Kisah Pembangun Jiwa

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL

(Bagian I)


Kisah Pembangun Jiwa…
Tentang masa-masa kecil Yusril Ihza Mahendra
Bintang itu bersinar dari negeri nun jauh disana..Manggar Beltim


Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Syahdan menurut ibu saya, saya dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 5 Pebruari 1956 di Kampung Lalang, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Tanggal kelahiran itu pasti, bukan rekaan, karena saya melihat buku harian ayah saya, yang mencatat dengan teliti berbagai peristiwa penting dalam keluarga dan kehidupannya. Saya dilahirkan di rumah kakek saya dari pihak ibu dalam sebuah kamar, yang dapat saya saksikan sampai tahun yang lalu, sebelum rumah tua terbuat dari kayu itu dirubuhkan karena sudah dimakan rayap. Ibu saya sebenarnya ingin melahirkan saya di rumah sakit. Namun ambulan yang dipanggil, rupanya sedang menjemput orang lain yang juga ingin melahirkan. Saya sudah lahir lebih dahulu, ketika ambulan tiba ke rumah. Hanya kakek dan nenek saya yang membantu ibu saya melahirkan. Setelah itu barulah bidan dan jururawat datang ke rumah dan membantu, ketika bayi sudah dimandikan dan diberi baju .

Saya lahir sebagai anak yang ke enam.Sesudah saya masih ada lima lagi anak-anak yang lahir dari orang tua saya. Seluruhnya ada sebelas orang. Dengan posisi anak keenam, saya berada di urutan tengah. Punya lima kakak dan punya lima adik. Keluarga kami hidup dengan sederhana dan bersahaja. Rumah keluarga kami, terbuat dari kayu menggunakan dinding dari kulit kayu pula. Atapnya sebagian terbuat dari sirap kayu bulian, dan sebagiannya lagi terbuat dari daun nipah. Rumah itu terletak di belakang pekarangan rumah kakek saya dari pihak ibu. Saya tidak dapat lagi mengingat rumah itu. Namun foto rumah itu masih ada. Tidak lama sesudah saya lahir, keluarga kami pindah ke rumah yang dibuat oleh ayah saya sendiri. Rumah itu terletak di Kampung Sekip. Rumah inipun terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu juga, dan beratapkan daun nipah. Foto rumah inipun masih ada, yang dibuat ayah saya di tahun 1958. Ayah saya banyak menyimpan foto-foto lama berwarna hitam puith yang sampai sekarang masih disimpan ibu saya dengan baik. Ketika usia saya dua tahun, keluarga kami pindah ke Tanjung Pandan. Ayah saya, yang semula menjadi penghulu mengurus hal-ikhwal perkawinan, rupanya diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di kota itu.

Saya mulai ingat sedikit-sedikit ketika kami tinggal di Tanjung Pandan. Ayah saya menyewa sebuah rumah, yang juga terbuat dari kayu, di Kampung Parit, Tanjung Pandan. Rumah itu tidak ada penerangan listriknya, sehingga saya melihat kakak-kakak saya belajar dengan penerangan lampu minyak tanah. Saya masih ingat, peralatan rumah itu hanya ala kadarnya. Hanya ada empat kursi terbuat dari rotan, sebuah tempat tidur dan peralatan dapur yang sangat sederhana. Saya dan kakak-kakak saya tidur di lantai menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan. Kendaraan satu-satunya yang dimiliki keluarga kami, hanyalah sebuah sepeda, yang selalu digunakan ayah saya untuk pergi bekerja, ke pasar atau mengajar di sebuah madrasah, dan pergi berdakwah di berbagai mesjid dan musholla di kota itu. Saya sering dibonceng ayah saya pergi berdakwah dan saya bermain-main di mesjid dengan anak-anak yang lain.

Saya masih ingat juga, suatu ketika ayah saya mengajar agama kepada narapidana di Penjara Tanjung Pandan. Saya ikut masuk ke dalam penjara, dan menyaksikan orang-orang berada dalam jeruji besi. Waktu kecil itu saya tidak mengerti apa yang terjadi. Saya bertanya kepada ayah saya mengapa orang itu dikurung. Ayah bilang, mereka dihukum karena melakukan kejahatan. Ayah saya juga mengajar agama kepada polisi. Saya masih ingat kepala polisi di sana, namanya Abdullah Paloh. Beliau itu orang tua dari Pak Brewok, Surya Paloh, yang belakangan hari tersohor namanya sebagai raja dunia media massa. Kepala polisi yang lain, namanya Mohammad Said, yang begitu dekat persahabatannya dengan ayah saya.Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Said di Tanjung Karang, Lampung. Beliau sangat senang dan bahagia, dan bercerita banyak tentang persahabatannya dengan ayah saya di masa lalu.

Saya masih ingat juga, yang menjadi bupati di Belitung waktu itu ialah Zainal Abidin Pagar Alam, yang kemudian menjadi Gubernur Lampung. Anaknya saya kenal namanya Syahruddin Pagar Alam, yang sekarang menjadi Gubernur Lampung sepeti ayahnya dahulu. Saya masih ingat, Zainal Abidin Pagar Alam itu tokoh PNI. Ayah saya aktivis Masyumi. Namun kedua orang itu bersahabat dan sering bertukar-pikiran. Saya sering mendengarkan ayah saya berbicara dengan tokoh-tokoh itu. Karena masih kecil, tentu saya tidak mengerti. Sekarang saya tidak ingat lagi apa yang mereka bicarakan.Tetapi saya masih ingat orang-orang itu.

Saya juga masih ingat dengan Pak Djarot, ayah Eros dan Slamet Rahardjo. Mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami. Pak Djarot waktu itu menjadi komandan Pangkalan Udara Tanjung Pandan. Saya sering bermain-main di halaman rumah Pak Djarot yang ukurannya besar dan terbuat dari beton. Rumah itu nampaknya peninggalan zaman Belanda. Saya masih ingat Slamet Rahardjo pakai baju Pramuka – waktu itu disebut Pandu — dan terlihat gagah. Dia sering naik sepeda dengan teman-temannya. Di belakang hari Eros menjadi terkenal sebagai musisi dan sutradara film. Slamet juga menjadi aktor besar dalam perfileman Indonesia. Kalau pagi hari saya melihat mereka pegi sekolah naik jeep Angkatan Udara. Mungkin jeep itu buatan Rusia, saya ingat warnanya biru. Waktu itu saya belum sekolah. Kakak-kakak saya pergi sekolah berjalan kaki. Kalau pagi mereka sekolah di Sekolah Rakyat (atau sekolah dasar sekarang). Kalau sore mereka sekolah lagi di madrasah. Ibu saya menyebut madrasah itu Sekolah Arab.

Tidak jauh di depan rumah kami itu ada keluarga Pak Sulaiman Talib. Beliau sebenarnya berasal dari Manggar juga, namun nampaknya sudah lama menetap di Tanjung Pandan. Keluarga kami sangat akrab dengan keluarga beliau, sehingga sudah seperti keluarga sendiri. Di dekat rumah Pak Sulaiman Talib itu, di pertigaan jalan, hampir berdekatan dengan rumah Pak Djarot, tinggal keluarga Pak Ahmad. Beliau itu memiliki bengkel reparasi radio di rumahnya. Zaman itu belum ada televisi. Orang yang memiliki kulkas pun sangat jarang. Di rumah beliau itu ada peralatan bermain musik. Anak-anaknya pandai bermain gitar dan sering bertlatih musik di rumahnya. Saya selalu bermain-main di rumah itu dan melihat banyak sekali radio rusak yang sedang diperbaiki. Ayah saya tidak punya radio. Di zaman itu radio adalah barang mewah yang tak semua orang sanggup membelinya. Jadi kami mendengar radio di rumah Pak Ahmad. Saya juga senang menonton mereka latihan musik. Saya mencoba mengingat nama anak-anak Pak Ahmad, tetapi hanya satu yang saya ingat, panggilannya Yar. Sampai sekarang saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Walaupun keluarga kami hidup miskin dan bersahaja, saya merasakan orang tua kami begitu sayang kepada anak-anaknya. Mereka tidak pernah mampu membelikan mainan seperti anak-anak zaman sekarang. Jangankan untuk membeli mainan, untuk makan saja sudah sangat susah. Gaji ayah saya sebagai pegawai negeri sangat kecil. Kami makan dengan lauk-pauk seadanya. Yang penting kata ibu saya, ada beras di rumah. Membeli gula pasir saja, orang tua saya tidak mampu. Saya sering melihat ayah saya minum kopi dengan gula aren yang murah harganya. Dalam keadaan miskin seperti itu, saya dan kakak-kakak saya bermain apa adanya. Karena kakak di atas saya perempuan, maka saya sering main masak-masakan menggunakan kulit timung. Kulit timung itu diletakkan di atas tungku yang apinya kami nyalakan dari kayu. Yang dimasak hanya tanah dan daun-daunan. Saya juga membuat kuda-kudaan dari pelepah pisang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Mobil-mobilan itu ditarik ke sana kemari menggunakan tali terbuat dari daun purun atau pelepah pisang.

Rumah sewaan ayah saya di Kampung Parit itu sering tergenang air kalau musim hujan tiba. Di belakang rumah memang ada sungai, tempat ibu saya mencuci pakaian. Saya dan kakak-kakak saya sering mandi di sungai itu. Kadang-kadang kami memancing atau menyerok ikan. Genangan air kadang-kadang sampai ke jalan raya, sehingga jalan yang menghubungkan Kampung Parit dengan Kampung Amau di sebelahnya terputus. Namun kalau air meluap, saya dan kakak-kakak justru saya merasa senang. Kami dapat bermain rakit yang terbuat dari kayu atau pohon pisang dengan teman-teman tetangga. Anak-anak di sekitar rumah saya itu terdiri dari berbagai suku. Di samping orang Belitung, ada juga suku Bugis, Bawean, Madura, Palembang, Jawa dan Batak. Ada juga anak-anak keturunan Cina yang menjadi tetangga kami.

Suatu ketika, tatkala air mulai surut dan tanah terkena erosi, saya sedang bermain dengan kakak perempuan saya. Kami melihat ada bekas pecahan-pecahan keramik di permukaan tanah. Saya mendapat sebuah mangkok Cina yang masih utuh bentuknya. Mangkok itu saya bawa pulang. Ibu saya menggunakan mangkok itu sebagai tempat sabun untuk mencucui piring. Saya sangat senang dengan mangkok itu. Suatu ketika ketika saya sudah menjadi Menteri, saya bertanya kepada ibu saya tentang mangkok yang saya dapatkan ketika saya masih kecil. Ibu saya bilang, mangkok itu masih ada. Saya membawa mangkok itu ke Jakarta dan menyimpannya di antara koleksi keramik yang saya miliki. Mangkok itu saya tandai sebagai koleksi keramik pertama yang saya miliki. Setelah usia saya agak tua, saya mulai studi tentang keramik dan mengkoleksi keramik dari berbagai tempat. Saya baru mengerti keramik yang saya dapat di masa kecil itu berasal dari Dinasti Ching, di buat pada abad ke 18. Ketika keramik itu saya dapatkan, usia saya baru sekitar empat tahun.

