Belitung Dalam Kenangan

Part. 3. Senja Di Pantai Tanjong Pendam

Hujan baru saja reda ketika hari menjelang senja. Udara dingin menyusup lembut dari celah-celah ventilasi rumah kontrakan ku, dinginnya menusuk tajam ke tulang-tulang ku. Angin kencang dan petir yang menggelegar ketika hujan turun tadi, kini lenyap bersamaan dengan redanya hujan. Perlahan-lahan pelangi datang setengah hati di cakrawala jingga bumi Belitong.

Dari televisi yang baru kunyalakan, siaran televisi lokal Belitong memberitakan, seorang buruh tambang timah tewas tersambar petir. Sungguh tragis nasibnya, sekujur tubuhnya melepuh seperti baru terbakar api yang maha dahsyat panasnya. Dalam hati, aku hanya bisa berdoa smoga Allah memberi tempat terindah baginya. Mungkinkah ia sahid, bukankah ia menambang timah untuk anak isterinya. Wallahualam, aku sudah terbiasa dengan kejadian dan fenomena alam Belitong seperti hari ini.

Aku bangkit mematikan televisi lalu keluar dari rumah, segera mengeringkan motor matic putih ku yang basah kuyup oleh air hujan. Kawan, ayolah temani aku menikmati sore, kata ku dalam hati. Matic putih ku, begitu setia menemani kemana pun aku pergi. Dengannya aku ke kantor, dengannya aku mencari penjual madu bila persediaan di rumah habis, dengannya aku ke toko Koko Ako untuk membeli air gallon, dengannya aku ke warung nasi Bu Sunda, dengannya aku ke warnet kampong Parit, dengannya aku pergi ke pantai-pantai indah nan eksotik yang terdapat di Tanjung Tinggi Belitong Barat, dengannya aku melintasi jalan raya pulau Belitong dari Tanjong Pandan hingga ke Manggar Belitong Timur. Hari-hari ku selalu ditemaninya.

Seperti sore ini, matic ku kembali menemani melintasi jalan Belitong. Sayup-sayup dari warung kopi, tak jauh dari gang 60, pria-pria melayu mulai membicarakan korban tewas tersambar petir yang diberitakan Televisi local tadi. Berita tewasnya buruh tambang timah akibat tersambar petir, menjadi berita paling hangat di warung-warung kopi sore ini. Disini, kejadian yang terjadi begitu dengan cepat menyebar dan diketahui oleh orang-orang melayu Belitong.

Tidak jauh dari warung kopi, aku mampir di counter pulsa sederhana milik seorang gadis cina. Usianya lebih muda dari ku. Ia pun menyapa ramah, “Sore pak jaksa, nak isi pulsa ke?”.(sore pak jaksa, mau isi pulsa yah?), tanya nya dalam logat melayu Belitong. Akupun menganggukkan kepala, “Kuang ke”,(Boleh ga), kataku basa-basi padanya. Sambil tersenyum,”Kuang be” (boleh lah) katanya kepada ku. “Tolong mikak kirim ke nomor ini”, (Tolong kamu kirim ke nomor ini) kata ku padanya.

Sebelum senja tenggelam aku sampai di pantai Tanjong Pendam, pantai indah dengan sebuah pulau kecil ditengahnya. Sungguh menawan, tapi maaf kawan aku lupa nama pulau kecil itu. Di tepi pantai, sahabat ku Putirai sudah lebih dulu sampai. Aku segera menghampirinya. Tak lama, di belakang kami, tiga orang dayang Belitong yang mengenal kami, datang menghampiri. Setelah berbasa-basi sejenak, mereka pun bergabung bersama kami menikmati sore nan indah seperti sore ini.

Di cakrawala aku masih memandang pelangi yang mulai pudar. Perlahan pelangi itu pun pergi dan cahaya jingga mulai menampakkan dirinya dan senja pun datang. Jauh disana, di ufuk barat samudera Belitong, matahari mulai turun, cahayanya kemerahan, sahdu menenangkan dan mendamaikan jiwa. Sabda alam, itu petanda sebentar lagi malam akan menjelang.

Ditemani kelapa muda hijau dengan gula aren, kami masih duduk di tepi pantai melepas pandang ke tengah samudera dimana matahari akan tenggelam.
***

Pos ini dipublikasikan di Cerita, Film, Kisah, Novel, Pembangun Jiwa. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar