi guru agama, sehingga dia tidak disekolahkan ke SMP. Di Manggar tidak ada PGA, maka terpaksalah kakak tertua itu tinggal di rumah tetangga kami Pak Sulaiman Talib, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Agar mudah dia bersekolah, kakek saya membelikan sebuah sepeda untuknya. Saya masih ingat betul sepeda itu warnanya hijau. Orang Belitung menyebutnya sepeda jengki. Ukurannya lebih kecil dari rata-rata sepeda yang dipakai orang dewasa.

Kami hanya tinggal beberapa minggu di rumah kakek saya Jama Sandon, sebelum seluruh keluarga pindah menempati rumah ayah saya sendiri di Kampung Sekep. Kampung ini tergolong kampung yang masih baru dibandingkan kampung-kampung lain di kota Manggar. Seperti akan saya kisahkan lebih rinci di bawah nanti, kampung ini dulunya bekas kiumi, yakni lokasi penambangan timah di darat, namun sudah direklamasi. Kampung ini disebut Kampung Sekep, karena dahulunya pernah digunakan polisi sebagai kawasan latihan menembak dengan senjata api. Mereka menempatkan sasaran untuk menembak berjajar-jajar di lembah padang pasir. Sararan peluru itu, oleh polisi dinamakan Skip. Karena skip itu dibuat agak permanen pada sebuah jurang dengan latar belakang dinding pasir bekas tambang timah, maka lama kelamaan kawasan itu disebut masyarakat sekitar dengan istilah Kampung Skip. Lidah orang Belitung agak susah mengucapkan kata Skip. Karena itu mereka mengucapkannya sekip atau sekep. Maka jadilah kampung itu Kampung Sekep seperti dikenal sampai sekarang.

Sebagai daerah bekas tambang timah, Kampung Sekep terasa panas bagai gurun pasir. Baru sedikit pepohonan yang tumbuh di sana. Namun tetangga rudah relatif banyak yang menetap di situ IMG_0005sebelum kami pidah kembali ke rumah itu. Penduduk kampung ini rata-rata miskin dan sederhana. Mereka terdiri dari pegawai rendahan perusahaan timah, petani dan nelayan. Hanya ada tiga orang pegawai negeri tinggal di kampung ini. Pertama adalah ayah saya,kedua tetangga kami Pak Sjafri Sulur atau biasa dipanggil Pak Iting. Beliau seorang guru SD. Ketiga Pak Ramli, beliau pegawai negeri rendahan bekerja di Kantor Camat. Penduduk Kampung Sekep terdiri atas pribumi Belitung yang berasal dari berbagai kampung yang lain, suku Bugis, Bawean dan beberapa berasal dari Jawa. Jalan menuju Kampung Sekep ketika itu terbuat dari tanah dan batu kerikil merah tanpa aspal. Kalau musim hujan, jalan itu becek dan licin. Kalau musin kemarau, jalan itu berubah menjadi berdebu. Jalan-jalan yang lain, hanyalah jalan setapak belaka.

Baru pada tahun 1963, jalan-jalan di Kampung Sekep dan Kampung Bawah di sebelahnya, diperbaiki Pemerintah Daerah. Jembatan yang melintasi saluran air di belakang rumah kami juga diperbaiki dengan bahan kayu. Namun jalan belum diaspal, hanya ditambahi tanah dan campuran batu kerikil merah yang dikeraskan dengan sebuah mesin giling. Saya dan anak-anak lain setiap hari menonton mesin giling yang nampak antik itu. Saya masih ingat mesin giling itu buatan Jerman tahun 1886 sebagaimana tertulis di bagian depannya. Mereknya Stombel. Mesin giling itu kepunyaan Dinas Pekerjaan Umum setempat. Apa yang menarik perhatian kami pada masin giling itu, ialah rodanya yang besar terbuat dari besi. Mesin itu digerakkan dengan kayu bakar untuk menghasilkan uap dan tenaga. Mungkin asalnya bahan bakar mesin giling itu adalah batubara. Tetapi karena batubara tidak ada di kampung kami, maka pegawai PU berinisiatif menggantinya dengan kayu bakar. Asap kayu bakar itu beterbangan kemana-mana. Kayunya tak henti-hentinya diisi agar api tetap menyala. Karena saking tuanya, mesin giling antik itu akhirnya mogok dipinggir jalan antara rumah Wak Darman dengan rumah Pak Sulaiman. Berkali-kali mesin itu diperbaiki namun tak kunjung sembuh. Akhirnya benda antik itu menjadi besi tua dan dibiarkan tergeletak di tepi jalan. Anak-anak sering menaiki benda antik itu sebagai ajang tempat bermain. Itulah sebabnya, jalan ke Kampung Sekep itu sering dinamakan Jalan Stombel.

Jarang-jarang mobil dan sepeda motor masuk ke Kampung Sekep. Sebab itu, kalau ada mobil dan sepeda motor datang ke kampung ini, maka benda itu menjadi tontonan menarik bagi anak-anak kampung, termasuk saya. Sebaliknya kalau ada motor gandeng, yakni motor Harley ukuran besar dengan tambahan untuk menangkut penumpang, semua anak-anak akan sembunyi dan mengintip dari celah-celah dinding rumah yang umumnya terbuat dari kulit kayu itu. Motor jenis itu adalah motor polisi warisan polisi kolonial yang masih dipakai di zaman merdeka. Suaranya menggelegar. Kalau motor itu masuk kampung, pasti ada orang yang sedang dicari polisi. Polisi biasanya mencari Semokel, istilah setempat yang berasal dari Bahasa Belanda untuk menyebut komplotan penyelundup bijih timah. Saya sendiri hanya tahu bentuk motor yang kelihatan menakutkan itu sebagai hasil mengintip dari balik dinding. Ketakutan itu makin bertambah, karena motor itu dikendarai polisi berseragam dinas dan membawa pistol berukuran besar di pinggangnya. Kumis polisi itu melintang. Polisi itu berasal dari Jawa. Semua anak-anak di kampung takut melihatnya.

Rumah ayah saya itu terletak di sudut perempatan jalan di Kampung Sekep. Bentuknya panggung yang sederhana. Seluruh bangunan terbuat dari kayu, dengan sebagian beratap sirap dan sebagiannya lagi beratapkan daun nipah. Tidak ada langit-langit di rumah itu. Seluruh dinding rumah itu terbuat dari kulit kayu belangir. Lantainya juga terbuat dari papan yang panjangnya tidak sama, menandakan papan itu papan bekas pakai di bangunan lain, entah dari mana. Lantai papan itupun tidaklah rapat, sehingga kami dapat mengintip ada beberapa ekor biawak sering bermain di bawah rumah kami. Kalau malam hari, anak-anak yang masih kecil juga sering membuang air kecil melalui celah-celah lantai papan yang mengangai itu. Rumah orang di kampung memang tidak mempunyai kamar mandi dan kakus di dalam rumah seperti rumah orang modern. Tempat buang hajat besar terletak jauh di belakang rumah, dalam bentuk bangunan kecil berdinding daun kelapa. Anak-anak buang hajat seenaknya saja di semak-semak rerumpunan pohon Keremunting di belakang rumah. Habis buang hajat, pantatnya sering bentol-bentol digigit nyamuk.

Rumah ayah saya itu terdiri dari tiga bagian. Bagian depan untuk duduk-duduk dan menerima tamu. Bagian tengah untuk tidur, makan dan ruang keluarga. Bagian belakang untuk dapur dan meletakkan tempayan air, serta rak untuk meletakkan piring mangkuk dan alat memasak lainnya. Di rumah ini hanya ada satu kamar tidur, tempat kedua orang tua kami tidur bersama adik yang paling kecil. Tidak ada ranjang atau tempat tidur di kamar itu. Mereka semua tidur di lantai di atas kasur kapuk yang sederhana dan ditutupi kelambu. Anak-anak yang lain – yang ketika itu jumlahnya sudah sembilan orang — tidur di luar kamar beralaskan tikar pandan di atas lantai. Tidak ada kasur dan kelambu. Hanya ada bantal yang terbuat dari kapuk dibungkus kain belacu tanpa sarung. Saya pernah berinisiatif membuat kasur dari karung goni bekas membawa beras dan diisi serbuk kayu. Namun kasur aneh dan ajaib itu hanya mendatangkan rasa gatal kalau ditiduri. Akhirnya kasur itu kami buang saja. Warna bantal itupun sudah tidak karuan, karena selain untuk tidur, sering pula dipakai anak-anak untuk bermain. Sering pula bantal yang sudah kusam itu robek dan dijahit ibu saya dengan benang, agar kapuknya tidak keluar. Kami menyebut kapuk dengan istilah kabu-kabu.