Tidak jauh dari rumah sewaan ayah saya di Kampung Parit itu, ada sebuah surau yang terletak dekat jembatan di tepi jalan. Setiap magrib, ayah saya selalu sembahyang di surau itu. Semua anak-anak ikut sembahyang sambil bermain dengan teman-teman. Kadang-kadang saya menyaksikan kakak saya yang paling tua, namanya Yuslim, melantunkan azan magrib di surau itu setelah beduk magrib ditabuh. Ayah saya selalu menjadi imam. Saya tidak dapat lagi mengingat nama teman-teman sebaya saya bermain di surau itu. Saya hanya mengingat tiga nama yang usianya lebih tua dari usia saya. Pertama Sulaiman, dia sebenarnya masih keluarga dari pihak ibu saya. Kedua Said, dia anak Pak Sulaiman Talib, tetangga dan sahabat baik ayah saya. Ketiga namanya Jusuf, dia anak orang India Muslim. Saya masih bertemu dengan ketiga orang ini sampai jauh di kemudian hari. Suatu ketika saya bertemu Jusuf, sedang berjualan bahan pakaian di sebuah kios di pasar Tanjung Pandan.

Karena keluarga kami miskin dan bersahaja, ayah saya tak pernah sanggup mengajak anak-anaknya pergi berjalan-jalan ke tempat hiburan. Dua hal yang masih saya ingat dengan jelas ketika berusia empat tahun, ialah ayah saya mengajak kami sekeluarga naik perahu pergi ke sebuah tempat, namanya Juru Seberang. Di tempat itu ada Penghulu Asir, seorang keturunan suku Laut yang telah memeluk agama Islam dan menjadi penghulu agama. Saya ingat anak Penghulu Asir yang bernama Salam. Dia cekatan mendayung perahu dari Pelabuhan Tanjung Pandan ke Juru Seberang. Sampai hari ini, saya tidak pernah bertemu lagi dengan Salam, entah dia masih hidup atau sudah wafat. Di Juru Seberang, kami nginap semalam. Ayah saya memberikan pengajian agama di sebuah mesjid di kampung itu. Kami bermain-main di halaman mesjid. Banyak sekali anak-anak datang bermain, sementara orang tua mereka mendengarkan ceramah ayah saya.

Hal kedua yang saya ingat ialah, saya ikut ayah saya menyaksikan perayaan “Hantu Besar” di sebuah kelenteng Cina di Pasar Tanjung Pandan. Dalam bahasa Cina hantu besar itu disebut Thai Si A. Saya tidak tahu persis riwayat perayaan ini. Apa yang saya lihat ialah ada makhluk besar dibuat seperti hantu. Kerangkanya dibuat dari bambu dan dibungkus kertas berwarna meraha. Kepalanya berwarna hitam agak menyeramkan dan diikat dengan sehelai kain merah pula. Siang hari aneka kesenian Cina seperti barongsai dipertunjukkan, dengan tabuhan genderang, terompet dan gong kecil yang memekakkan telinga. Kami menonton sampai malam, saat hantu besar dibakar. Sekelompok orang memperebutkan kain merah pengikat hantu besar, di tengah kobaran api. Saya bertanya kepada ayah saya untuk apa kain merah itu diperbutkan. Beliau bilang, ada kepercayaan bahwa kain merah itu membawa berkah. Tetapi ayah saya bilang, beliau tidak percaya.

Lebih dari dua hal yang saya ceritakan di atas, saya tidak ingat lagi ketika ayah saya mengajak saya menonton hiburan. Sekali dua kali, saya ikut kakak saya pergi menonton film kartun atau film “Gelora Indonesia”, yakni film penerangan Pemerintah, yang masih berwarna hitam-putih. Film itu diputar di bioskop PN Timah. Di sini orang nonton gratis saja. Ada bioskop kepunyaan Pak Rachman – ayah bintang film Jenny Rachman — di Tanjung Pandan. Tapi seingat saya, saya tidak pernah nonton di situ, maklum harus bayar. Sedang kami tak punya uang untuk membeli karcis. Kadang-kadang, saya ikut kakak saya pegi memancing ikan di jembatan Tanjung Kubu. Kadang-kadang kami dapat ikan baronang– orang Belitung menyebutnya ikan libam. Lumayan untuk makan sekeluarga. Jarak dari rumah kami ke Tanjung Kubu, kira-kira lima kilometer. Kami menempuhnya berjalan kaki, sambil membawa pancing. Seingat saya keluarga kami pernah sekali pergi ke Tanjung Kelayang, daerah tempat wisata yang sangat indah pemandangan lautnya. Waktu itu pengelola tempat itu adalah seorang wanita Belanda, namun suaminya orang Belitung, namanya Junus. Keluarga mereka cukup dekat dengan keluarga kami.

Satu hal yang tak dapat saya lupakan ketika tinggal di Kampung Parit, ialah kedatangan nenek saya dari Manggar, kota kelahiran saya. Jarak antara Manggar dan Tanjung Pandan, sekitar 90 kilometer. Kalau nenek datang, beliau selalu membawa pisang dan buah-buahan lainnya. Kami sungguh sukacita dengan buah-buahan itu. Nenek juga mengajak kami ke pasar dan membelikan kami baju baru. Satu hal yang tetap saya ingat sampai sekarang, ialah ketika nenek membawa dua ekor anak kucing untuk saya dan kakak saya yang perempuan. Anak kucing itu dibawa dalam karung terbuat dari daun lais. Saya sungguh suka cita dengan anak kucing itu. Kucing itu saya pelihara sampai besar. Sejak itu, saya sangat suka dengan kucing, sampai sekarang. Tapi sayangnya, ketika keluarga kami pindah rumah, kucing itu hilang. Saya sangat sedih setelah mencari kucing itu ke sana ke mari, namun tidak bertemu. Sejak itu saya mengerti kucing sebenarnya mencintai rumah. Ketika pindah rumah, kucing menjadi bingung, dan pergi meninggalkan rumah yang baru ditempati itu.

Seingat saya ada sekitar dua tahun kami tinggal di Kampung Parit itu. Keluarga kami kemudian pindah ke jalan Sijuk di Tanjung Pandan. Rumah yang kami tempati agak besar ukurannya. Terbuat dari kayu juga dan lantainya agak tinggi. Halamannya luas dan banyak pohon buah-buahan. Berbeda dengan rumah di Kampung Parit, rumah ini ada penerangan lsitriknya. Tetapi listriknya hanya nyala tiga kali seminggu, selebihnya padam karena bergiliran. Ayah saya pindah ke rumah ini karena tidak perlu membayar sewa. Rumah itu milik paman beliau, namanya Moestar. Anak Pak Moestar, namanya Ismail, menempati sebuah rumah terbuat dari beton di samping rumah yang kami tempati. Saya mulai banyak mengingat rumah itu, karena usia saya sudah lima tahun.

Karena rumah itu cukup besar, kami dapat tidur di kamar, walau tetap saja beralaskan tikar. Ada sebuah ruangan yang terletak di depan rumah, yang dijadikan musholla. Kami selalu sembahyang magrib berjamaah di ruangan itu. Ayah juga mengajari anak-anaknya membaca al-Qur’an di tempat itu. Ayah saya bilang kamar itu kamar suci. Anak-anak tidak boleh bermain-main di situ, tidak boleh berbicara tak tentu arah, dan juga tidak boleh buang angin. Namun dasar anak-anak, tatkala ayah tidak ada di ruang itu, mereka saling beradu bunyi buang angin. Suatu ketika kami ketahuan, dan ayah nampak marah. Kami semua diam. Karena rumah itu besar, maka anak-anak berbagi tugas untuk membersihkan rumah. Makum seumur hidup keluarga saya tak punya pembantu seperti keluarga orang di kota besar. Jangankan menggaji pembantu, untuk makan saja keluarga kami sudah sulit.

Saya kebagian tugas menyapu halaman rumah dan membakar daun-daunan. Bagi saya yang berusia lima tahun, menyapu halaman yang begitu luas, terasa sangat melelahkan. Namun saya melakukannya dengan senang hati sambil bermain. Saya masih ingat, pada dahan sebuah pohon, kami menyebutnya pohon rambai, saya membuat ayunan dari tali untuk bermain. Hampir setiap hari saya bergantung di dahan pohon itu. Inilah yang barangkali yang menyebabkan badan saya paling tinggi di antara semua kakak-beradik. Ketika tamat SMA tinggi saya 175 cm. Untuk ukuran generasi di zaman saya, jarang-jarang ada orang Belitung setinggi itu. Di belakang rumah kami, ada lapangan badminton. Pada malam-malam tertentu banyak orang bermain badminton, di bawah penerangan lampu listrik. Di antara mereka yang sering bermain badminton itu, saya ingat dua orang yang lebih tua usianya dari saya. Namanya Samad dan Ishak. Jauh di kemudian hari, Ishak menjadi Bupati di Belitung. Ketika kami bertemu, dan saya telah menjadi menteri, Ishak bercerita dia suka main badminton di belakang rumah kami. Saya masih ingat dengan jelas, walau peritsiwa itu sudah lama sekali, di tahun 1961, ketika saya masih kecil.

Di rumah kami itu tidak ada kamar mandi. Kami harus mandi ke sumur yang terletak di belakang rumah. Suatu hari, saya sungguh terkejut, karena melihat ada ular di kamar mandi. Saya berteriak ketakutan. Paman saya, Ismail, yang tinggal di sebelah rumah datang membantu. Beliau berhasil menemukan ular itu dan membunuhnya. Beliau bilang, ular itu ular tanah dan sangat berbisa, orang bisa mati kalau dipatuk ular itu. Saya lega. Namun sejak itu, saya merasa trauma. Ada perasaan takut kalau-kalau bertemu ular lagi di kamar mandi. Suatu ketika saya sungguh merasa senang ketika pohon-pohon mulai berbuah. Banyak sekali buah musiman, seperti durian, cempedak, rambutan, rambai dan langsat di halaman rumah kami. Anak-anak tetangga berdatangan untuk sama-sama memetik dan menikmati buah-buhan itu. Suatu hari, saya dan kakak saya yang perempuan lari ketakutan, karena ada beberapa orang laki-laki berseragam warna biru, yang wajahnya menakutkan, datang untuk ikut memetik buah.

Kami memberitahu ibu tentang kedatangan beberapa laki-laki itu. Ibu kami keluar dan melihat ke arah mereka. Ibu bilang, tidak usah takut. Orang-orang itu adalah “orang hukuman” yang sedang membersihkan halaman rumah tetangga kami. Ibu saya bilang, tetangga kita itu jaksa. Tentu saja saya tidak mengerti apa artinya jaksa. Saya menyangka tetangga kami itu polisi, karena setiap hari beliau memakai pakaian seragam. Saya tidak mengerti beda jaksa dengan polisi. Kami keluar rumah lagi. Ternyata benar, orang hukuman itu– mereka narapidana dari lembaga pemasyarakatan – ternyata bersikap ramah dan baik. Ibu mempersilahkan mereka memanjat pohon nangka dan memetik buahnya yang masak. Saya melihat mereka makan nangka dengan lahap. Ibu saya bilang, kasihan mereka itu. Mereka tinggal di “rumah tutupan”, istilah ibu saya untuk menyebut penjara. Mereka lapar dan ingin makan. Saya melihat ibu saya memberi minum kepada narapidana itu. Mereka nampak sangat hormat kepada ibu saya.

