Part. 1. Siang Di Pelabuhan Pangkal Balam
Pukul dua siang sang surya begitu menyengat di dermaga Pangkal Balam Bangka. Panasnya membakar kulit-kulit telanjang para kuli yang hilir mudik tertatih-tatih memanggul dan menjinjing barang bawaan penumpang kapal, butiran-butiran peluh membasahi baju-baju lusuh mereka. Siang hari yang terik, sebuah kapal besar dari Jakarta baru saja sandar, penumpang yang ada di dek atas berdesak-desakan di pintu keluar, raut-raut muka lelah tidak bisa mereka sembunyikan setelah mengarungi samudera berjam-jam lamanya. Kegaduhan semakin menjadi-jadi ketika truk-truk besar mulai bergerak keluar dari dek bawah. Mesin kenderaan menderu-deru seperti akan memecahkan gendang telinga, asap dari knalpot menggumpal-gumpal pekat laksana awan hitam berarak di cakrawala, menebarkan aroma bahan bakar kendaraan yang tajam menusuk hidung.
Di depan pintu dermaga tidak jauh dari ruang tunggu penumpang, aku dan Iyan duduk di sebuah warung yang tak begitu luas, berdinding papan meranti yang disusun tegak. Dinding papan itu tidak lebih dari satu meter dan bagian atasnya sengaja terbuka agar udara dengan leluasa masuk dan dapat mengurangi panasnya udara seperti hari ini. Dari warung itu aku dapat dengan leluasa memandang ke arah dermaga sambil menikmati bakso dan secangkir es teh manis. Sungguh nikmat, apalagi dalam keadaan panas yang dahsyat seperti ini.
Selepas mengisi perut dengan semangkok bakso dan segelas es teh manis, ritual makan siang hari ini kami tutup dengan menghisap rokok. Asap putih bergulung-gulung keluar dari mulut kami menyebarkan aroma racun seumpama knalpot-knalpot truk-truk besar yang baru keluar dari lambung kapal besar yang baru sandar itu. Aku tak ingat lagi sudah berapa batang rokok yang telah kami hisap, sekedar untuk menghilangkan penat menunggu kapal cepat yang akan membawa kami ke pulau Belitong hari itu.
Di belakang kapal besar dari Jakarta itu, kapal cepat Expres Bahari sandar. Pintu kapal mulai dibuka, penumpang kapal satu persatu mulai beranjak dari ruang tunggu memasuki lambung kapal. Kamipun beranjak dari warung segera memasuki kapal. Tepat pukul 3 perlahan-lahan kapal mulai berlayar meninggalkan pelabuhan Pangkal Balam. Aku sengaja duduk di dek atas, dari tempat ini dengan leluasa dapat ku nikmati indahnya perairan Bangka Belitong. Samudera biru luas tak berujung dan burung-burung camar di cakrawala sangat menyejukkan hati. Bibir hanya berucap Subhannallah betapa agung ciptaan Sang Khalik.
Surya mulai tenggelam di ufuk barat, malam pun mulai menampakkan dirinya mengambil peran mengganti tugas sang surya, alam pun pekat, burung-burung camar kembali ke sarang, namun pelayaran ini belum juga berakhir. Dari atas kapal dengan jelas dapat ku lihat kerlap-kerlip cahaya lampu, itukah pulau Belitong tanya ku dalam hati. Entahlah, ini pelayaran pertama ku dan Iyan ke pulau melayu penghasil timah ini.
Setelah melintasi sebuah pulau kecil, cahaya-cahaya lampu itu semakin jelas, ABK kapal mengabarkan kepada penumpang sesaat lagi kita tiba di dermaga Tanjong Pandan Belitong. Setelah 5 jam dilautan, nahkoda mulai mengurangi laju kapal, perlahan-lahan kapal mulai mendekati dermaga mengambil posisi untuk sandar. Pelayaran kami berakhir setelah kapal merapat di dermaga. Malam hari yang dingin, 05 Nopember 2006, dipinggir dermaga ini untuk pertama kalinya, aku dan Iyan menginjakkan kaki bumi Belitong.
***