Meskipun rumah ini sederhana, namun rumah ini memiliki penerangan listrik sebesar 450 Watt. Listrik di Manggar seperti telah saya ceritakan pada bagian terdahulu, sudah ada sejak tahun 1916. Belanda membangun Elekriek Centraal (EC) yang terbesar di Asia Tenggara di kota Manggar untuk keperluan pertambangan dan industri, perbengkelan dan perkapalan. Rumah-rumah nelayan di sekitar rumah kami, tidak ada penerangan listriknya. Kalaulah ada barang yang boleh dibilang mewah di rumah itu, tidak lebih dari sebuah radio listrik merek Philips dan sebuah mesin jahit manual merek Singer. Radio listrik itu adalah barang bekas yang dibeli ayah saya dari salah seorang temannya. Sementara mesin jahit adalah kepunyaan ibu saya sebagai hadiah dari kakek. Mesin jahit itu hanya dipergunakan ibu saya menjahit baju anak-anaknya menjelang lebaran. Ayah saya tidak mampu membelikan bahan baju di luar menjelang hari raya. Itupun membeli bahan yang murah, dan sering-sering kain belacu polos berwarna krem. Sepanjang penglihatan saya, mesin jahit itu lebih banyak digunakan untuk menambal baju dan celana yang koyak, agar dapat dipakai lagi. Sekali dua, mesin jahit itu digunakan untuk mengecilkan baju bekas yang dibeli nenek saya agar pas di badan anak-anak yang masih kecil.

Nenek saya membeli baju bekas itu dari seorang perempuan Cina yang sehari-hari spesialis pedagang keliling pakaian bekas. Kami memanggil wanita Cina setengah tua itu Nyonya Kuncu. Konon, di masa muda, dia salah seorang anggota grup kakek saya, Jama Sandon, bermain judi. Karena itu, dia nampak akrab dengan kakek saya. Nyonya Kuncu mengumpulkan baju bekas itu dari Rumah Gedong, istilah khas untuk menyebut kompleks pegawai staf perusahaan timah di Bukit Samak. Sebagian lagi berasal dari kalangan masyarakat Cina di Pasar Lipat Kajang. Orang kampung mustahil akan menjual baju bekas. Mereka, termasuk keluarga kami, adalah konsumennya. Anak-anak tetangga yang lain, seringkali memakai baju bekas yang ukurannya kebesaran. Celananya juga sering kedodoran. Ibu mereka tak punya mesin jahit untuk mengecilkan baju dan celana bekas itu, seperti dilakukan ibu saya.

Adapun radio listrik milik ayah saya itu, suaranya sayup-sayup sampai. Kadang-kadang terdengar, kadang-kadang tidak. Suara stroring radio bekas itu kadangkala lebih nyaring daripada masuk dan lagu yang diperdengarkannya. Radio itupun tidak pernah berhenti rusak, walau sudah berulangkali diservis oleh Hamim, tetangga di sebelah rumah kakek saya. Di zaman itu, radio yang mampu ditangkap siarannya ialah RII belaka, dari Jakarta, Medan, Palembang dan Pekanbaru. Radio Makassar suaranya sayup-sayup sampai. Di zaman itu belum ada radio swasta. Antene radio itu harus dipasang tinggi-tinggi. Mula-mula di pasang di atap rumah. Setelah itu dipasang lagi di puncak tiang kayu. Mungkin tingginya sekitar 15 meter. Namun suaranya tetap saja tidak berubah.

Suatu hal yang agak aneh, siaran Radio Malaysia yang menggunakan Bahasa Melayu dari Kuala Lumpur dan Serawak terdengar lebih jelas. Namun di zaman itu, rakyat tidak sembarangan boleh menyetel Radio Malaysia. Hubungan kita dengan negara tetangga itu dari hari ke hari makin memburuk. Ketika tahun 1963, Presiden Sukarno mengumumkan konfrontasi, maka mendengar siaran radio Malaysia dilarang aparat keamanan. Rakyat hanya disuruh mendengar pidato Presiden Sukarno dan Menlu Subandrio yang berapi-api melalui RRI. Isinya tentang Nasakom, Jarek, Tavip, Ganyang Malaysia dan entah apa lagi. Pidato-pidato itu hanya memusingkan kepala. Kami anak-anak tidak tertarik mendengarnya. Ayah saya, mantan aktivis Masyumi, juga nampak tak begitu senang mendengar pidato Sukarno. Isinya propaganda saja, kata beliau. Beliau nampak kesal, setelah tokoh-tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap ditangkap Sukarno dan dijebloskan ke dalam penjara. Natsir dan Sjafruddin pernah datang ke Belitung menjelang Pemilu 1955. Ayah saya menjadi panitia menyambut mereka. Pidato Natsir di Gedung Nasional Tanjung Pandan, sangat berkesan dalam pikiran ayah saya. Sjafruddin malah datang ke Manggar. Ibu saya menyediakan makanan untuk menjamunya. Waktu itu, ibu saya menjadi Ketua Muslimat Masyumi tingkat kecamatan.

Keberadaan radio di kampung kami benar-benar dirasakan kalau orang kampung ingin mendengar pertandingan badminton. Mereka pendukung fanatik regu Thomas Cup Indonesia. Semua mendukung Ferry Sounoville dan Unang, dua jagoan bulutangkis Indonesia di zaman itu. Tetangga-tetangga datang ke rumah kami ingin mendengar radio yang suaranya sayup-sayup sampai itu. Begitu juga rumah tetangga lain yang memiliki radio. Suatu hari saya mendengar Ferry Sonoville berhasil mengalahkan lawannya, mungkin dari Swedia. Namanya saya sudah lupa. Namun pada set pertama Ferry kalah. Keesokan harinya, ketika saya duduk-duduk di pantai, adik kakek saya, Pak Yakub, bertanya kepada saya, apakah Ferry Sounoville menang dalam pertandingan semalam. Kakek saya itu seorang guru SD merangkap tengkulak ikan, sehingga tiap hari ada di pantai menunggu nelayan pulang melaut. Saya katakan, Ferry menang, walau kalah si set pertama.

Saya tanya apa Kik Kub – demikian saya memanggil Pak Yakub — tidak mendengar radio tadi malam. Beliau bilang mendengar, tapi terhenti setelah satu set tatkala Ferry kalah. Saya agak heran mendengarnya. Siaran radio, kata Pak Yakub, berhenti gara-gara Kik Bulu – panggilan orang kampung kami yang bernama Arsyad — emosi ketika Ferry kalah. Saking kesalnya, loudspeaker radio yang terbuat dari papan tripleks itu ditegam (dipukul menggunakan lengan tangan) oleh Kik Bulu hingga tegerabai (rusak berantakan). Akibatnya radio listrik mereka tak berfungsi lagi. Pak Yakub nampak jengkel dengan kelakuan temannya, Kik Bulu, yang emosional itu. Akibatnya semua pendengar radio bubar pulang ke rumah masing-masing. Namun beliau nampak gembira setelah saya ceritakan Ferry Sounoville menang. Kik Kub mengatakan akan mendengar siaran radio lagi nanti malam di rumah tetangga yang lain, ketika pertandingan Thomas Cup akan dilanjutkan. Kik Bulu memang brengsek, katanya kesal. Gara-gara dia, tetangga tidak dapat mendengar siaran Thomas Cup.

Selain radio dan mesin jahit itu, ayah saya memiliki sebuah sepeda, yangtelah ada sejak kami tinggal di Tanjung Pandan. Sepeda itu setiap hari dipergunakan ayah saya pergi bekerja,berceramah, membonceng ibu saya ke pasar, sampai mengangkut air dan membawa kayu bakar yang kami ambil dari hutan. Semua anak-anak, berjalan kaki saja ke mana-mana. Ketika kami pindah ke Kampung Sekip itu, dua kakak saya, Yusmin dan Yusfi, sudah masuk SMP. Sekolah mereka di dekat Kantot Polisi – kami menyebut kawasan itu Tangsi – yang berjarak kira-kira 3 km dari rumah kami. Mereka pergi ke sekolah berjalan kaki. Karena itu pagi-pagi sekali mereka telah meninggalkan rumah dan pulang ketika telah sore. Kakak saya yang paling tua, Yuslim, pada tahun 1963 melanjutkan pendidikan ke PGA 6 Tahun di Palembang. Anak-anak yang lain masih SD. Saya, Yusron, dan Yuslaini, ketika kami pindah ke Kampung Sekip tahun 1961, belum sekolah.

Dengan satu anak bersekolah di Palembang, dua masuk SMP dan dua masih SD, maka beban keluarga saya terasa sungguh sangat berat. Keadaan ekonomi pada tahun 1961 terasa makin sulit. Ayah saya tidak punya pekerjaan tambahan, selain menjadi pegawai negeri walau jabatannya Kepala KUA. Kantor KUA yang dikepalai ayah saya itu terletak di samping Masjid Kampung Lalang. Kantor itu tidak nampak sebagai kantor pemerintah. Bangunannya mirip rumah sederhana terbuat dari kayu dan beratap seng. Pegawai di kantor itu hanya tiga orang. Ayah saya sendiri sebagai Kepala KUA, Tahir sebagai sekretaris dan Saleh sebagai petugas administrasi merangkap opas pengantar surat di kantor itu. Pekerjaan Kepala KUA itu, nampak sebagai pekerjaan setengah formal, setengah informal.