Tidak jauh dari rumah kami itu, ada rumah seorang kakak kandung ayah saya. Namanya Abdul Kadir. Saya masih ingat wajah beliau yang terlihat ramah dan selalu bercerita hal yang lucu-lucu. Agak beda dengan ayah saya yang wajahnya serius dan kurang suka dengan guyonan. Paman saya itu bekerja di rumah sakit Pemda, yang letaknya di Jalan Rahat, tidak jauh dari rumah kami. Berbeda dengan rumah yang kami tempati, rumah paman saya itu ukurannya kecil dan terletak di sebuah gang, di belakang rumah seorang Cina yang nampaknya sangat kaya. Saya masih ingat, orang menyebut nama orang Cina itu A Tuan. Dia nampaknya salah seorang pemilik perusahaan keramik yang cukup besar di Tanjung Pandan, yang belakangan saya ketahui bernama PT Keramika Indonesia (KIA). Saya sendiri tidak pernah melihat wajah A Tuan itu. Rumahnya dikelilingi tembok dan ada pohon-pohon cemara yang bagus dan terlihat jelas dari rumah kami.

Paman saya itu mempunyai dua anak perempuan. Tidak ada anak laki-laki. Karena itu beliau nampak senang kalau kami datang bermain-main ke rumahnya, karena kami anak laki-laki. Satu hal yang agak mengherankan saya ialah, paman saya itu selalu sakit-sakitan, padahal beliau bekerja di rumah sakit. Dalam pikiran anak kecil seperti saya, kalau orang bekerja di rumah sakit, tentulah tidak bisa sakit. Tetapi mengapa paman saya itu selalu sakit, sedang ayah saya, walaupun tidak kerja di rumah sakit, tetapi selalu sehat. Saya tidak bisa mengerti. Ayah saya menjelaskan bahwa seseorang bisa saja sakit, karena badannya tidak kuat. Jadi, walaupun bekerja di rumah sakit seperti paman saya itu, bisa saja diserang penyakit. Sedikit-sedikit saya bisa mengerti. Memang, di masa kecil saya pun sering menderita sakit. Kakak-kakak saya juga.

Waktu itu saya mulai menyadari, walaupun keluarga ayah saya miskin, tetapi paman saya itu nampak lebih miskin dibanding ayah saya. Peralatan rumahnya sederhana sekali. Di belakang rumahnya, saya melihat ada bengkel kayu dengan peralatan ala kadarnya. Rupanya paman saya itu membuat kursi dari kayu dan rotan untuk menambah penghasilannya sebagai pegawai kecil di rumah sakit. Kami sering juga meminjam peralatan paman saya itu. Kami memanfaatkan limbah kayu untuk membuat mainan. Saya senang dengan paman saya itu. Namun sakitnya nampak berterusan, sehingga suatu saat beliau meninggal dunia. Saya tidakingat lagi peristiwa wafatnya beliau. Saya hanya ingat beliau dimakamkan di pekuburan di belakang Rumah Sakit Pemda di Tanjung Pandan. Beberapa kali saya datang menziarahi pemakaman itu bersama ayah saya ketika saya masih kecil. Wafatnya paman saya itu, membuat derita isteri dan kedua anaknya nampak berkepanjangan. Ayah saya ingin membantu, namun hidup keluarga kamipun miskin pula.

Saya masih ingat juga, ayah saya membuka ladang di sebuah kampung tidak terlalu jauh dari rumah kami. Kampung itu namanya Aik Merebau. Tidak banyak yang saya ingat tentang kebun itu. Saya hanya ingat saya dibonceng naik sepeda ke ladang itu. Ayah saya nampaknya tidak serius membuka ladang. Beliau lebih sibuk bekerja sebagai Kepala Kantor Urusan Agama dan berdakwah dari satu tempat ke tempat lain. Boleh dikata setiap minggu beliau selalu menjadi khatib Jum’at berpindah-pindah dari satu mesjid ke mesjid lain. Kadang-kadang saya ikut beliau pergi sembahyang Jum’at itu. Sehabis menjadi khatib, beliau biasanya tidak langsung pulang. Pengurus mesjid atau tokoh masyarakat setempat mengajak beliau makan siang. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Kadang-kadang saya bosan menunggu waktu untuk pulang. Tidak jarang saya tertidur di kursi menunggu beliau berbincang-bincang. Kegiatan dakwah beliau itu membuat beliau dikenal hampir semua orang di Tanjung Pandan, bahkan sampai ke desa-desa yang letaknya berjauhan.