Formal, karena kantor itu adalah unit birokrasi paling bawah dari Departemen Agama RI yang langsung berurusan dengan masyarakat. Informal, karena jabatan Kepala KUA itu adalah setingkat di atas penghulu. Jadi jabatan itu semacam tokoh masyarakat saja, yang sehari-hari menangani urusan keagamaan, mulai anak lahir, urusan perkawinan sampai menyelenggarakan pemakaman orang yang meninggal. Selain mengurusi Kantor Urusan Agama, ayah saya sibuk berdakwah, membaca khutbah di setiap Jum’at dan menerima tamu orang-orang yang datang meminta nasehat, bimbingan dan petunjuk. Dengan kesibukan sepanjang hari, bahkan hingga larut malam seperti itu, ayah saya tidak banyak waktu untuk mengurusi keluarga. Kadang-kadang beliau mendapat uang tambahan, kalau ada pasangan yang menikah memberikan uang sekedarnya. Namun kegiatan memberi ceramah, kegiatan itu sukarela saja. Orang sudah mau mendengar pengajian saja, bagi beliau sudah sangat bagus.

Ayah saya tidak pernah lagi aktif dalam gerakan politik setelah kami pindah ke Manggar. Partai Masyumi yang beliau menjadi pengurusnya di tingkat cabang, telah dibubarkan Presiden Sukarno pada akhir tahun 1960. Sejak itu, ayah saya tidak pernah mau menjadi anggota partai politik manapun juga. Sekali Masyumi tetap Masyumi, katanya kepada kami suatu ketika. Teman-temannya yang lain, Pak Abubakar Madjid, Salman, Talib Sjarief dan paman saya Arba’ie menggiatkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) setelah Masyumi bubar. Ayah saya tidak mau menjadi anggota PSII. Beliau hanya ingin berdakwah saja. Paman saya yang lain, Adam yang sehari-hari menjadi penghulu, malah menjadi aktivis PNI melalui Djami’atul Muslimin Indonesia (Djamus). Beliau pengagum berat Sukarno, beda dengan ayah saya yang nampak kurang suka kepada Sukarno. Pada tahun 1960an itu, ayah saya berpendangan bahwa Sukarno sudah dipengaruhi PKI. Negara kita, kata beliau, makin bergerak ke kiri.

Sungguhpun tidak terlibat langsung dalam gerakan politik, ayah saya tetap mengikui perkembangan politik dengan intensif. Beliau mengingatkan tetangga terhadap bahaya Komunis dan menasehati agar mereka jangan menjadi anggota PKI atau organisasi satelitnya. Saya masih ingat, kekhawatiran ayah saya terhadap gerekan Komunis itu, ketika diselenggarakan peringatarn Hari Buruh di tahun 1963. Ada pawai sangat panjang dari kaum buruh yang tidak henti-hentinya meneriakkan yel-yel anti kapitalis dan imperialis, serta dukungan kepada kaum proletar. Saya mengikuti beliau menyaksikan pameran Hari Buruh di MPB (Medan Pertemuan Buruh) perusahaan timah, yang seluruh ruangannya dihiasi kain berwarna merah seperti rumah mau terbakar.

Simbol PKI memang tidak banyak di pasang di arena pameran itu. Namun gambar roda gigi, simbol serikat buruh, gambar Stalin, Lenin dan Mao Tse Tung dipajang besar-besar. Ayah saya sadar bahwa PKI mulai berhasil memanfaatkan kaum buruh di Belitung, yang memang diperlakukan kurang adil oleh kebijakan perusahaan timah. Perasaan sebagai kaum proletar dan tertindas sedikit banyaknya mendapatkan simpati, walau sebagian besar pegawai rendahan perusahaan timah itu, tidaklah memahami seluk beluk ideologi Komunisme. Ayah saya sangat khawatir dengan perkembangan ini. Saya juga mulai menyadari, keluarga kami mulai mengalami tekanan dan intimidasi karena sikap ayah saya yang begitu keras terhadap Komunisme. Baiklah, saya tinggalkan dulu cerita politik ini, untuk kembali lagi mengisahkan kehidupan keluarga kami.

Seperti telah saya ceritakan di Bagian IV, pegawai negeri seperti ayah saya, kadang-kadang menerima gaji, kadang-kadang tidak. Ada kalanya gaji itu baru dibayar tiga empat bulan kemudian, dengan cara membayar rapel sekaligus. Jatah beraspun kadang-kadang dapat, kadang-kadang harus dirapel juga. Bagi keluarga miskin dan sederhana seperti keluarga kami, ada beras saja di rumah telah membuat kami tenang. Tidak perlu ada gula dan yang lain-lain keperluan sehari-hari. Kalau lauk pauk, kami bisa makan seadanya. Tetapi kalau beras sudah tidak ada, entah apa lagi yang akan di makan. Sembilan anak yang harus diberi makan tiap hari, bukan tanggungjawab yang ringan. Kalau beras di rumah sudah tidak ada, ibu saya menyuruh saya meminta beras kepada nenek. Saya harus berjalan kaki, kira-kira satu kilometer dan pulang membawa beras dua-tiga kilo di dalam karung terbuat dari daun pandan. Saya masih begitu kecil, baru berumur lima tahun, tidak kuat membawa beras lebih daripada itu dngan berjalan kaki terseok-seok.

Agar beras itu dapat dimakan cukup untuk keluarga kami, ada kalanya ibu saya berinisiatif mencampur beras itu dengan singkong yang dipotong kecil-kecil. Pernah pula beras itu di campur dengan jagung atau kacang hijau. Pernah pula dicampur dengan bulgur, yang dinegeri asalnya, benda itu hanya untuk makanan bebek. Kami menyebutnya “nasi randau”, artinya nasi yang ditanak dengan cara mencampurnya dengan bahan makanan lain, agar menjadi banyak. Saya masih ingat berminggu-minggu lamanya, ibu saya harus menjatahi anak-anak makan nasi. Nasi yang ditanak satu periuk, dijatah ibu saya menggunakan mangkok sehingga nasi itu tercetak di dalam pinggan, seperti rumah makan Padang menyajikan nasi ramas. Semuanya dibagi rata, demikian juga lauknya dijatah pula. Kalau beras jatah pegawai negeri telah tiba, kami cukup puas dan bahagia. Saya sering menemani ayah atau kakak saya mengambil beras dalam karung goni satu kwintal yang berat sekali. Beras segoni itu diletakkan di sepeda, yang praktis tidak bisa dinaiki, hanya dituntun saja hingga sampai ke rumah. Namun beras jatah yang membuat kami sekeluarga merasa tenang itu, sesungguhnya bukanlah apa-apa bagi orang berada.

Beras jatah pegawai negeri itu jauh lebih rendah kualitasnya dibanding beras jatah yang dibagikan kepada pegawai rendahan perusahaan timah, apalagi dibandingkan dengan jatah yang dibagikan kepada pegawai staf. Beras jatah pegawai negeri itu, seringkali berbau apek, banyak batu dan bercampur kutu. Ibu saya harus meletakkan beras itu di dalam tampah dan membuang batu, padi yang masih berkulit dan kutu-kutunya sekaligus. Baru beras itu dicuci. Tak jarang beras yang dicuci itu mengapung di atas permukaan air, pertanda beras itu sudah terlalu lama di simpan di gudang beras pemerintah. Kalau beras jatah yang dibagikan secara rapel tiga bulan, maka beras di rumah kami banyak sekali. Kalau keadaan seperti itu, seringkali tetangga kami, istri nelayan Bugis dan Bawean datang ke rumah kami ingin menukar ikan dengan beras. Kelihatannya tukar-menukar itu tanpa memperhitungkan harga. Semua dilakukan berdasar prinsip kekeluargaan. Nasib nelayan dengan nasib pegawai negeri di zaman itu sama saja. Mereka berada dalam strata yang sama dalam masyarakat Belitung.

Betapapun jatah beras pegawai negeri itu begitu rendah kualitasnya, namun bagi belayan, petani dan pekerja swasta lainnya, keadaannya jauh lebih buruk. Saya melihat keluarga nelayan tetangga saya, namanya Muhammad – biasa dipanggil Mamak – anak-anaknya hanya dikasi makan singkong. Ibunya menggulai ikan banyak sekali. Dalam kuah ikan itu dimasukkan singkong rebus, yang tentu enak sekali dimakan bagi keluarga nelayan miskin. Anak Mamak, namanya Usman, adalah teman saya bermain sepak bola. Saya sering bermain di rumahnya yang dekat dengan lapangan bola Kampung Sekep. Suatu hari ketika kami bermain di pantai, saya mendengar cerita Rahmat yang usianya lebih tua dari saya. Rahmat ngobrol dengan kakak saya Yusfi, tentang kesusahan hidup keluarganya. Ayah Rahmat, adalah orang Betawi, namanya Sarmili. Orang kampung sering memanggilnya Babe (sebutan ayah dalam bahasa Betawi). Rumah mereka tak jauh dari Pantai Pengempangan. Sehari-hari Pak Sarmili bekerja membuat kursi dan lemari dari kayu.

Rahmat bercerita, alangkah susah bagi ayahnya menjual kursi, karena tidak ada yang mau membeli. Suatu ketika, ada kursi yang terjual. Ibu Rahmat membeli beras, yang ketika dimasak nasinya sudah berbau apek. Namun apa boleh buat, Rahmat dan adik-dan adik-adiknya yang masih kecil harus makan nasi apek itu. Mendengar cerita Rahmat, saya sadar bahwa masih banyak keluarga yang hidup jauh lebih miskin dibanding keluarga saya yang sudah miskin. Untuk membantu keluarga, Rahmat yang sudah agak besar bersama Rusli dan Jaya adiknya, sehari-hari ada di pantai membantu nelayan mengangkat perahu. Yusfi juga melakukan hal yang sama. Saya ke pantai megikuti kakak saya itu. Rahmat suka membakar ikan di tepi pantai menggunakan sabut dan pelepah kelapa. Kami memakannya nikmat sekali.

Untuk keperluan lauk-pauk sehari-hari, ayah saya tak selalu sanggup membeli ikan ke pasar, apalagi membeli daging sapi, yang sangat mahal harganya. Kakak saya, Yusfi, kadang-kadang pegi memasang pancing di sebuah danau bekas timah yang sudah tersambung ke pantai di Kampung Bakau, dekat Kampung Sekep. Kami menyebut danau bekas penambangan timah itu dengan istilah Kulong. Kadang-kadang dia dapat ikan yang cukup besar, yang membuat kami dapat makan dengan lauk yang lumayan. Ketika saya berumur 5-6 tahun saya sering mengikuti Yusfi mencari timung dan keremut – sejenis keong kecil – di sela-sela pohon nipah dan pohon bakau, dipinggir sungai. Perjalanan itu sebenarnya berisiko juga karena bisa-bisa kami bertemu buaya yang di Belitung terkenal karena ganasnya. Tidak jauh dari pohon-pohon nipah itu, kami mencari daun iding-iding, sejenis tanaman rawa yang daunnya dapat dimakan. Kami juga dapat memetik kangkung yang tumbuh liar di rawa-rawa, atau mencari pucuk pohon pakis hutan untuk dimasak.

Yusfi memang piawai berjalan si semak-semak, rawa-rawa dan hutan belantara. Dia juga piawai memasang panjing di laut dan di sungai, atau memasang banjor untuk menangkap ikan air tawar di danau-danau. Ketika umur 5-6 tahun itu saya banyak berguru dengannya bagaimana caranya melintasi rawa, sungai dan keluar masuk hutan belantara dengan selamat. Kalau musim hujan, saya berdua dengannya sering pergi ke danau memancing ikan gabus. Sebelum memancing gabus, kami harus memancing ikan Kemuring yang ukurannya lebih kecil untuk dijadikan umpan memancing gabus. Ikan kemuring mudah saja dipancing menggunakan umpan nasi atau singkong rebus.

Ikan-ikan kemuring itu kami masukkan ke dalam tempurung kelapa yang diberi tangkai kawat tembaga yang diisi air. Ikan gabus hanya mau makan umpan yang hidup. Ikan kemuring itu kemudian dikaitkan pada mata pancing yang diikat dengan nilon kira-kira 1 meter panjangnya. Nilon itu diikat pada akar-akar pohon Gelam yang banyak tumbuh di danau. Kalau pancing itu sudah dimakan gabus, maka suara gabus menggelepar akan segera terdengar. Kami menghampirinya, melepas pancing dari mulut ikan dan memasukkannya ke dalam karung timah yang diisi air, agar Gabus itu tetap hidup sampai kami pulang. Selain gabus, kadang-kadang kami dapat ikan Keli (ikan Lele), ikan Mentutu (Ikan Malas). Sesekali kami juga dapat Ikan Bulan, bahkan Ikan Tengkelesak (ikan Arwana). Di zaman itu ikan Tengkelesak atau ikan Arwana tidak ada harganya. Ikan Arwana itu digulai saja. Rasanya lebih enak dari ikan Gabus.

Ikan Gabus yang masih hidup setibanya kami di rumah, kami pelihara di dalam tong, untuk persediaan makan beberapa hari. Kalau ikannya sudah mati, ibu saya memanggang ikan itu hingga kering sehingga tahan beberapa hari. Kalau Yusfi dan saya tidak memancing atau mendapat ikan setelah membantu nelayan mengangkat perahu, kami di rumah hanya makan ikan selar atau ikan jui asing yang harganya memang murah. Ikan asin itu digoreng atau dipanggang saja, kalau tidak ada minyak kelapa. Untuk sayur, saya sering memetik nangka muda di tanah pekuburan Kampung Lalang.Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang dengan ayah saya. Kadang-kadang dibantu Kik Jahari, orang Jawa penjaga kuburan itu. Saya juga sering memetik jantung pisang di halaman Mesjid Kampung Lalang. Nangka muda dan jantung pisang itu digulai dengan santan, dan sering ditambahkan kepala ikan asing agar terasa lebih enak. Di belakang rumah kami, sengaja kami tanami pohon singkong karet – di Jakarta orang menyebutnya singkong racun — yang pohonnya lebih besar dari singkong biasa. Umbi singkong karet tidak bisa dimakan, karena mengandung racun. Namun pucuknya dapat dipetik hampir setiap hari karena tumbuhnya cepat sekali. Daun singkong karet itu bisa digulai dengan santan, atau direbus saja dimakan dengan sambal terasi dan ikan asin. Kalau perut sudah lapar, nikmatnya tiada terkira.

Kami juga menanam keladi, yang mudah tumbuh di saluran pembuangan air. Keladi itupun menjadi makanan kami sehari-hari. Selain keladi, kami juga menanam oyong dan ketule, buah sejenis oyong juga. Segala keperluan bumbu-bumbu semua kami tanam, mulai dari lengkuas, serai, kunyit dan jahe. Kalau kemiri, kami punya pohonnya yang besar di rumah kakek saya. Buah kemiri kadang-kadang kami pakai untuk bermain, namanya main kumbek. Cabe juga ditanam, walau kadang-kadang tidak mencukupi, sehingga harus membeli. Karena ayah saya kadang-kadang menerima gaji kadang-kadang tidak, maka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tak mungkin kami dapat dari alam, maka terpaksa keluarga kami harus berhutang di warung sekitar rumah kami.

Walau saya baru berumur 5-6 tahun, ada perasaan malu juga saya disuruh berhutang di warung, walau si pemilik warung nampak tetap ramah dan mencatat barang-barang yang kami hutang di buku hutang mereka. Perasaan malu itu makin bertambah, jika kebetulan ada orang lain yang juga belanja dengan membayar kontan. Namun, daripada tidak dapat memenuhi kebutuhan yang mendesak, apa boleh buat kami harus berhutang. Tiga warung yang sering saya disuruh ibu saya berhutang itu ialah kepunyaan Jamaudin – yang biasa kami panggil Pak Akam — warung kepunyaan Arif dan warung kepunyaan Jelani.Pak Akam adalah sahabat ayah saya. Sedang Arif dan Jailani masih tergolong keluarga.

Apa yang disuruh ibu saya hutangkan di warung itu sebenarnya adalah barang-barang yang sederhana, yakni gula pasir, tepung kanji, tepung tapioka, sabun cuci, odol, terasi, asam Jawa, terasi dan kadang-kadang juga ikan asin. Bahkan kadang-kadang cabe juga harus berutang, jika cabe di kebun kami tidak berbuah. Seingat saya, tak pernah saya disuruh berhutang beras. Kalau beras jatah pegawai negeri telah habis, ibu saya akan menyuruh saya meminta beras ke rumah nenek, seperti telah saya ceritakan. Saya selalu berjalan kaki pergi ke warung-warung itu, dengan baju kumal dan celana ditambal, tanpa alas kaki. Kadang-kadang sambil menarik mobil-mobilan dari kayu, atau mendorong gelindingan, yakni lingkaran terbuat dari kawat besi yang didorong dengan tangkai besi juga yang diberi ujung kayu sambil berjalan atau setengah berlari. Dengan menarik mobil-mobilan atau mendorong gelindingan, saya tidak merasa bosan berjalan ke warung-warung dan pulang ke rumah membawa barang-barang yang diminta ibu saya untuk dihutang itu. Ayah saya nampak konsisten membayar hutangnya. Begitu gajian diterima, maka yang pertama kali dilakukan adalah membayar lunas hutang-hutang itu. Saya tahu, gaji yang tersisa setelah membayar hutang-hutang itu tinggal sedikit sekali. Mungkin tidak cukup untuk biaya makan satu minggu. Belum lagi untuk membayar uang sekolah kakak saya, dan mengirim uang kepada kakak saya yang tertua yang sekolah di Palembang.