Dalam usia lima tahun itu, saya selalu menyaksikan ayah saya membaca buku, koran dan majalah. Suatu hal yang menurut saya waktu itu terlihat aneh pada beliau, ialah kebiasaanya membeli buku, dan berlanggaan koran dan majalah. Sering saya menerima paket kiriman dari Jakarta, yang isinya ternyata buku pesanan ayah, atau majalah yang dikirim melalui pos. Berbagai macam buku yang beliau beli itu disusun rapi dalam sebuah lemari. Saya yang belum sekolah, senang juga melihat gambar-gambar yang ada di buku, koran dan majalah. Sesekali saya bertanya kepada beliau tentang gambar yang saya lihat, dan beliau menerangkannya. Dari kebiasaan saya menemani beliau membaca itu, pelan-pelan akhirnya membuat saya mengenal huruf. Saya akhirnya bisa membaca, walau saya belum masuk sekolah. Dari situlah saya dapat membedakan buku yang dibaca ayah saya ternyata tidak hanya dalam bahasa Indonesia. Beliau juga membaca buku berhasa Belanda dan Inggris. Kalau buku berbahasa Arab, dari hurufnya saja saya sudah dapat membedakan. Apalagi, ketika itu saya iku kakak-kakak saya belajar mengaji membaca al-Qur’an.

Di antara buku-buku dan majalah yang dibaca ayah saya itu, ada buku-buku yang tidak beliau izinkan untuk dibaca anak-anaknya. Belakangan, ketika saya sudah agak besar sedikit, saya baru mengerti kalau bacaan itu ternyata publikasi Partai Komunis Indonesia. Saya masih ingat ada buku-buku yang ada gambar palu arit, simbol PKI. Saya sedikit-sedikit mulai menyadari, maskipun ayah saya seorang Muslim yang agak keras dalam menjalankan agama, dan seorang aktivis Partai Masyumi pula, namun beliau mengikuti dan menelaah literatur-literatur Komunis dengan seksama. Saya juga akhirnya mengerti bahwa ayah saya juga membaca buku-buku kalangan nasionalis, terutama tulisan-tulisan Sukarno. Tulisan Sjahrir dan Tan Malaka, juga dikoleksi oleh beliau. Selain itu, saya juga melihat setumpukan koleksi naskah kesusasteraan Melayu lama, berisi berbagai syair dan hikayat, yang ditulis menggunakan huruf Arab Melayu. Beliau membaca syair itu seperti orang menyanyi. Suara beliau melantunkan berbagai syair itu terkadang membuat saya merasa sedih dan pilu. Saya masih ingat beliau membaca syair Burung Bayang, Syair Siti Zubaidah dan syair Singapura di makan api. Yang terakhir ini, mungkin ditulis oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Kebiasaan ayah saya membaca buku itu tidak berubah, sampai beliau wafat.

Tentu saja hoby ayah saya membaca buku, koran dan majalah itu membuat ibu saya tidak selalu merasa senang. Beliau nampak kesal juga karena uang belanja keluarga yang sangat minim itu, ternyata masih dibelanjakan ayah saya untuk membeli buku. Kebiasaan beliau membaca buku berlama-lama itu juga membuah ibu saya jengkel. Saya mengerti, karena ibu saya setiap hari sibuk mengurusi anak-anak, yang ketika kami tinggal di Jalan Sijuk itu sudah delapan orang jumlahnya. Ibu saya hanya berpikir bagaimana memasak, memandikan anak-anak dan mencuci pakaian. Tetapi saya melihat ayah saya membantu mencuci pakaian. Beliau selalu mengisi air di dalam rumah dari sumur yang terletak di belakang, untuk keperluan minum dan mencuci piring dan. Saya juga menyaksikan beliau membelah kayu menggunakan sebilah kampak untuk keperluan memasak. Adakalanya beliau mengerjakan semua itu setelah ibu saya ngomel di dapur.

Saya sering juga dibonceng ayah saya naik sepeda pergi ke pasar membeli ikan dan sayur mayur. Satu hal yang membuat saya merasa aneh, ialah banyak pedagang ikan itu yang tidak mau menerima uang ayah saya ketika beliau membayar. Belakangan saya tahu kalau pedagang ikan itu selalu mengikuti pengajian beliau di sebuah langgar, tak jauh dari Pasar Ikan itu. Di antara orang-orang yang datang dan pergi bertamu ke rumah kami, seringkali pula saya melihat mereka membawa kelapa, ubi kayu atau ikan asin. Itulah kebiasaan orang di kampung. Ayah saya tak henti-hentinya menerima tamu dengan berbagai keperluan. Beliau nampaknya tempat orang bertanya segala macam persoalan. Kebanyakan datang meminta nasehat sekitar perkawinan, maklum beliau Kepala Kantor Urusan Agama. Ada pula yang datang membawa masalah warisan keluarga mereka.

Anehnya, apa yang dikatakan beliau dituruti orang dan nampak sebagai kata putus. Hampir tak ada perkara waris yang diajukan ke pengadilan agama, karena biasanya bila beliau telah memberi nasehat, orang yang datang merasa puas dan menerimanya. Saya baru tahu belakang hari tentang hal ini, ketika beliau telah diangkat menjadi hakim Mahkamah Syari’ah. Pernah pula satu kali saya melihat ada orang dari suku Bugis datang ke rumah kami membawa parang. Orang itu datang nampak seperti orang mau mengamuk. Saya tidak tahu ada masalah apa. Saya dan kakak saya hanya bersembunyi dan mengintip melihat orang Bugis itu berbincang dengan ayah saya. Tetapi setelah bertemu ayah saya, orang Bugis itu pulang sambil menangis. Parang yang dibawanya ditinggal di rumah kami.