Untuk membayar biaya sekolah, kakak saya Yusfi mengambil inisiatif sendiri. Sambil pergi memancing, dia pulang ke rumah memikul kayu bakar. Saya juga ikut memikul kayu yang kecil saja ukurannya. Kayu bakar itu kemudian dibelah dengan kampak, dan disusun-susun untuk dijual. Kadang-kadang saya menunggui Yusfi membuat layang-layang yang juga dijualnya. Anak-anak di kampung suka sekali bermain layang-layang di Padang Bola tidak jauh dari rumah kami. Uang menjual kayu, layang-layang dan kadang-kadang juga menjual ikan yang ditangkapnya, dapat membuat Yusfi membayar uang sekolah. Ketika kakak saya satu lagi masuk SMP di tahun 1963, beban tambah berat. Saya masih ingat, ibu saya beberapa kali menjual ayam milik kami kepada seorang perempuan Cina pedagang ayam, yang datang membeli ayam di kampung-kampung. Saya sudah lupa nama perempuan Cina setengah baya yang sering datang ke kampung mengumpulkan ayam naik sepeda.

Hasil menjual ayam itu dibelikan sepatu putih, atau sepatu karet merek Bata, dan baju seragam anak SMP. Juga membeli buku-buku, pensil dan tas sekolah. Ayam kami cukup banyak. Kami mempunyai kurungan ayam cukup besar. Tiap pagi dan sore kami memberi makan ayam itu dengan kerak nasi, limbah makanan dan ketupang, yakni ampas parutan kelapa. Sungguhpun banyak ayam, namun keluarga kami tak sekalipun memotong ayam untuk dimakan. Ayam hanya dipotong setahun sekali untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri atau ketika ada kenduri perkawinan. Makan daging ayam bagi masyarakat Belitung di zaman itu, adalah suatu kemewahan yang luar biasa. Kami hanya mendengar daging ayam adalah makanan pegawai staf perusahaan timah. Orang kampung hanya punya ayam, tetapi sangat jarang memakannya, kecuali telurnya saja. Itupun hanya sedikit, karena telur-telur itu akan ditetaskan lagi atau dijual di warung-warung.

Saya dan anak-anak kecil yang lain akan sangat bahagia jika ada orang menyelenggarakan kenduri perkawinan. Kami biasanya berada di dapur terbuka menunggui orang memasak nasi menggunakan kawah – kuali yang ukurannya sangat besar. Kalau nasi sudah masak, maka kami akan diberi kerak nasi yang dikasi kuah gulai ayam. Daging ayamnya tentu saja tidak ada. Paling-paling yang diberikan hanyalah berutu, atau bagian dari pantat ayam. Lumayan juga. Tukang masak nasi untuk kenduri perkawinan itu adalah adik kakek saya, Pak Yakub. Beliau nampaknya sudah pakar memasak nasi dalam kawah dalam jumlah yang banyak, tanpa hangus oleh api kayu bakar yang menyala-nyala sangat besar itu. Untuk mengaduk nasi, beliau menggunakan sendok kayu yang panjang ukurannya, persis dayung sebuah perahu. Pak Yakub selalu baik kepada serombongan anak-anak yang selalu menunggui beliau memasak nasi itu.

Karena tiga kakak saya sudah di SMP, maka anak yang paling besar yang selalu ada di rumah ialah kakak saya yang perempuan. Tentu dia tidak bisa pergi ke hutan atau pergi memancing. Tugasnya membantu ibu saya di rumah. Tugas yang terasa sangat memberatkan bagi saya dan kakak saya itu ialah mengisi air, baik untuk mandi, mencuci maupun untuk keperluan minum. Kampung Sekip seperti telah saya ceritakan adalag kawasan bekas penambangan timah yang telah direklamasi. Sedalam apapun kita sanggup menggali sumur, yang akan dijumpai hanyalah pasir belaka, bercampur bahan-bahan logam bekas penambangan timah. Air yang didapat dari sumur itu berwarna kemerahan dan nampak berkarat karena kadar mineral yang tinggi. Air seperti itu, dipakai untuk mandipun tak layak.

Di dekat rumah kami sebenarnya ada tiga saluran air ledeng yang disediakan untuk umum. Namun aliran airnya kecil sekali, sementara yang membutuhkan air cukup banyak. Antrian begitu panjang. Saya dan kakak saya Yusniar biasa menunggu berjam-jam agar kaleng kami terisi air. Kalau sudah terisi, kami memikul kaleng air itu sekitar 200-300 meter ke rumah kami, dengan menggunakan kayu. Saya masih kecil sekali, baru berumur 5-6 tahun. Kakak saya juga perempuan. Apa boleh buat kami berdua harus memikul air. Yusron ketika itu masih terlalu kecil berumur 3-4 tahun. Dia belum bisa bekerja apa-apa. Setiap hari kerjanya menangis dan mengamuk. Bukan sekali dua, tempayan yang sudah kami isi air minum dengan susah payah, dituangkannya kembali.

Kesulitan air itu benar-benar kami rasakan ketika kemarau panjang menerpa kami. Kalau kemarau sudah berlangsung empat bulan, maka air ledeng putus samasekali. Sumur-sumur yang masih berair, cukup jauh letaknya. Sumur itupun dimiliki keluarga-keluarga, namun mereka berbaik hati kepada warga kampung yang lain untuk mandi dan mengambil air dari sumurnya. Saya dan kakak saya harus pergi mandi jauh sekali sambil membawa kaleng, yang ketika pulang kami pikul berdua untuk keperluan di rumah. Ayah saya juga mandi di sana dan membawa dua kaleng yang dipikulnya kiri-kanan menggunakan kayu. Kami berjalan mungkin sekitar setengah kilometer untuk mendapatkan air. Kadang-kadang saya harus bolak-balik dua atau tiga kali memikul air dari sumur hingga ke rumah. Kami mandi di dekat sumur itu memakai celana tanpa baju. Kadang-kadang saja kami mandi pakai sabun. Sabun yang kami pakai itu bukan pula sabun mandi, tetapi sabun cuci batangan. Saya masih ingat, kami menyebut sabun itu “sabun cap tangan”. Di zaman itu tak ada warung menjual sabun mandi di kampung. Sabun mandi ada di jual di Pasar Lipat Kajang, tetapi harganya terasa mahal sekali. Kami tak sanggup membelinya. Shampoo juga belum ada di zaman itu. Kami mencuci rambut yang kotor kena debu sehabis main bola, juga menggunakan sabun cap tangan itu. Rambut kami keras bagai bulu landak.

Kalau kemarau sudah berlangsung enam bulan, Kampung Sekip itu sudah seperti Gurun Sahara. Pepohonan menguning dan rerumputuan mengering. Kami melihat hutan mulai terbakar dari kejauhan. Perusahaan timah membagi-bagikan air melalui mobil tanki, tetapi hanya untuk pegawai sfat dan kompleks pegawai rendahan. Orang-orang kampung seperti kami harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan air. Sumur-sumur tetangga mulai kering. Walau digali lagi, tetap saja airnya tak kunjung keluar. Kalau keadaan sudah demikian, hanya ada dua sumur yang airnya relatif banyak. Satu sumur milik Kik Endam dan satu lagi sumur di halaman kosong yang kami sebut Lahan Kik Deraham. Beliau mantan lurah Kampung Lalang di zaman kolonial dan sudah meninggal.

Di dua tempat ini saja kami mendapatkan air untuk mandi dan minum. Memikul air dari dua tempat ini ke rumah kami di Kampung Sekip, sungguh-sungguh merupakan pekerjaan yang amat berat. Bahu saya sebelah kanan, terasa hampir miring karena memikul air. Saya tak sanggup memikul air di bahu kiri. Suatu hari saya pernah menggunakan sepeda untuk mengangkut air. Sepeda itu saya tuntun saja. Dua kaleng air berada di belakang. Namun apa daya, sepeda itu terjungkit karena tidak seimbang. Airpun tumpah. Saya kembali lagi ke sumur mengisi air.

Ada satu peristiwa yang masih berkaitan dengan air, yakni tahun 1963. Ketika itu saya sudah sekolah kelas I SD. Kemarau sudah berlangsung lebih dari lima bulan. Sumur dan danau sudah kering semua. Di sumur yang masih berair, orang menimba air sampai malam, menunggu mata air mengalir lagi. Kami mendengar telah terjadi adu mulut di sumur itu karena ada beberapa orang yang dinilai serakah mengambil air dan tak memikirkan keadaan orang lain. Adu mulut seperti ini kalau dibiarkan berlama-lama, bisa-bisa menimbulkan keributan. Maka datanglah beberapa orang ke rumah kami. Mereka bilang pada ayah saya: “Pak Naib – demikian mereka biasa memanggil ayah saya — kemarau sudah terlalu panjang. Bisa-bisa orang kampung berkelahi gara-gara berebut air. Menurut pendapat kami, kini sudah saatnya Pak Naib memimpin sembahyang minta hujan”. Ayah saya nampak berpikir. “Bagaimana Pak Naib” tanya mereka sekali lagi. Ayah saya akhirnya setuju. Dia akan memimpin umat Islam sembahyang istisqa. Tempat sembahyangpun disepakati: di Lapangan Kurban, Kampung Arab. Orang-orang yang datang ke rumah kami itu, akan mempersiapkan upacara sembahyang minta hujan itu.

Keesokan harinya orang beramai-ramai datang ke Lapangan Kurban. Mereka yang datang bukan hanya umat Islam, tetapi juga umat Konghucu dan warga Suku Laut yang menganut animisme. Berbagai jenis binatang seperti sapi, kambing, anjing, kucing dan ayam juga dibawa ke lapangan, baik dikurung maupun diikat di lapangan. Saya hanya berpikir binatang-binatang itu akan diajak sembahyang minta hujan juga. Di dekat lapangan ada sekelompok orang duduk-duduk sambil mengolok-olok dan mentertawakan orang yang akan sembahyang. Mereka rupanya anggota Pemuda Rakyat, organisasi pemuda PKI. Sekelompok pelajar Sekolah Tehnik melintasi mereka dan meneriaki mereka agar jangan mengolok-olok orang yang ingin sembahyang. Mereka minta izin kepala sekolah Ki Agus Hamzah untuk meninggalkan kelas untuk mengikuti sembahyang itu. Engku Hamzah – demikian beliau biasa dipanggil – yang tersohor karena disiplin, mengizinkan murid-murid pergi sembahyang. Namun Engku Hamzah tidak turun ke lapangan. Beliau hanya menitip salam kepada Pak Naib yang akan memimpin sembahyang itu.

Ayah saya datang mengayuh sepeda sambil membawa tas kulit yang sudah lusuh. Di dalam tas lusuh itu ada sehelai jubah putih. Beliau melewati sekelompok anggota Pemuda Rakyat itu dengan perasaan yang tidak enak. Ketika ayah saya lewat, anggota Pemuda Rakyat itu diam saja. Mereka tak berani mengolok-olok, seperti dilakukannya kepada orang lain. Ayah saya memimpin sembahyang Zuhur di lapangan itu dengan mengenakan jubah putih dan berpeci hitam. Udara panas terik bagai gurun pasir. Langit begitu cerah, tak nampak awan yang menutup sinar matahari. Sehabis sembahyang Zuhur, maka sembahyang minta hujan segera dimulai. Saya sembahyang di saf di belakang ayah saya. Saya mendengar suaranya tenang membacakan takbir hingga mengucapkan salam, pertanda sembahyang minta hujan telah selesai.

Sehabis sembahyang itu, beliau memimpin doa yang diaminkan oleh semua jemaah, penganut Konghucu dan semua warga suku Laut. Saya melihat sekujur tubuh ayah saya gemetar memanjatkan doa sambil menitikkan air mata. Semua jemaah terharu dan tenggelam dalam kekhusyukan. Akhirnya kuasa Allah Ta’ala datang juga. Hanya kurang dari sepuluh menit selepas doa dipanjatkan, awan hitam tiba-tiba datang. Orang berteriak di lapangan, awan hitam itu tiba-tiba menitikkan hujan rintik-rintik. Tidak lama, hanya beberapa menit saja. Namun cukup membasahi kepala jemaah di lapangan. Ayah saya langsung sujud syukur dan diikuti oleh sebagian jamaah. Mereka bersalaman dan memeluk ayah saya yang nampak sangat terharu. Hujan siang itu memang hanya sebentar. Tetapi keesokan harinya hujan datang menderu-deru membasahi seluruh kota.

Jauh di belakang hari saya menanyakan kepada ayah saya apa yang dia pikirkan ketika memimpin doa sembahyang minta hujan itu. Beliau hanya mengatakan, semua itu adalah kekuasaan Allah semata. Tuhan akan mengabulkan doa setiap orang yang memohon kepadanya. Namun beliau bertanya kepada saya, apakah saya masih ingat orang PKI yang mentertawakan orang yang sembahyang. Saya katakan, saya masih ingat. Beliau mengatakan, ketika memimpin sembahyang itu, beliau seperti orang bertaruh. Dalam hati, kata beliau, saya meminta kepada Allah agar ditunjukkan kepada orang-orang atheis itu bahwa Tuhan itu ada dan Maha Kuasa. Sekiranya Allah tidak mengabulkan doa minta hujan itu, kata ayah saya, entah bagaimana iman orang di kampung kita. PKI akan semakin menjadi-jadi dan akan semakin memperolok-olokkan agama.

Tiga puluh tahun setelah peristiwa sembahyang minta hujan itu, saya bertemu dengan orang sekampung. Namanya Suhaimi, tetapi sering dipanggil Buang. Ketika kami ngobrol tentang ayah saya, tiba-tiba Buang bercerita bahwa dia juga ikut sembahyang minta hujan itu. Ketika itu Buang masih kelas I Sekolah Tehnik. Bahkan dia yang meminta izin Engku Hamzah agar murid-murid diizinkan meninggalkan kelas untuk pergi sembahyang. Seperti telah saya katakan, Engku Hamzah memang mengizinkan, walau beliau sendiri tidak pergi ke tanah lapang untuk ikut sembahyang. Setelah murid-murid Sekolah Teknik itu kembali ke sekolah dan menceritakan kepada Engku Hamzah, bahwa hujan benar-benar turun setelah sembahyang itu, Engku Hamzah nampak tertegun. Beliau hanya berkomentar “Pak Naib itu memang sakti”. Murid-murid diam semuanya. Mereka tak berani mengomentari ucapan Engku. Mereka tahu Engku Hamzah itu mempunyai pemikiran keagamaan yang cenderung ke arah mistik. Engku Hamzah itu sahabat baik ayah saya. Mereka bersahabat sampai usia senja.

Masalah air di Kampung Sekip itu tetap saja tak pernah terselesaikan. Satu-satunya jalan, saya harus mengisi air pagi-pagi sekali, agar saya dapat mengerjakan yang lain. Di belakang rumah, kami juga telah membuat sumur sekedar untuk mencuci piring dan menyiram pohon-pohon. Maka saya pergi mengambil air sambil mandi pagi. Saya belum sekolah ketika itu, tahun 1962. Saya sudah ingin sekali sekolah sejak keluarga kami pindah ke Manggar, ketika saya berusia lima tahun. Saya katakan kepada ibu, saya ingin masuk taman kanak-kanak, yang letaknya tidak jauh dari rumah kakek saya. Banyak anak tetangga rumah kakek saya yang sekolah di situ. Tapi ibu saya bilang, ayah seorang pegawai negeri. Beliau bukan pegawai perusahaan– maksudnya perusahaan timah – sehingga saya tak boleh sekolah taman kanak-kanak itu.

Saya masih ingat benar tanggal 1 Agustus 1963, saya lagi-lagi ingin sekolah masuk SD. Ayah saya membawa saya ke sekolah SD II di samping Kuburan Kampung Lalang, untuk mendaftar. Saya melihat banyak anak-anak yang datang dibawa orang tuanya untuk mendaftar juga. Kepala sekolah menanya ayah saya, tanggal lahir saya. Ayah bilang tanggal 5 Pebruari 1956. Namun Kepala Sekolah, Abubakar Madjid, mengatakan saya belum boleh sekolah karena umurnya belum tujuh tahun. Umur saya baru enam setengah tahun. Ayah saya menjelaskan bahwa badan saya sudah tinggi, melebihi ukuran anak-anak sekampung yang seusia. Beliau juga menjelaskan bahwa saya sudah pandai membaca, menulis dan berhitung walaupun belum sekolah. Pak Abubakar Madjid sekali lagi minta maaf, karena semua murid yang masuk sekolah akan dilaporkan kepada Pak PS (Penilik Sekolah). Kalau saya diterima, dan nanti diperiksa Pak PS, saya akan dikeluarkan lagi.