Di waktu kecil itu saya heran melihat ayah saya itu. Teman-teman saya sepermainan, ada yang bilang ayah saya itu punya ilmu, yang membuat orang takut kepada beliau. Saya hanya setengah percaya setengah tidak. Baru jauh di belakang hari saya menyadari, bahwa bagi orang-orang yang hidup sederhana di kampung, manusia seperti ayah saya itu sungguh merupakan sosok yang disegani dan berwibawa di mata mereka. Ketika saya SMP saya baru menyadari ayah saya itu orang yang rasional. Pandangan keagamaannya sungguh modern. Beliau sungguh tidak percaya dengan hal-hal berbau mistik. Sungguhpun demikian, beliau sangat toleran. Beliau mau menghadiri upacara selamatan laut, yang merupakan upacara kegamaan pra-Islam. Beliau bersedia pula membaca doa menurut agama Islam pada upacara itu, sehingga hal-hal yang semula bersifat “animistik” secara berangsur mendapatkan warna keislaman.

Sewaktu tinggal di Jalan Sijuk itu saya baru mengetahui kantor ayah saya terletak di depan Mesjid Raya Tanjung Pandan. Bangunan Kantor Urusan Agama itu nampak sederhana saja, terbuat dari kayu, berdinding papan dan beratap seng. Sesekali saya diajak ayah saya ke kantor naik sepeda. Di sebelah kantor itu ada sebuah sekolah, yangberasal dari abad ke 19. Sebab kakek saya dari pihak ibu pernah bersekolah di situ. Beliau tamat tidak lama sesudah gunung Krakatau meletus, mungkin sekitar tahun 1885. Kakek saya menyebut sekolah itu “Sekolah Raja”. Saya tidak tahu, mengapa sekolah itu dinamakan sekolah raja. Di abad 19 barangkali sekolah itu adalah satu-satunya sekolah untuk kaum pribumi yang ada di Belitung. Di masa merdeka, sekolah itu diubah menjadi sekolah rakyat, atau sekolah dasar sekarang. Kakak-kakak saya bersekolah ditempat itu. Suatu hari saya masih ingat kakak saya terlambat masuk ke kelas. Dia nampak sangat takut, kalau-kalau dimarahi gurunya. Tetapi ayah saya, dan saya ikut mengantarnya ke sekolah. Ayah menjelaskan sebab-sebab keterlambatannya. Ternyata guru kelas itu adalah saudara sepupu ayah saya sendiri. Guru itu perempuan, saya sudah lupa namanya. Kami hanya memanggilnya “Mak Mok”. Kesan saya, guru perempuan itu nampak sangat ramah.

Di masa kecil saya ingat sekali bahwa saya sering menderita sakit. Ayah saya selalu membawa saya ke rumah sakit di Jalan Rahat. Karena ayah saya pegawai negeri, kami tidak perlu membayar biaya berobat. Termasuk pula obat-obatannya. Saya ingat betul, saya selalu minum obat batuk yang berwarna hitam dan dikemas dalam botol. Kalau sesudah minum obat batuk itu, rasanya selalu ingin muntah. Tetapi, apa boleh buat saya harus meminumnya. Ketika kecil di Tanjung Pandan itu, saya ingin sekali sekolah taman kanak-kanak. Saya senang sekali melihat murid-murid sekolah taman kanak-kanak. Mereka kelihatannya senang, karena selalu bernyanyi. Tetapi satu-satunya sekolah taman kanak-kanak yang ada, hanya diperuntukkan bagi anak pegawai PN Tambang Timah dari kalangan pimpinan saja. Karena ayah saya bukan pegawai timah, saya tidak dapat bersekolah. Anak-anak pegawai PN Timah dari kelas rendahan juga tidak dapat masuk ke sekolah taman kanan-kanak itu.

Ketika tinggal di Jalan Sijuk itu, saya ingat ketika bulan puasa tiba. Saya mulai belajar berpuasa, kadang-kadang sehari penuh, kadang-kadang tidak sanggup. Saya masih ingat ibu saya menyiapkan makanan sahur dan berbuka puasa ala kadarnya. Malam hari saya ikut ayah saya dan kakak-kakak yang lain pergi melaksanakan solat tarawih. Suatu hal yang menarik bagi saya di waktu kecil ialah kami membuat lampu likuran dan bermain bedil. Lampu likuran itu kami buat menggunakan bohlam bekas, yang dibuat sumbunya dari bekas tutup botol limun, seperti tutup botol coca cola sekarang ini. Bohlam itu diisi minyak tanah atau solar dan sumbunya dinyalakan. Ada juga lampu likuran yang dibuat dari bambu, dan sumbunya bisa lebih banyak lagi. Lampu likuran itu dinyalakan pada malam ke 21 bulan Ramadhan. Orang-orang kampung mengatakan, lampu itu dinyalakan untuk menyambut kedatangan malaikat pada malam Lailatul Qadar. Lampu likuran itu bisa belasan, bahkan puluhan jumlahnya di setiap rumah. Kami memasangnya bukan hanya di pagar halaman, tetapi juga di dahan-dahan pohon, sehingga nampak indah kelihatannya.

Bunyi bedil juga saling bersahut-sahutan selama bulan puasa. Ada bedil yang terbuat dari bambu diisi minyak tanah. Ada pula bedil dari pipa besi yang diisi karbit. Bunyinya luar biasa kencangnya. Saya suka menyaksikan anak-anak yang lebih tua usianya bermain bedil. Suatu ketika saya menyaksikan bedil dari bambu ditiup dan apinya keluar. Seorang anak, hangus bulu matanya terjilat api. Sebab itu saya tidak suka membuat bedil dari bambu, saya lebih suka bermain bedil dari besi, atau dengan cara menyambung kaleng susu manis dan menanamnya di dalam tanah dan di isi karbit.Bunyi meriam karbit lebih keras dibandingkan dengan bedil bambu, dan juga lebih aman. Di zaman itu, polisi tidak melarang rakyat bermain bedil, walau kadang-kadang diprotes oleh tetangga yang merasa waktu istirahatnya terusik oleh kerasnya bunyi meriam.