Saya merasa sangat sedih tidak diterima masuk sekolah. Kami pulang berjalan kaki ke Kampung Sekip. Ayah saya nampak kasihan kepada saya. Saya tak habis berpikir, mengapa saya yang sudah pandai membaca dan menulis huruf Latin dan huruf Arab, ditolak masuk sekolah hanya karena usianya kurang enam bulan. Saya melangkah gontai pulang ke rumah. Pakaian saya sudah sangat lusuh, namun dicuci bersih oleh ibu saya karena ingin mendaftar sekolah. Namun kaki saya, tanpa alas kaki samasekali. Pemandangan seperti itu baiasa di tahun 1960-an. Anak-anak SD pergi sekolah tanpa alas kaki. Kami hidup miskin, membeli sendal jepit saja kami tak mampu, jangankan membeli sepatu. Saya harus menunggu tanggal 1 Agustus 1963, baru boleh sekolah ketika umur saya tujuh setengah tahun. Dalam perjalanan pulang, ayah saya mengatakan agar saya terus belajar sendiri di rumah. Saya menurut saja. Maka saya membaca majalah-majalah ayah saya, sekedar membaca tanpa banyak mengerti maksudnya. Majalah yang saya baca itu ialah Majalah Gema Islam yang diterbitkan Buya Hamka. Ada juga Mingguan Pedoman dan Majalah Gembira. Juga ada majalah Sketmasa, terbitan Surabaya. Saya juga membaca komik dan cerita anak-anak kepunyaan kakak-kakak saya. Setiap kali ada majalah datang, saya akan duluan membacanya.

Karena luntang lantung tidak dapat masuk sekolah, maka sehabis mengisi air dan membantu ibu di rumah, saya berkelana saja ke segenap pelosok kampung berjalan kaki tanpa alas kaki, sambil membawa ketapel — kami menyebutnya dengan istilah Peletikan –– atau mendorong gelindingan. Ketapel itu saya buat sendiri menggunakan dahan kayu seperti huruf Y. Kami menyebut kayu itu Pempang. Pada ujung kayu itu diikatkan dua karet bekas ban sepeda. Ujung karet yang lain dikasi guntingan kulit bekas sepatu atau bekas tas kulit untuk meletakkan batu kerikil yang menjadi “peluru” ketapel itu. Kami menyebut kulit itu Belulang. Kadang-kadang saya berkelana sendirian, kadang-kadang rombongan dengan anak-anak yang lain. Saya memang kurang mahir menggunakan ketapel dibandingkan anak-anak yang lain. Teman kami bernama Samsudin dan Saharan paling jago menggunakan ketapel. Saharan, anak Pak Harman, memiliki banyak kambing. Dia selalu membawa ketapel sambil menjaga kambingnya yang dikasi makan di pinggir hutan. Saharan agak nakal. Dia kadang-kadang menembak lampu listrik penerangan jalan dengan ketapel dan pecah. Dia selalu menembak dengan tepat, jika kami adu kemampuan menggunakan ketapel.

Dengan modal ketapel itu kami masuk hutan sambil membawa beling untuk menyembelih burung yang jatuh kena ketapel. Samsudin dapat menjatuhkan beberapa ekor burung, meskipun burung itu sangat kecil dan tinggi sekali di dahan pohon. Saya kadang-kadang dapat burung, kadang-kadang tidak. Burung yang sudah setengah mati tertembak peluru ketapel itu cepat-cepat kami sembelih menggunakan beling. Kami sudah diajari orang yang lebih tua, kalau burung sudah mati diketapel, tidak boleh dimakan lagi. Burung harus disembelih dulu sepanjang nyawanya masih ada dengan membaca Bismillah. Dari berkelana di hutan-hutan itu, saya hafal nama segala jenis burung yang ada di sana. Saya juga mengetahui mana burung yang boleh dimakan dan mana yang tidak. Bahkan ada jenis burung tertentu yang tidak boleh diketapel, yakni Burung Terakup yang bersarang di rumput lalang, Burung Murai Hitam dan Burung Bebirik. Ketiga jenis burung ini dipercaya sebagai sahabat atau jelmaan hantu, yang dapat menimbulkan malapetaka kalau dibunuh. Burung Hantu atau Burung Kulik Kual, yang sering muncul di malam hari ketika angin teduh, juga termasuk jenis burung yang tidak boleh diketapel. Burung Hantu dipercaya sebagai hantu itu sendiri.

Kalau saya pulang membawa burung, ibu saya akan menggoreng burung itu untuk saya makan dan adik-adik saya yang masih kecil. Kalau Burung Pentis yang saya bawa pulang, daging burung itu sedikit sekali setelah bulunya dibersihkan. Biarpun sedikit lumayan anak-anak dapat makan daging burung. Kalau burung agak besar saya bawa pulang, seperti burung Punai Hutan, maka ibu saya akan menggulai burung itu. Agar dapat dinikmati seluruh keluarga, daging burung yang sedikit itu dimasak dengan singkong dengan kuah santan berwarna kuning. Tentu sekuali gulai itu penuh dengan singkong. Lumayan juga, kuah gulai itu tetap terasa daging burungnya. Orang Suku Laut, kata ayah saya, bahkan menyelenggarakan pesta hanya dengan dua ekor Burung Kerucik yang sangat kecil, setelah mereka berburu tanpa hasil kecuali dua ekor burung itu. Namun mereka menyediakan empat kawah besar untuk memasaknya. Kawah itu penuh ubi dan keladi. Agar kuahnya terasa daging burung, maka dua kerucik tadi dicelup-celupkan bergantian di empat kawah tadi. Maka orang Laut pun berpesta memukul gendang dan gong sambil menari dan berpantun semalam suntuk, hanya dengan modal dua ekor Burung Kerucik. Kami semua tertawa mendengar cerita ayah saya.

Ketapel yang selalu kami bawa itu, bukan hanya dipergunakan untuk menembak burung, tetapi juga untuk mengusir biawak yang sering masuk kampung. Walaupun kena ketapel biawak tidak pernah mati. Namun rombongan biawak akan segera lari jika diketapel agar tidak menganggu ayam orang kampung. Ular yang melingkar di pohon juga jadi sasaran ketapel sampai mati. Sesekali kami juga menembakkan ketapel untuk memetik buah-buahan. Orang yang punya kebun, biasanya akan mengizinkan anak-anak mengetapel buah jambu monyet, jambu biji atau buah-buahan lain. Mereka tahu, kalau anak-anak hanya ingin memakan buah itu. Mereka bahkan mengizinkan anak-anak memanjat untuk memetik buah. Di antara sekian banyak pemilik kebun, hanya Pak Lihap, yang sangat pelit dan tidak pernah mengizinkan anak-anak masuk ke kebunnya. Sebab itulah, suatu hari ketika Pak Lihap tidak dikebun, kami beramai-ramai menyerbu kebunnya memetik buah dan mengetapel.

Namun hari itu nasib kami sial. Pak Lihap tiba-tiba muncul dikebunnya sambil mencabut parang dari pinggangnya. Dia meneriaki anak-anak supaya pergi sambil mengacungkan parang. Kami lari tunggang-langgang. Sebagian ada yang terpaksa melompat dari pohon dan berlari. Setelah kami berkumpul, kami semua sepakat mengatakan Pak Lihap itu manusia paling pelit di kampung kita. Namun sejak itu, kami tak mau masuk ke kebunnya. Kami bahkan mengatakan, kalau suatu ketika Pak Lihap memberi kami buah, kami akan menolaknya. Kalau nanti Pak Lihap mati, maka buah-buahan itu akan ditanam bersama jasadnya di liang lahat. Kami kesal sekali dengan Pak Lihap. Beliau memang warga kampung yang kurang bersahabat. Dia hidup menyendiri dan jarang bergaul dengan warga masyarakat lainnya.

Dari hobi berkelana ke kebun-kebun dan hutan itu, secara bertahap saya mulai suka dengan hutan. Berjalan keluar masuk hutan membawa kenikmatan tersendiri dan sedikit melupakan kesusahan hidup sebagai anak kecil di kampung. Teman saya Minan– ayahnya orang Bugis karena itu disebut Ismail Bugis dan ibunya orang Belitung – adalah rekan saya keluar masuk hutan, sampai hutan rimba. Kami ke hutan kadang-kadang mencari kayu, mencari ikan air tawar atau menangkap burung. Kadang-kadang hanya berkelana keluar masuk hutan tak tentu tujuan. Kalau masuk hutan saya selalu membawa ketapel dan parang yang dimasukkan sarung kayu dan diikatkan dipinggang. Kami keluar masuk hutan tanpa alas kaki. Begitu sering saya keluar masuk hutan, membuat saya hafal nama-nama kayu di dalam hutan dan kegunaannya. Saya juga tahu kayu yang kuat untuk dijadikan bahan bangunan dan mana kayu yang lempung yang mudah dilobangi kumbang untuk bersarang.

Kalau musim hujan tiba, air danau di hutan bisa setinggi leher. Namun ketika musim kemarau, air kering kerontang dan hutan mudah terbakar. Kalau musim hujan kami memasang banjor seperti saya ceritakan untuk memancing ikan gabus, mentutu, keli dan kadang-kadang memancing ikan linggang. Kalau musim kemarau, kami menggali akar tuba untuk meracuni ikan. Akar tuba itu ditumbuk lebih dulu dan diperas sehingga berwarna seperti susu. Air itu dituangkan ke dalam danau yang mengering dan airnya tinggal sedikit. Dalam sekejap ikan akan menggelepar keracunan. Kami tinggal menangkapi ikan-ikan yang pingsan itu. Kalau air benar-benar kering, tuba tidak dapat digunakan lagi. Kami harus menggali tanah dan mencari ikan yang bertahan hidup disela-sela akar kayu atau di dalam lumpur yang ditumpuhi rumput-rumputan danau. Kami menyebut kegiatan itu nyekau. Kegiatan ini berisiko karena salah-salah bisa nyekau ular piton di dalam lobang lumpur.

Kami tidak pernah membawa bekal air masuk ke hutan. Kalau musim hujan kami minum air danau atau air yang parit yang jernih dan mengalir. Kadang-kadang kami menimba sumur orang di kebun di pinggir hutan dan langsung meminumnya. Di musim kemarau, kalau haus telah menyengat, kami akan menebang pohon gerunggang atau pohon betor. Pohon itu diruncing pada bagian bawahnya dan digantungkan di dahan pohon. Dari runcingan itu akan keluar air yang rasanya payau dan dapat diminum. Di dalam hutan, kami dapat menemukan buah-buahan hutan yang dapat dimakan. Harus hati-hati juga karena harus pandai membedakan mana buah yang mabuk dan yang tidak. Kalau buah itu sering di makan binatang, maka buah itu pasti tidak mabuk. Daun dalam hutan juga dapat direbus untuk dimakan. Sepanjang daun itu menjadi empuk kalau direbus, itu berarti daun itu boleh dimakan. Berbagai jenis keladi dalam hutan juga dapat direbus atau dibakar untuk dimakan.

Binatang yang kami takutkan di dalam hutan, sungai dan rawa-rawa ialah buaya dan ular. Untuk itu perasaan memang harus sensitif betul, agar kita tahu bahwa di sana ada buaya atau ular berbisa. Ular piton, kalau berukuran besar juga bisa memakan manusia, dengan cara melilitnya lebih dahulu. Saya beberapa kali bertemu buaya, baik di Sungai Mirang maupun di Kampung Bakau, tidak jauh dari Kampung Sekip. Namun masih dapat menghindar karena jaraknya masih relatif jauh. Melawan buaya percuma saja, kecuali sudah belajar ilmu buaya. Celakanya, kalau belajar ilmu buaya, jika mati akan menjelma menjadi buaya pula. Demikian kepercayaan masyarakat Belitung. Berkali-kali kami bertemu ular dan kadang-kadang berhasil membunuhnya. Ular yang berbahaya adalah jenis tedung atau ular kobra berwarna hitam dan ular manau. Kalau babi hutan, kami tidak takut. Serombongan babi hutan dengan mudah dapat dikecoh, karena binatang itu lari lurus saja tanpa berbelok.

Saya bertiga dengan teman pernah tersesat di dalam hutan karena hujan deras bukan kepalang. Pemandangan di sela-sela pohon gelap sekali karena matahari tidak nampak. Ranggas pohon yang kami potong sebagai pedoman agar dapat kembali ke arah dari mana kami masuk, tak nampak lagi karena dahan-dahan pohon telah tertimpa hujan. Kami kehilangan arah. Kalau kami memanjat pohon untuk melihat arah dari ketinggian juga sia-sia karena pemandanga begitu gelap. Kami sudah tidak tahu jam berapa. Dalam situasi seperti itu saya teringat apa yang diajarkan kakak saya Yusfi. Dia mengatakan kita harus melihat pohon yang merambat di pohon besar, lihatlah pucuk pohon itu, dia akan selalu menunjuk arah matahari terbit di sebelah timur. Kami tahu kami masuk hutan dari arah timur dari daerah Janting, maka kami harus kembali menerobos hutan ke arah timur lagi mengikuti arah pucuk pohon merambat itu. Setelah kira-kira dua jam, kami sampai di Janting di pinggir hutan. Hari sudah lewat maghrib. Saya sampai ke rumah selepas isya dengan baju basah kuyup. Orang tua saya cemas sekali kalau-kalau saya hilang di hutan atau dimakan buaya.

Sebelum kami tersesat di dalam hutan itu, perasaan kami memang terasa tidak enak, ketika bertemu seorang laki-laki setengah tua sendirian di dalam hutan. Kami menegur lelaki setengah tua yang membawa parang di pinggangnya. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan segera berlalu. Kami tidak mengenal orang itu, dia pasti bukan orang kampung kami. Kalau orang kampung kami, kami kenal semua. Minan teman saya mengatakan laki-laki itu adalah Sebayak, yakni manusia jadi-jadian yang sering muncul di dalam hutan. Tetapi saya tak percaya. Saya melihat lelaki itu biasa-biasa saja. Tidak ada prilaku aneh padanya. Minan tetap yakin, kami tersesat karena mata kami telah dibuat keliru pandang oleh Sebayak itu. Namun saya tetap tak percaya. Saya merasa, kami tersesat di dalam hutan karena hujan lebat dan cuaca menjadi gelap sehingga kami kehilangan arah. Belakangan saya baru mengerti. Kami rupanya masuk terlalu jauh ke dalam Rimba, demikian kami menyebut hutan itu, dari Janting tempat kami masuk hingga mendekati Ngarawan, kampung lain yang terletak di jalan raya antara Manggar dan Gantung. Mungkin laki-laki yang kami temui di dalam rimba itu berasal dari Kampung Ngarawan, sehingga kami tidak mengenalnya.

Kegemaran saya keluar masuk hutan itu berlangsung kira-kira enam tahun lamanya. Saya mulai jarang melakukannya ketika saya masuk SMP. Saya pernah menapak tilas perjalanan saya di masa lalu itu tiga puluh tahun kemudian. Ternyata rute yang saya lalui menunju hutan itu jauh sekali. Padahal waktu itu saya menempuhnya berjalan kaki tanpa alas kaki. Jarak antara Kampung Sekep dengan Muara Sungai Mirang (lihat foto di atas), misalnya tidak kurang dari 10 km. Di waktu kecil, rupanya saya biasa berjalan kaki membawa parang, ambong, joran pancing dan ketapel menempuh jarak sekitar 20 km pulang pergi tanpa alas kaki, tanpa merasa lelah. Pengalaman keluar masuk hutan itu membuat saya lebih berani menghadapi marabahaya. Saya mengenal dan hafal nama-nama berbagai jenis kayu di dalam hutan. Saya dapat menggunakan rotan, akar kayu dan bahkan daun ilalang untuk dijadikan tali pengikat kayu-kayu. Perasaan juga menjadi begitu tajam dan sensitif terhadap binatang buas, khususnya ular dan buaya. Saya juga mengenal nama-nama makhluk halus yang dipercaya masyarakat Belitung sebagai makhluk penghuni hutan belantara.

Teman saya bernama Minan itu sungguh banyak jasanya mengajari saya berkelana di hutan belantara. Dia cukup pintar di sekolah. Sayang, ayahnya Ismail Bugis dan pamannya Bujang Atim, terlalu memanjakannya. Ketika kami tamat SD saya mengajak Minan masuk SMP. Tetapi dia tidak mau, walau pamannya Bujang – yang benar-benar bujang karena tak pernah kawin seumur hidupnya– sanggup membayar biaya sekolahnya. Bujang bekerja sebagai sekretaris Lurah Daeng Semaong. Setelah tamat SD saya jarang bertemu Minan. Saya dengar dia menjadi nelayan. Minan wafat tiga tahun yang lalu karena menderita sakit TBC, ketika umurnya 49 tahun. Hidupnya sangat miskin. Dia tetap menjadi nelayan sambil menanam lada di daerah Gantung. Kalau saya teringat dengan teman saya itu, hati saya sering merasa sedih.

Kisah Kenang-Kenangan Di Masa Kecil ini, masih akan saya lanjutkan ketika saya mulai akrab dengan laut pada Bagian VI nanti. Saya juga akan bercerita bagaimana saya membantu ibu saya membuat minyak kelapa. Dari kegiatan membeli kelapa karena disuruh ibu saya, saya pernah mempunyai professi memanjat pohon kelapa dengan mendapat upah kelapa juga. Di Sumatra Barat dan di Malaysia, pekerjaan itu dilakukan beruk, hewan sebangsa monyet. Namun dalam hidup saya di masa kecil, saya pernah melakukan pekerjaan yang menjadi profesi beruk itu, demi mempertahankan kelangsungan hidup dan membantu keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Insya Allah, saya diberi kesempatan untuk meneruskan kisah ini selanjutnya.

Wallahu’alam bissawab.


Satu Balasan ke Novel

  1. m.rasyid t al'lak berkata:

    novelnya baik,…bisa di jadikan insfiras….

Tinggalkan komentar