Menjelang lebaran ibu saya sibuk menjahit baju untuk anak-anaknya. Beliau pergi ke pasar membeli bahan baju yang murah harganya. Saya masih ingat ada baju yang beliau buat dari bahan yang dinamakan “belacu”. Warnanya kream. Betapapun sederhana, namun memakai baju baru pada saat lebaran adalah suatu kegembiraan yang luar biasa. Seperti anak-anak yang lain, kami berlebaran dengan tetangga. Kepada anak-anak disediakan minuman dari sirup dan diberi uang. Walaupun uangnya sedikit, tetapi bagi anak-anak sungguh menyenangkan. Ayah saya dan keluarga juga mengunjungi sanak famili atau kenalannya. Kami pergi berjalan kaki. Rumah yang dikunjungi sebenarnya dekat saja, walau di masa kecil sayamerasa sangat jauh. Salah satu rumah yang dikunjungi itu ialah rumah Pak Haji Saad. Beliau itu paman ibu saya. Rumahnya terletak di Kampung Pangkal Lalang. Beliau banyak bercerita pengalamannya di masa lalu.

Di masa muda Pak Haji Saad pernah menjadi marinir Belanda, tetapi kemudian berhenti dan menjadi nakhoda kapal. Karena itu beliau mengunjungi banyak negeri sampai ke Singapura dan Malaysia. Beliau juga sering bercerita pengalamannya naik haji menggunakan kapal KPM (kapal Pelni sekarang). Cerita-cerita beliau itu, dengan disertai guyon-guyon, membuat saya tertarik mendengarnya. Di masa tua, Haji Saad itu nampak sebagai orang tua yang taat menjalankan ibadah agama. Namun suatu hari ibu saya sambil tertawa mengatakan kepada saya, bahwa paman beliau itu di masa muda, termasuk “kelompok begajul” atau kelompok preman istilah sekarang ini. Bagi saya tidak mengapa, itu adalah masa lalu beliau. Namun begitu, gaya premannya itu masih terasa, walau beliau ketika itu sudah tergolong lanjut usianya. Maklumlah di masa muda, beliau seorang anggota marinir. Jarang-jarang saya mendengar orang Belitung jadi marinir, apalagi di zaman Belanda.

Keluarga lain, yang sering juga dikunjungi ayah saya ialah keluarga Pak Haji Itam. Rumah beliau terletak di sisi lapangan bola di Kampung Amau. Di dekat rumah beliau itu ada sebuah masjid yang ayah saya sering memberikan pengajian di tempat itu. Saya hanya kadang-kadang saja menyaksikan pertandingan sepak bola di lapangan itu. Saya ingat ada cucu beliau namanya Bukhori. Dia senang bermain musik. Di usia sekitar lima tahun itu, saya sangat tertarik pada musik. Saya ingin belajar main gitar, tetapi keluarga kami tak mampu membelinya. Di mata saya, gitar sungguh merupakan benda yang mahal, yang tak mungkin terjangkau untuk dibeli. Saya juga pernah menyaksikan orang bermain atraksi di lapangan bola itu, yang disebut “radar”. Mereka nampak seperti orang dihipnotis, namun dapat mengendarai sepeda motor dan jeep. Mereka juga mampu menembak balon dengan senapang angin, walau matanya ditutup. Orang yang dihipnotis itu juga digilas roda jeep, tanpa membawa akibat apa-apa. Ada juga yang ditanam di dalam tanah sampai sehari, namun ketika digali lagi ternyata masih hidup. Bagi saya yang masih kecil, atraksi itu sungguh menakjubkan.

Itulah hal-hal yang masih saya ingat dengan jelas, ketika saya kecil dan tinggal di Tanjung Pandan. Akhir tahun 1961, keluarga kami pindah lagi ke Manggar. Ayah saya dipindahkan menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di tempat kelahiran saya. Saya sungguh merasa senang akan kembali ke Manggar. Kami akan menempati kembali rumah kami di Kampung Sekip. Ibu saya juga nampak senang, karena beliau akan tinggal lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Saya ingat ketika kami pindah kembali ke Manggar. Kami berangkat malam-malam menggunakan mobil besar seperti bis, yang biasa digunakan untuk mengangkut pegawai PN Timah pergi bekarja. Belakangan ada truk milik Pemerintah Daerah yang membawa berbagai peralatan rumah kami yang sederhana dari Tanjung Pandan ke Manggar. Saya kembali ke Manggar, dan mulai masuk sekolah dua tahun kemudian di tahun 1963. Saya menetap di kota ini sampai remaja dan menamatkan SMA. Tamat SMA saya pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Saya masih akan melanjutkan cerita kenang-kenangan ini, pada bagian selanjutnya. Ketika itu saya sudah agak besar, sehingga lebih banyak hal yang saya ingat. Dengan demikian, Insya Allah, akan lebih banyak lagi hal yang dapat saya tuliskan sebagai kenang-kenangan masa kecil di kampung.

Pos ini dipublikasikan di Kisah dan tag . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Kisah Pembangun Jiwa

  1. faisol berkata:

    terima kasih sharing info/ilmunya…
    saya membuat tulisan tentang “Mengapa Pahala Tidak Berbentuk Harta Saja, Ya?”
    silakan berkunjung ke:

    http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/mengapa-pahala-tidak-berbentuk-harta.html

    salam,
    achmad faisol
    http://achmadfaisol.blogspot.com/

Tinggalkan komentar